Covenant Protestant Reformed Church
Bookmark and Share

Tekanan dan Persoalan dalam Pernikahan

Pdt. Angus Stewart

 

Dalam I Korintus 7:1-16 terutama menangani kaum yang menikah, dan ayat 17:24 menyampaikan isu panggilan, ayat 25-40 terutama membahas kaum yang lajang, khususnya kaum perawan dan entah atau tidak mereka seharusnya menikah. Sang Rasul tidak menjawab dengan perintah yang langsung: “semua orang harus menikah” atau ”semua orang harus tidak menikah”. Dia berkata, ” Sekarang tentang para gadis. Untuk mereka aku tidak mendapat perintah dari Tuhan” (25), karena Kristus tidak menyampaikan secara spesifik mengenai hal ini dalam pelayanan publik-Nya. Hal ini tidak berarti bahwa Paulus tidak pernah mengatakan hal tersebut: ”Tetapi aku memberikan pendapatku sebagai seorang yang dapat dipercayai karena rahmat yang diterimanya dari Allah” (25). Sang Rasul menasehati bahwa hal itu ”baik” bagi seorang perawan (atau seorang perjaka) untuk tidak menikah (26; bdk. 1, 8). Mengapa? Karena mengingat ”waktu darurat” (26) dan untuk menghidari ”ditimpa kesusahan badani” (28), meskipun hal ini bukanlah suatu dosa bagi orang yang lajang atau janda atau duda untuk menikah (28).

Mengingat ”waktu darurat” (26) dan ”ditimpa kesusahan badani” (28) mengacu pada kesukaran selama penganiayaan atau kesulitan dalam pernikahan dalam dunia yang jatuh ini secara umum? Pertama, tidak ada bukti penganiayaan yang keras dalam kota Korintus pada waktu itu atau waktu setelah itu, kecuali hal itu mengenai frasa itu sendiri. Di dalam surat rasul sebagian besar lainnya (misalnya, I Tesalonika atau I Petrus) atas penganiayaan gereja, hal ini bukanlah kasus dalam I dan II Korintus. Tentu, tidak seperti sang rasul, orang-orang Korintus mengalami banyak kemudahan (1Kor. 4:8-10)! Kedua, kesulitan-kesulitan lainnya dalam pernikahan – kesementaraan ini (7:29-31) dan keperduliaan (32-35) – mengacu pada seluruh zaman setelah kejatuhan [dalam dosa], jadi mengapa bukan di ”waktu darurat” (26)? Lebih lanjut, ”waktu yang masih sisa ini” (29) dan ” pendeknya orang-orang yang mempergunakan barang-barang duniawi” (31) – kedunya mengacu pada zaman yang penuh – melayani sebagai pedoman yang menerangkan ”ditimpa kesusahan badani” (28). Sama halnya dalam Roma 8:18 yang mengatakan mengenai ”penderitaan zaman sekarang”. Karenanya banyak orang, termasuk Calvin, Godet, Grosheide dan Engelsma, melihat kesukaran dalam pernikahan (1Kor. 7:26, 28) sebagai acuan untuk periode dari kejatuhan (Kej. 3:16) hingga kedatangan Kristus kedua. Sebagaimana kita akan lihat, pandangan ini memiliki pengertian yang tepat dari perikop ini.

Tekanan dan persoalan ”dalam daging” (26) membicarakan kesukaran akan orang-orang yang menikah, baik dalam tubuh dan jiwa, dalam hubungan dengan segala situasi kehidupan dalam dunia yang berdosa (karena tidak ada tekanan dalam pernikahan sebelum peristiwa kejatuhan).

Dalam pernikahan, dua orang berdosa diikat bersama untuk hidup di bawah satu atap. Pikirkanlah seorang suami yang tidak mengasihi istrinya, tetapi bersifat tirani, sok berkuasa dan belagu. Pikirkan juga seorang istr yang menolak tunduk kepada suaminya. Egois, membantah, menimpan kepahitan dan selalu enggan bersatu dalam sukacita dan persekutuan.

Dua hal-hal itu mungkin telah memasuki pernikahan tersebut dengan latar belakang, kepentingan, dan perasaan yang berbeda (dan juga memiliki baik natur-natur lama). Si istri menyukai menghamburkan uang, tetapi si suami suka untuk mengekang pengeluaran. Si sumai tidak mau bersama dengan ipar-iparnya, dan si istri memiliki masalah dengan keluarga si suami, dan seterusnya. Inilah cakupan perihal dalam hal-hal men tekanan dan persoalan dalam pernikahan!

Kemudian jika dikaruniai anak-anak. Terdapat kesusahan melahirkan (Kej. 3:16), tidak tidur sepanjang malam, dan berlalu-lalang ke rumah sakit dengan anak-anak. Mungkin seseorang tidak benar-benar menyukai hal-hal yang tidak menyenangkan dengan anak-anak, sementara yang lain hanya mau hal-hal yang ’menyenangkan’ bersama mereka. Mungkin si istri menginginkan memomong mereka, tetapi si suami berpikir bahwa anak-anak itu tidak seharusnya dibungkus dalam kain wol. Atau si suami adalah seorang otoriter, sementara si istri memiliki ”sentuhan lembut” dan anak-anak mulai menikmati hal ini. Pandangan-pandangan berbeda mengenai pendidikan anak-anak akan menambah ruang bagi kedukaan dan persoalan. Maka pasangan yang berdosa itu gagal untuk berhubungan dengan baik dan tidak pernah mencapai satu pikiran-batin mengenai melatih dan mendisiplin anak-anak mereka.

Kesukaran juga tiba di saat pernikahan pada akhirnya. Mungkin pasangan mereka menjadi lumpuh dan engkau harus memeliharanya, atau dia mengalami Alzheimer (kerusakan memori) dan tidak mampu mengingat anda, atau engkau akan menjadi janda atau duda.

Jika penganiayaan bertambah, persoalan pernikahan juga. Bersama suami Kristen (seperti John Bunyan) di dalam penjara yang memikirkan istri-istri dan anak-anak mereka, atau ibu-ibu yang harus melarikan diri bersama anak-anak mereka (bdk. Mat. 24:19-20).

Jelaslah, mereka yang mempertimbangkan akan menikah, harus memperhitungkan kesukaran tersebut. Apakah engkau siap akan hal ini? Satu mata tidak boleh ditutup untuk kebenaran yang dinyatakan dalam bentuk pernikahan Reformed bahwa ”oleh alasan dosa, orang-orang menikah akan mengalami banyak persoalan dan kepedihan, pada umumnya.” Paulus mengetahui kesukaran-kesukaran ini dan dapat dituliskan lebih lagi, hanya menyatakan ”tetapi ... aku mau menghindarkan kamu” (Ikor. 7:28). Jika seorang anak Allah tidaklah siap menikah, dia seharusnya mempertimbangkan untuk menundanya atau melanjutkannya dalam kehidupan yang lajang. Tetapi jika engkau mempersiapkan untuk menikah dan hidup dengan pendamping anda oleh anugerah Allah, engkau harus tetap siaga sebelumnya akan beberapa kesulitan itu. Semuanya ini diperuntukan mengajarkan kesabaran dalam berpacaran dan pernikahan. Hal ini bukanlah selalu indah dan manis atau “suatu yang dicampurkan madu”, seperti kata Calvin. Kita membutuhkan kerealistisan alkitabiah yang sehat.

Walaupun hal ini bukan berarti bahwa orang Kristen boleh dimaklumi jika memiliki pernikahan buruk. Alkitab mengajarkan bahwa terdapat dan akan menjadi persoalan-persoalan dalam pernikahan, baik derajat yang lebih atau kurang, tetapi hal ini berbeda dari suatu pernikahan yang bermasalah. Jika terdapat suatu masalh dengan hubungan anda dengan pendamping anda, hal ini karena dosa, entah dosa anda atau dosa pendamping anda atau (secara umum) dosa keduanya. Kita harus menerima tanggung jawab di hadapan Allah akan hal ini dan bertobatlah. Pernikahan anda harus mengungkapkan persatuan antara Kristus dan gereja-Nya, bersama suami yang mengasihi istrinya sebagaimana Kristus mengasihi gereja dan istri tunduk kepada suaminya dalam Tuhan (Ef. 5:22-33). Dosa harus diakui dan ditanggalkan, khususnya sifat mementingkan diri sendiri. Carilah belas kasihan Allah dan pengampunan dalam salib. Berusaha membangun hubungan anda dan mintalah pertolongan pendeta yang setiawan. Serta, wanita-wanita yang muda seharusnya mendengarkan nasehat wanita-wanita yang matang (bdk. Titus 2:3-5).

Semuanya ini seharusnya menghibur orang-orang yang menikah. Mungkin engkau memasuki pernikahan dengan pandangan kabur dan menderita kejutan-kejutan kecil. Alkitab membicarakan situasi anda; Allah mengetahui permasalahan hidup anda dan akan menopang anda. Serta, yang saya percayai, banyak orang telah mengalami pernikahan bahkan lebih baik daripada yang mereka duga: berpacaran secara saleh, berbagi kehidupan anda dengan orang yang engkau kasihi, bersukacita dalam mengasuh, dll. Dengan Firman dan Roh-Nya, bahkan Kristus membawa kesetiaan kedua pasangan lebih dekat kepada-Nya dan mereka sendiri melalui tekanan dan persoalan dalam pernikahan.

Untuk bahan-bahan lain dalam bahasa Indonesia, klik di sini.