Covenant Protestant Reformed Church
Bookmark and Share

Tugas Mengenai Seks Dalam Pernikahan

Rev. Angus Stewart

 

(1)

Perbuatan Seks di luar pernikahan adalah berdosa; semua orang Kristen mengetahui hal ini, dan begitu pula orang yang belum percaya. Tidak melakukan seks dalam pernikahan (dalam situasi umumnya) juga adalah berdosa; hal ini mungkin tidak disadari oleh semua orang. Berdasarkan I Korintus 7:3-5, seks dalam pernikahan adalah suatu hutang tersendiri. Mengabaikan atau menolak untuk melakukan seks dengan pasangan anda merupakan pencurian, melanggar perintah ke-8: ”Janganlah mencuri”.

Alkitab memiliki hal-hal yang penting untuk dikatakan mengenai kelajangan, pernikahan dan seks. Karenanya gereja harus mengajarkan topik ini, dan juga kebenaran Trinitas yang Suci, masa-masa akhir dan Anugerah yang tidak dapat ditolak. Gereja mengajarkan topik-topik ini dalam khotbah, dalam kelas-kelas katekisasi, dalam kelas-kelas persiapan sebelum menikah (premarital) dan (kini) dalam tulisan. Orangtua yang bijak juga akan membicarakannya kepada anak-anak mereka dalam masalah ini sebagaimana Salomo juga membicarakannya kepada anaknya dalam Amsal (mis, Ams. 2:16-19, 5:3-23; 6:24-35; 7:6-27; 9:13-18).

Tentu saja, tingkah laku dan juga persoalan dari ajaran Kristen pada pernikahan dan seks sangat berbeda dari hal yang dari dunia. Kita tidak bertujuan untuk berlagak alim, maupun berpura-pura munafik. Malahan kita memberitakan ajaran alkitabiah mengenai seksualitas secara murni dan otoritatif.

Yesus Kristus adalah Tuhan, dan ini berarti bahwa Dia adalah Tuhan dari pernikahan dan tempat tidur itu juga. Ia memiliki hal-hal untuk dikatakan di sini. Karenanya cita-cita kista adalah memuliakan Allah dalam Yesus Kristus dan pengabdian dari orang-orang kudus. Dalam kerangka ini dan dengan semangat ini, marilah kita mempertimbangkan tugas seks dalam pernikahan.

I Korintus 7:3 berkata mengenai suami dan istri mengenai ”memenuhi kewajibannya” kepada satu sama lain: ”Hendaklah suami memenuhi kewajibannya terhadap isterinya, demikian pula isteri terhadap suaminya”. ”Memenuhi kewajibannya” ini tidak berarti bahwa suami dan istri sekadar harus menunjukan kebaikan satu dengan yang lain pada pengertian umum. Pikirkanlah konteks tersebut. Suatu tujuan pernikahan adalah untuk ”menghindari percabulan” (2). Dalam pernikahan, pasangan anda mempunyai otoritas atas tubuhmu, khususnya dalam pernikahan di tempat tidur (4). ”Saling menjauhi” dalam ayat 5 mengacu pada tidak adanya penguasaan seksual diri. Maka “memenuhi kewajibannya” dalam I Korintus 7:3, khususnya mengacu pada kebaikan memenuhi tugas kepada pasangan kita dalam persetubuhan seksual.

“Kewajiban” seksual ini adalah “pemenuhan” bagi pasangan/istri anda. Hal itu adalah hutang, yang terkadang anda berhutang kepada suami atau istri anda. Hal ini bukanlah sekadar suatu perkenanan akan anda relakan jikalau pasangan anda telah berbuat baik. Jelaslah ada beberapa orang, sekalipun mengalami usia lanjut atau kecacatan, dsb. yang tidak mampu memenuhi hutang ini, tetapi pasangan-pasangan orang Kristen harus membayar hutang tersebut pada umumnya. Adakah anda sudah membayar hutang ini?


(2)

Sebagaimana kaum yang menikah, berhutang untuk pakaian atau makanan yang mereka beli, begitu pula mereka berhutang persetubuhan seksual dengan pendamping mereka: ”Isteri tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi suaminya, demikian pula suami tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi isterinya.” (IKor. 7:4). Pendamping (istri) anda memiliki otoritas atas tubuh anda secara seksual; bukan anda.

Beberapa orang mungkin keberatan bahwa mereka tidak ingat memberikan otoritas atas tubuh mereka dalam kaul/sumpah pernikahan mereka. Bisa jadi bahwa hal ini tidak disebutkan dalam banyak kata-kata, tetapi natur pernikahan sebagai ”satu daging” menyiratkan bahwa pasangan anda memiliki otoritas atas tubuh anda secara seksual dan bukan diri anda. Inilah yang benar, meyakini pemikiran Kristen. Tentu saja, hal ini juga merefleksikan pernikahan agung seseorang di mana pernikahan-pernikahan kita tersebut direfleksikan. Apakah gereja, mempelai Kristus, memiliki tubuhnya sendiri? Bukan, mempelai Kristus ada di bawah kepemilikan dan otoritas dari Kristus, suaminya.

Kini kita dalam posisi lebih penuh untuk menganalisa dosa dari pernikahan tanpa seks (dugaan bahwa seks bisa dilakukan secara fisik). Hal itu merupakan pencurian, tidak mengerjakan apa yang seharusnya. Hal itu merupakan pencurian dari sesama kita yang paling dekat, pendamping kita. Hal itu menipu dia (5). Hal ini menyebabkan ide penipuan dan pembodohan. Pernikahan, dari definisinya, mencakup memberikan diri anda bagi pasangan anda. Dengan menolak memberikan diri anda secara seksual, sebagai yang anda janjikan, anda telah melakukan pengkhianatan. Hal inilah akar dari keegoisan, hasrat untuk melakukan apa yang anda inginkan dan bukan apa yang pendamping anda inginkan. Keegoisan ini mengalir dari ketidakpercayaan, ketidakpercayaan akan persatuan rohani yang vital antara Kristus dan gereja-Nya, di mana pernikahan anda dan persetubuhan seksual harus diwujudkan.

Dosa ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Allah akan menghakimi dan menuntut anda akan hal itu. Pendamping anda akan terluka, benar-benar terluka. Menolak kemajuan seksualnya adalah jahat. Membelakanginya adalah keji. Kritus bukan memperlakukan istri-Nya secara demikian! Pendamping anda akan merasa tidak terpuaskan dan tertipu dan mungkin akan (secara berdosa) menjadi kecut hati dan marah. Demikianlah pernikahan anda akan menyengsarakan. Keintiman fisik dari segala tatanan tersebut akan menjadi kering dan anda akan kehilangan keintiman emosi dan rohani juga.

Dosa-dosa pernikahan menghalangi doa-doa anda (I Petrus 3:7). Doa pada altar keluarga menjadi sukar; doa-doa tidak terjawab. Pembacaan Kitab Suci hanya menjadi rutinitas. Akhirnya hal ini mungkin mengakibatkan altar keluarga menjadi kendor atau benar-benar terabaikan.

Tidak ada persetubuhan dalam pernikahan juga menyebabkan kedua pasangan menjadi lebih rentan terhadap dosa perzinahan. Ingatlah, tujuan pernikahan kita adalah untuk menghindari percabulan (2; bdk. Ams. 5:18-20). Dalam tempat tidur kita ada iblis yang “berjalan keliling” (I Petrus 5:8). Janganlah saling menipu!


(3)

I Korintus 7:3-5 mengajarkan bagian dari panggilan para suami dan istri. Mereka bukan seharusnya menuruti diri mereka untuk menjadi enggan kepada pendamping mereka secara seksual. Tidak ada tempat bagi alasan yang menipu: ”aku lagi sakit kepala”. Hal ini bukanlah sebuah izin untuk menyalahgunakan atau merenggut pendamping kita. Ataupun hal ini merupakan suatu hasutan kepada tirani lelaki. Sang suami adalah kepala yang harus ”mengasuh” dan ”merawati” istrinya (Ef. 5:29). I Korintus 7:3-4 menekankan kesetaraan antara suami dan istri: suami harus membuat ”memenuhi kewajiban” kepada istrinya dan ”demikian pula” sang istri kepada suaminya (3), dan suami memiliki otoritas atas tubuh istrinya ” tetapi suaminya, demikian pula suami tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi isterinya” (4). Maka dalam seks – begitu pula dalam segala hal, kecuali berdosa – suami orang Kristen dan istri orang Kristen harus saling mencari kesenangan pihak lain dan bukan kesenangannya sendiri dalam bercinta ” tidak mencari keuntungan diri sendiri” (1Kor. 13:5).

Maka apa peran seks dalam pernikahan? Pertama, seks bukanlah satu-satunya dalam pernikahan. Keluaran 21:10, pengaturan hukum [Taurat] (meskipun tidak memperbolehkan atau mengizinkan) poligami, menyatakan, ”Jika tuannya itu mengambil perempuan lain, ia tidak boleh mengurangi makanan perempuan itu, pakaiannya dan persetubuhan dengan dia”. “Tugas pernikahan” (dalam kitab Keluaran) adalah “memenuhi kewajibannya” (dalam surat I Korintus ini), atau persetubuhan seksual. Menyediakan makanan dan pakaian bagi istri seseorang juga disebutkan. (terkadang, mengapa seharusnya kaum laki-laki muda berpacaran, jika mereka tidak bersiap untuk menyediakan yang layak bagi seorang istri, bahkan dalam masa depan yang mampu diketahui sebelumnya?) bahkan yang lebih mendasar, para suami harus mengasihi istrinya dan para istri harus tunduk kepada suami mereka (Ef. 5:22-33). Selain itu, para suami harus mengatur istri mereka dalam kasih dan para istri harus menjadi penolong bagi para suami mereka (Ef. 5:22-33; Kej. 2:20f). Hal ini melibatkan 101 tugas yang satu dengan yang lain.

Kedua, seks bukanlah hal utama dalam pernikahan. Hal utama adalah persahabatan kovenan dalam Tuhan (Mal. 2:14). Mereka yang hanya mementingkan bersetubuh, akan sangat berputus-asa.

Ketiga, seks bukanlah dasar dari pernikahan. Kebenaran Firman Allah adalah fondasi ikatan pernikahan Kristen. Pertemanan Kovenan yang satu dengan lainnya didasarkan atas kesatuan dalam doktrin Firman Allah dalam Kristus.

Kemudian di mana seks terjadi dalam pernikahan? Pertama, di sana harus ada kasih Allah dlama hati anda bagi pendamping anda. Yang mengalir dari kasih, dan sebagai ekspresi kasih tersebut adalah berkat persetubuhan Kristen. Maka meskipun seks dalam pernikahan merupakan suatu panggilan dan tugas, hal itulah lebih dari sebuah tugas. Hal itulah hal yang menyukakan dan membahagiakan, hal yang bersifat alami dan sukarela, suatu ungkapan saling mengasihi dan gambaran persatuan Kristus dengan mempelai-Nya, sang gereja tersebut.


(4)

Terdapat pengecualian bebas dari tugas seks dalam pernikahan (selain dari hal ketidak-mungkinan secara fisik) jika 3 syarat demikian. Pertama, hal itu harus ”dengan persetujuan” (1Kor. 7:5) – bukan keputusan suami atau istri secara sepihak, melainkan kedua belah pihak. Kedua, hal itu harus terjadi “sementara waktu” (5) – bukan selama sisa hidup mereka atau bertahun-tahun, melainkan untuk periode tertentu. Setelah itu mereka harus “kembali hidup bersama-sama” secara seksual (5). Ketiga, ketiadaan seksual harus terjadi untuk “mendapat kesempatan untuk berdoa” (5) – bukan karena mereka sekadar tidak menyukai hal itu. Allah telah meletakkan suatu beban atas hati mereka, begitu pula kesenangan makan dan seks diletakkan berdampingan saat yang sama supaya berfokus lebih baik untuk mencari Allah. Semua 3 syarat tadi harus dipenuhi – dengan persetujuan, sementara waktu, dan tujuan agamawi (untuk berdoa dan berpuasa) – untuk suatu periode akan ketiadaan seksual. Jika semua 3 syarat ini tidak terpenuhi, maka ”memenuhi kewajiaban” akan persetubuhan seksual masih tetap ada.

I Korintus 7:3-5 mengandung beberapa pelajaran yang sangat penting. Pertama, persetubuhan seksual adalah aturan dalam pernikahan (dan pengecualian tersebut adalah jarang dan tidak banyak). Kedua, Maria (istri Yusuf) bukanlah menjadi perawan untuk seterusnya. Konsili Trente di Roma mengutuki semua orang yang menyangkal bahwa Maria tidak pernah bersetubuh dengan suaminya, Yusuf, setelah melahirkan Kristus, tetapi Allah menuntut para istri untuk ”memenuhi kewajiban” bagi para suami mereka (3-5). Ketiga, hal itu menduga bahwa sepasang Kristen boleh memilih untuk berpuasa dan berdoa bersama. Sudahkah kita berhenti dari makan dan berseks supaya mencari wajah Allah lebih sungguh lagi? Keempat, tiada yang memalukan atau najis mengenai persetubuhan seksual. Sesungguhnya, beberapa orang di kota Korintus memuji keperawanan bagi sorga dan/atau mendesak selibat dalam pernikahan, karena persetubuhan Agaknya meragukan akan kekudusan dan ketahiran. ” Hendaklah kamu semua penuh hormat terhadap perkawinan” (Ibr.13:4). Pertanyaan tersebut atas pernikahan dan seks bukanlah hanya ditemukan dalam agama Katolik. John Wesley mengajarakan keunggulan dari keperawanan atas pernikahan dan secara umum menentang pernikahan. Dia terpengaruh mentah-mentah karena membaca karya bapa-bapa gereja dan penulis Katolik Roma (yang meragukan kebaikan akan pernikahan dan seks). Bahkan waktu Wesley sendiri menikah, dia memberikan contoh yang buruk, secara umum, karena ia mengabaikan istrinya dan hubungan mereka yang “jauh dan tidak bahagia” (Stephen Tomkins, John Wesley, hal. 167). Kelima, I Korintus 7 menyiratkan bahwa para suami dan istri mengatakan bersama-sama tentang masalah seksual, karena mereka “setuju” untuk tidak melakukan sementara waktu demi alasan-alasan agamawi (5). Umumnya, para suami dan istri Kristen harus mencari kesenangan satu dengan yang lain di bawah ketuhanan Kristus dalam pernikahan dan seks.

Untuk bahan-bahan lain dalam bahasa Indonesia, klik di sini.