Covenant Protestant Reformed Church
Bookmark and Share

Pengantara Yang Esa Antara Allah dan Manusia

Rev. Angus Stewart

 

Apakah seorang pengantara itu? Seorang pengantara adalah orang yang datang di antara dua pihak atau lebih yang sedang berseteru, menyelesaikan perseteruan itu, dan memulihkan pihak-pihak tersebut ke dalam persahabatan.

Tuhan kita Yesus Kristus bukan sekadar seorang pengantara diplomatis atau politis (yang tugasnya adalah menyelesaikan sengketa antara dua atau lebih negara atau pemerintahan sipil, atau antara dua atau lebih faksi di dalam sebuah negara), atau seorang pengantara keluarga (yang berupaya mencapai kesatuan antara dua atau lebih pihak di dalam sebuah keluarga) atau seorang pengantara pernikahan (yang mencoba memulihkan persekutuan antara suami dan istri). 1 Timotius 2:5 berbicara tentang seorang pengantara religius, seorang pengantara antara Allah yang kudus secara sempurna dan manusia yang rusak secara total: “Karena Allah itu esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus.”

Pengantara religius kita, Yesus Kristus, sudah pasti adalah pengantara kovenan. Ia menghilangkan perseteruan antara Allah dan manusia – kesalahan sepenuhnya ada di pihak kita – dan memulihkan persekutuan kita dengan Yehova. Karena kovenan merupakan persahabatan dan persekutuan dengan Allah, Tuhan Yesus adalah pengantara kovenan kita. Maka, Surat Ibrani menyebut Dia “Pengantara dari suatu perjanjian [atau kovenan] yang baru” (9:15) dan “Pengantara dari perjanjian [atau kovenan] yang lebih mulia” (8:6; bdk. 7:22).

Di manakah Kristus, Pengantara kita, berada? Di sorga? Ya. Apakah juga di bumi? Ya. Kapankah Ia menjadi Pengantara kita? Sekarang? Ya. Dan selama pelayanan-Nya sekitar 2.000 tahun yang lalu? Ya! 1 Timotius 2 dengan jelas mengajarkan hal ini. Sebagai pengantaralah (ay. 5) Yesus Kristus “menyerahkan diri-Nya sebagai tebusan” sementara berada di dunia dua milenia yang lalu (ay. 6).

Hal ini menjadikan teramat jelas bahwa Tuhan Yesus, pengantara religius dan kovenantal kita, membawa persahabatan antara Allah dan kita bukan hanya sebagai seorang guru yang bersahaja (seakan-akan perkataan bijak semata bisa melakukannya) atau seorang reformator moral (seakan-akan sekadar transformasi etis kita sudah cukup untuk membawa kita kepada Yehova) atau seorang juru syafaat yang bersungguh-sungguh (seakan-akan doa-Nya yang tekun untuk kita dengan sendirinya sudah cukup untuk memperdamaikan kita dengan Yang Mahatinggi). Pengantara religius dan kovenantal kita memulihkan kita ke dalam persekutuan dengan Allah yang hidup, karena pengantara kita (ay. 5) “telah menyerahkan diri-Nya sebagai tebusan” (ay. 6). Maka Kitab Suci memuliakan “darah perjanjian [atau kovenan] yang kekal” (Ibr. 13:20).

Perhatikan urutan dari kedua pihak yang di antaranya Kristus menjadi pengantara di dalam 1 Timotius 2:5: “Karena Allah itu esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia.” Ayat ini tidak menyatakan bahwa Kristus menjadi pengantara antara “manusia dan Allah,” meskipun pernyataan ini benar. Ayat ini mengemukakan bahwa Juruselamat kita menjadi pengantara “antara Allah dan manusia.”

Jika kita yang menulis ayat ini, mari kita berandai-andai sejenak, kita mungkin telah menulis dengan urutan yang terbalik: “esa pula Dia yang menjadi pengantara antara manusia dan Allah” karena kita, dan ini patut disesalkan, terpusat pada manusia. Tetapi Roh Kudus dengan penuh hikmat telah menulis “esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia,” yang menekankan inisiatif dan anugerah ilahi di dalam datangnya Allah kepada kita melalui Sang Pengantara yang telah Ia tetapkan.

Untuk menunjukkan pula secara berimbang kebutuhan kita akan seorang pengantara yang adalah manusia, 1 Timotius 2:5 menekankan kemanusiaan Kristus: “Karena Allah itu esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus.” Meskipun Kristus adalah Allah dan memang perlu sebagai Allah untuk bisa menyelamatkan kita, Ia juga harus seorang manusia untuk bisa hidup di dunia, mati di atas salib, dan mewakili kita di sorga.

1 Timotius 2:5 menonjolkan keesaan dan keunikan pengantara kita: “Allah itu esa, dan esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus.” Mengapa hal ini ditekankan? Yesus Kristus begitu agung dan mulia dan berkuasa dan berhasil sehingga hanya satu pengantara yang dibutuhkan! Bagaimanapun, Ia adalah sepenuhnya Allah dan sepenuhnya manusia dan dengan demikian mampu menjadi pengantara antara keduanya. Melalui ketaatan substitusioner dan pendamaian partikuler-Nya bagi semua orang yang telah Bapa serahkan kepada-Nya, yang muncul di dalam anugerah-Nya yang tidak dapat ditolak di dalam diri kita, Ia menyebabkan persekutuan antara Allah Tritunggal dan gereja-Nya. Ini adalah persatuan dan persekutuan yang penuh berkat antara Yehova dan setiap domba-Nya satu per satu! Ada “pengantara [yang esa] antara Allah dan manusia” yang telah datang dari Allah yang hidup kepada kita dan yang membawa kita semua kembali kepada Bapa sorgawi di dalam persahabatan yang penuh kasih seturut kovenan anugerah.

Oleh karena itu, tidak ada dua atau lebih pengantara. Maria, walaupun adalah seorang perempuan yang saleh dan ibu dari Tuhan kita menurut natur manusiawi-Nya, bukanlah mediatriks – perempuan yang menjadi pengantara – antara Allah dan manusia. Para orang kudus (santo dan santa), meskipun adalah saudara dan saudari kita di dalam Kristus, tidak menjadi pengantara antara Yehova dan kita. Gereja, meskipun merupakan “tiang penopang dan dasar kebenaran” (1Tim. 3:15), bukanlah pengantara antara Yang Mahatinggi dan manusia. Bukan pula perbuatan kita maupun apa yang disebut kehendak bebas manusia! Membuat pengantara lain di samping Yesus Kristus berarti tidak bersandar penuh dan tidak percaya kepada Anak Allah yang berinkarnasi dan merupakan penolakan terhadap jabatan-Nya sebagai Pengantara yang mahacukup. Dengan demikian, tindakan tersebut berarti membenci Dia dan karya-Nya di atas salib.

Berdoa kepada Maria dan para santo-santa, atau memandang gereja atau hal apa pun sebagai pengantara, merupakan politheisme. Tetapi bagaimana itu bisa dikatakan memiliki lebih dari satu Allah? Jumlah “satu” atau “esa” muncul dua kali di dalam 1 Timotius 2:5; “Allah itu esa” dan “esa pula ... pengantara.” Jika Anda memiliki pengantara yang esa, Anda menyembah Allah yang esa. Jika Anda memiliki dua pengantara, Anda melayani dua allah. Jika Anda memiliki tiga pengantara, Anda memiliki tiga allah. Demikian seterusnya. Mengapa? Karena pemujaan religius yang hanya diperuntukkan bagi Yehova, seperti doa, ketika dilakukan kepada apa yang dianggap sebagai pengantara berarti “mengilahikan” pengantara itu.

Atau dengan melihatnya dari sudut lain, berdoa kepada atau melalui yang lain di samping Kristus dalam kenyataannya adalah sejenis atheisme. Jika politheisme adalah menyembah banyak allah, atheisme adalah tidak memiliki Allah. Mereka yang berdoa kepada, atau bersandar penuh kepada, yang lain di samping satu-satunya Pengantara sebenarnya tidak naik kepada, atau bersekutu dengan, Sang Pencipta dan Tuhan atas segalanya. Mereka tidak mengenal Allah!

Mencoba untuk mendekati Allah melalui pihak-pihak lain di samping hanya melalui Kristus berarti melakukan penambahan ganda: menambah pengantara-pengantara lain dan menambah allah-allah lain. Penambahan ganda ini juga merupakan pengurangan ganda, karena orang menjadi kehilangan Kristus, satu-satunya Pengantara, dan satu-satunya Allah yang sejati!

Mari kita memercayai perantaraan Kristus yang mulia dan satu-satunya dan berdoa hanya melalui Dia. Dengan cara demikian, kita sampai kepada satu-satunya Allah yang sejati dan hidup dan menikmati pengampunan bagi dosa-dosa kita dan persekutuan kovenan dengan-Nya!

Untuk bahan-bahan lain dalam bahasa Indonesia, klik di sini.