Covenant Protestant Reformed Church
Bookmark and Share

Menikahi Orang yang Belum Percaya

Rev. Angus Stewart

 

(1)

I Korintus 7:12-16 mengatakan dalam situasi yang belum disampaikan Kristus dalam pelayanan publik-Nya (10-11) mengenai pernikahan campur antara seorang yang percaya dan yang belum percaya. Adakah perceraian dapat dilakukan secara mudah di sini? Bagaimana seseorang memandang pasangannya yang belum percaya? Bagaimana seseorang memandang anak-anak mereka dilahirkan dari persatuan ini?

Beberapa pernikahan campur terjadi ketika seorang percaya menikahi seorang yang belum percaya secara berdosa. Orang percaya tidak menaati perintah Allah untuk menikah ”asal orang itu adalah seorang yang percaya” (39) dan mengambil pasangan yang tidak seimbang (2Kor. 6:14). Pengakuan Iman Westminster melarang kaum kudus untuk menikahi ”orang yang tidak seiman, penganut Kepausan, atau penyembah berhala yang lain ... [atau] semacam orang yang berbuat kejahatan dalam hidup mereka, atau mempertahankan bidat-bidat yang dikutuk” (24:3). Terkadang orang Kristen menikahi orang yang belum percaya, karena mereka muda dan tidak berpengalaman (atau sebenarnya juga tidak demikian). Mereka ”terpikat” dengan orang yang belum percaya yang ”manis”. Mungkin mereka mengajarkan dalam gereja yang lemah dengan buruknya atau mereka ditekan oleh orangtua yang belum percaya karena alasan yang duniawi.

Terkadang dua orang Kristen yang percaya menikah, tetapi setelahnya salah satu murtad, yang menjukan bahwa dia bukanlah seorang anak Allah. Orang-orang yang tidak percaya sudah tahu untuk berpura-pura menjadi ’orang percaya’ supaya boleh menikahi seorang Kristen yang kemudian setelah simpul diikat, nyatalah bahwa mereka hanya bertingkah demikian hanya untuk menikah. Hal ini adalah pembangkangan ganda: pembangkangan melawan Allah dan pembangkangan terhadap pasangannya.

Bagaimanapun, terkadang dua orang yang belum percaya menikah, tetapi setelahnya salah satu beralih keyakinan sedangkan yang lain tidak. Hal ini lebih sering dalam skenario misi atau dalam jemaat yang relatif baru, seperti yang terjadi di kota Korintus.

Terdapat banyak faktor yang mungkin menyarankan hal itu lebih mudah untuk terjadi perceraian dalam pernikahan campuran. Beberapa orang beralasan, ”pasanganku bukan orang saleh, benar-benar bobrok pikiran dan kehendaknya, selalu berdosa secara tubuh dan jiwa, dan melanggar dalam setiap langkahnya (Rm. 3:10-18). Dia adalah musuh Allah dan membenci Dia. Dan bagaimana perlawanan antara kebenaran dan ketidak-benaran, terang dan gelap, Kristus dan Belial, dan bait Allah dan berhala (2Kor. 6:14-16)? Yakobus mengatakan bahwa persahabatan [dengan] dunia adalah permusuhan dengan Allah’ (Yak. 4:4). Adakah aku tetap menikah dengan pasangan duniawi dan tidak saleh ini?”

Pikirkanlah juga natur dari pernikahan sebagai ikatan satu-daging, persatuan yang terintim antara dua makhluk! Haruskah anak Allah tinggal, hidup dan minum, berlibur, berbicara, berbagi tempat tidur, dan memiliki dan menjaga anak-anak dengan seorang yang belum percaya? Sang suami, sebagai pemimpin istrinya, harus mengasihinya bagaikan Kristus mengasihi jemaat (Ef. 5:25-29, 33). ”Bagaimana boleh hal ini ditaati dalam pernikahan campuran kami? Tidak bolehkah saya bercerai saja?” permohonan dari beberapa orang.

Ada kesulitan-kesulitan praktis selanjutnya. Bagaimana jika anda menikahi orang Budha dan pengikut Iblis atau Katolik Roma atau orang liberal, atau orang okumene atau orang Armenian? Atau, pasangan anda begitu menyingkirkan semua ”agama”? Apa yang harus engkau lakukan di hari Tuhan? Apakah engkau meninggalkannya atau gereja yang murtad? Istri yang belum percaya mungkin menentang kehadiran anda di ibadah penyembahan ilahi, khususnya jika engkau ingin membawa anak-anak anda. Baginya, anda hanyalah seorang penganut religius yang fanatik.

Bagaimana dengan teman-teman? Teman-temannya yang fasik; sedangkan teman-teman anda adalah kaum percaya. Temannya dan teman anda tidak dapat bersama. Mungkin terdapat perbedaan dalam kesukaan dalam aktifitas sosial antara suami yang percaya dan istri yang percaya, tetapi perbedaannya lebih besar dalam pernikahan campur, khususnya jika pasangan yang belum percaya menginginkan untuk melakukan hal-hal yang berdosa bagi diri mereka.

Lalu bagaimana dengan penggunaan TV, atau doa pada waktu makan, atau mendidik anak-anak anda, dan seterusnya? Sering, dan dapat dipahami demikian, orang percaya dalam pernikahan campuran akan mengerang, ”segala sesuatu adalah pertempuran!” Dan anda merasa bahwa pasangan yang belum percaya anda begitu cepat menuduh anda sebagai orang yang munafik (yang sedihnya, memang begitulah) atau ”peleter” kepadanya.

“Tentunya, dalam semuanya ini”, orang percaya mungkin lelah berpikir, ”saya memiliki dasar untuk bercerai! Pada akhirnya, satu dari hal-hal ini atau seluruhnya pasti mengandung alasan yang valid. Di samping itu, saya tidak berpikir, saya dapat menahannya lagi. Tentuya Allah tidak dapat begitu kejam dan hidup Kristen tidak mungkin begitu beratnya! Dan ada banyak gereja yang akan mengizinkanku untuk bercerai...”

Tetapi apa yang dikatakan Kitab Suci yang sakral? ”kalau ada seorang saudara beristerikan seorang yang tidak beriman dan perempuan itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah saudara itu menceraikan dia. Dan kalau ada seorang isteri bersuamikan seorang yang tidak beriman dan laki-laki itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah ia menceraikan laki-laki itu”. (1Kor. 7:12-13). Allah mengetahui segala kesulitan (dan tidak diragukan Paulus juga telah mendengarkan keluhan-keluhan ini), tetepi tidak ada dari hal-hal ini, dan bahkan seluruhnya, merupakan dasar untuk bercerai. Dasar bercerai hanyalah percabulan (Mat. 5:32; 19:9).

Berbagai aturan-aturan ini diduga dasar dari bercerai. Orang yang tidak percaya, kemurtadan, ”ketidakcocokan” dan ”perbedaan yang tidak dapat didamaikan” bukanlah dasar dari bercerai. Mengapa? Karena pernikahan adalah ikatan yang tidak dapat diputuskan, entah hal itu antara dua orang yang percaya atau antara dua orang yang belum percaya atau antara orang yang percaya dengan orang yang belum percaya. Orang murtad, orang yang tidak percaya, dll, tidak memutuskan ikatan tersebut; bahkan percabulan tidak memutuskan ikatan itu, meskipun hal itu memberikan dasar untuk bercerai yang sah. Seorang laki-laki dan perempuan berpadu dalam satu daging dinikahkan hingga maut memisahkan mereka (Rm. 7:2-3; 1Kor. 7:39).


(2)

Ada argumen yang lain, yang tidak disebutkan dalam buletin yang lampau, di mana hal ini digunakan oleh seorang Kristen mengenai pernikahan lagi. ”Tetapi aku bercerai, waktu itu aku adalah orang yang belum percaya”, mereka protes, atau, ”Tetapi aku menikah, waktu itu aku adalah orang yang belum percaya”, seolah-olah ketidakpercayaan mereka waktu itu membolehkan mereka untuk menikah ulang di mana pasangan mereka sudah meninggalkannya. Bagaimanapun, pernikahan adalah penetapan ciptaan; hal itu bulanlah sakramen, hanya sesuatu bagi gereja. Penikahan ada dalam dunia sebelum kejatuhan dan sebelum berkumpulnya gereja. Walaupun penetapan ciptaan, Allah membuat dua orang yang percaya atau dua orang yang belum percaya atau seorang yang percaya atau seorang yang belum percaya menjadi satu daging. Hal ini sangat penting bagi orang Kristen yang bercerai dan menikah lagi. Pernikahan adalah ikatan yang tidak tidak terpatahkan bagi orang yang percaya dan bagi orang belum percaya, sebagai penetapan ciptaan ilahi. Karena itu pernikahan lagi ketika suami dan istrimu masih hidup – entah engkau sudah atau belum percaya, pada hari pernikahan anda itu – merupakan percabulan terus-menerus (Mat. 19:9; Mark. 10:11-12; Luk. 16:18; Rom. 7:2-3). Maka Kitab Suci memerintahkan semua orang yang bercerai untuk ”tetap dalam keadaan, atau didamaikan dengan [pasangan anda]” (1Kor. 7:11). Kristus memanggil untuk tinggal dalam keadaan itu bagi diri anda “karena kerajaan sorga” (Mat. 19:12). Murid-murid Tuhan, seperti juga pada saat ini, ragu-ragu akan hal ini (10). Yesus menjawab, ” Akan tetapi Ia berkata kepada mereka: "Tidak semua orang dapat mengerti perkataan itu, hanya mereka yang dikaruniai saja ... Siapa yang dapat mengerti hendaklah ia mengerti" (11-12). Pilihan Allah ”dikaruniai” anugerah ini, maka hal itu mampu ”mengerti” ”perkataan itu”. Bagaimanapun, ”tidak semua orang dapat mengerti perkataan itu”, maka mereka menikah lagi secara bodohnya dan berbuat dosa dalam percabualan terus-menerus (Mat. 19:9; Mark. 10:11-12; Luk. 16:18; Rom. 7:2-3).

I Korintus 7:14 menyediakan pertimbangan tambahan mengenai mengapa orang Kristen tidak boleh bercerai dengan pasangannya yang tidak percaya: ”Karena suami yang tidak beriman itu dikuduskan oleh isterinya dan isteri yang tidak beriman itu dikuduskan oleh suaminya. Andaikata tidak demikian, niscaya anak-anakmu adalah anak cemar, tetapi sekarang mereka adalah anak-anak kudus”. Karena itulah, jangan ceraikan pasanganmu yang belum percaya (12-13) karena dia dikuduskan oleh anda, pasangan yang percaya (14).

Namun apa arti “dikuduskan” di sini? Dikuduskan bukan berarti pengudusan batiniah yang sejati seperti yang dikerjakan oleh Roh Kudus yang dari Tuhan Yesus. Karena pasangan tersebut dikatakan seolah ”belum percaya” (14) dan tidak diselamatkan (16). Dikuduskan di sini tidak berarti bahwa pasangan yang percaya memiliki penghargaan yang lebih bagi iman Kristen dari kebanyakan orang yang belum percaya. Hal ini mungkin atau mungkin bukan menjadi sikapnya, tetapi hal ini bukanlah berarti ”dikuduskan”. Dikuduskan di sini juga tidak berarti bahwa pasangan yang belum percaya agaknya lebih diselamatkan daripada orang yang belum percaya yang lain. Singkatnya, sesuai dengan konteksnya, teks ini menyatakan bahwa pasangan yang belum percaya ”dikuduskan”, bukan ”mungkin kelak dikuduskan” (secara batin dan rohaniah di masa depan).

Apa artinya kalau begitu? Nyatalah hal itu bukanlah keselamatan alkitabiah yang penuh, atau bahkan semacam keselamatan yang sebagian, karena tidak ada hal-hal demikian. Kunci interpretasi itu datang dari kontek. Seorang yang belum percaya atau yang percaya menikah satu sama lain, maka pertanyaannya adalah: Apakah orang yang belum percaya akan memengaruhi hal yang buruk bagi orang yang percaya? Dalam Perjanjian Lama, dalam hukum upacara, jika hal yang tahir menyentuh hal yang najis, yang tahir tidak membuat yang najis menjadi tahir. Malahan, yang najis akan membuat yang tahir menjadi najis. Begitu juga, orang yang belum percaya itu najis, bobrok sepenuhnya, tetapi dia bersekutu dalam persekutuan yang paling intim dari pernikahan dengan orang yang percaya, yang tahir. Bukankah persekutuan ini membuat orang yang percaya menjadi najis? Tentulah dalam penyatuan atau persahabatan dengan orang yang belum percaya mana pun, orang percaya dicemarkan oleh orang yang belum percaya. Tetapi dalam pernikahan antara orang yang percaya dengan orang yang belum percaya, orang yang belum percaya tidak menajiskan pasangan Kristen itu. Anak Allah dapat hidup, makan, minum, bersekutu, tidur dan mengasuh anak-anak bersama pasangan yang belum percaya dengan kesadaran yang baik dan tidak ternodai. (Ingatlah, saya sudah berbicara mengenai pernikahan campuran yang sudah terjadi pada mulanya [maksudnya sebelum salah satu pasangan boleh percaya sedang yang lain belum]; saya tidak mengatakan bahwa orang percaya seharusnya menikahi orang yang belum percaya [39]). Orang Kristen harus tahu bahwa Allah Tritunggal tidak memandang kehidupan pernikahannya dengan orang yang belum percaya sebagai tidak murni dan memalukan. Yehova menyetujui hubungan pernikahan orang yang percaya itu untuk dilanjutkan. Karenanya orang Kristen tidak boleh menceraikan pasangannya yang belum percaya (12-13). ”Karena [pasangan] yang tidak beriman itu dikuduskan oleh [pasangan yang sudah percaya]” (14).

I Korintus 7:16 menambahkan pertimbangan yang lain mengenai mengapa orang Kristen tidak boleh menceraikan pasangannya yang belum percaya: “Sebab bagaimanakah engkau mengetahui, hai isteri, apakah engkau tidak akan menyelamatkan suamimu? Atau bagaimanakah engkau mengetahui, hai suami, apakah engkau tidak akan menyelamatkan isterimu?” Anda berkata, “Kami sudah menikah selama beberapa tahun dan saya berdoa begitu sering, tetapi pasanganku tetap belum mau beralih keyakinan”. Allah yang membangkitkan anda dari kerohanian yang mati; Dia akan melakukan hal yang sama bagi pasangan anda. Anda tidak mengetahui apa tujuan Allah melakukan hal ini, maka jangan menyerah untuk tetap berdoa! Allah secara lazimnya menggunakan kehidupan yang saleh dari pasangan yang percaya untuk mengalihkan keyakinan orang yang belum percaya, tetapi bagi pasangan yang terpilih (1Pet. 3:1-2). Maka jangan patah arang! Tetap erat berdoa dan berjalan bersama Tuhan, karena Allah mungkin menggunakan doamu dan hidupmu untuk menyakinkan iman suami atau istrimu!

Untuk bahan-bahan lain dalam bahasa Indonesia, klik di sini.