Covenant Protestant Reformed Church
Bookmark and Share

Ikatan Pernikahan yang Tidak Dapat Dipatahkan

Francesco De Lucia

 

Pendahuluan

Doktrin pernikahan merupakan hal yang pasti dari kebenaran yang indah, yang diajarkan oleh Kitab Suci. Doktrin itu terbukti menjadi ketertarikan yang besar bagi setiap orang Kristen, baik kaum muda maupun kaum tua, dan doktrin itu membawa siknifikansi praktis yang luar biasa bagi kehidupan Kristen setiap hari, baik yang telah menikah maupun yang belum menikah dan mereka yang mempertimbangkan pernikahan. Terdapat beberapa hal yang penting untuk dikatakan mengenai pernikahan, dan banyak yang telah dan diperbincangkan dalam gereja Kristen mengenai hal itu.

Namun terdapat satu aspek pernikahan yang penting dan butuh disampaikan secara khusus, karena hal itu sudah terdapat banyak kesalahan yang mengerikan saat ini. Yakni, area perceraian dan pernikahan lagi. Permasalahan ini timbul begitu serius. Jawaban yang benar bagi permasalahan itu mungkin bersiknifikansi kekal bagi perseorangan atau suatu pasangan. Apa yang seharusnya setiap pasangan Kristen lakukan (sebagaimana setiap pasangan menikah yang lain) dalam mempertimbangkan atau menghadapi realitas yang sulit dan menyakitan mengenai perceraian dan pernikahan lagi? Apakah pernikahan benar-benar dipandang sebagai kehidupan? Dapatkah dan apakah ada sesuatu selain kematian fisik untuk mematahkan pertalian pernikahan antara suami dan istri di mata Allah? Apakah pernikahan lagi diperbolehkan, dan jika demikian, dalam hal ini? Bagaimana seharusnya seorang memandang hal-hal ini ketika merenungkan dan mempertimbangkan pernikahan?

Kami akan memberikan jawaban pada pertanyan-pertanyaan yang sangat penting dengan pertama menegaskan bahwa pernikahan menurut Kitab Suci, kemudian apa implikasi mengenai bercerai dan menikah lagi. Marilah kita mulai, pertama-tama dengan menanyakan: Apakah itu pernikahan?

 

Pernikahan adalah … “Apa yang Allah telah satukan bersama”

Pernikahan adalah ikatan pribadi, jasmaniah, psikologi, emosi dan rohaniah antara seorang laki-laki dan perempuan. Ikatan ini diciptakan oleh Allah Tritunggal semata. Pasangan yang mengambil sumpah janji di hadapan publik, dan mereka menjadi satu daging seumur hidup.1 Konsekuensinya, hal ini berarti mereka diikat oleh Allah untuk hidup dalam semua aspek sebagai kesatuan, dalam pikiran,emosi, hasrat, tujuan, aksi mereka, di mana dua orang yang seharusnya mengetahui, menikmati dan menjaga satu sama lain, dan berpikir dan tidak bertindak tanpa keberadaan yang lain. Pernikahan adalah kesatuan yang erat, di mana Allah menciptakan antara dua makhluk yang berbeda jenis kelamin, tentunya, hubungan tererat umat manusia yang mungkin pernah dirasakan. Kesatuan ini begitu dekatnya, begitu terikat, begitu kuat, begitu komprehensif dan melampaui jangkauan yang tidak dapat dipatahkan, sepanjang seorang atau kedua pasangan itu hidup.

Tetapi di manakah hal itu dikatakan dalam Kitab Suci kepada kita mengenai pernikahan? Dalam Kejadian 2, saat penciptaan, ketika Allah membentuk manusia dari tanah, dan membentuk perempuan dari manusia, maka kita melihat pernikahan merupakan kesatuan satu daging dari manusia dan perempuan itu, kesatuan di mana Allah semata yang menciptakan itu diceritakan. Sama halnya Dia semata yang menciptakan manusia dan perempuan. Setelah diciptakan perempuan itu keluar dari manusia, Dia semata yang membawa perempuan itu kepadanya. Dia yang menyebabkan Adam untuk mengenali, walaupun bijaksana dan pengetahuan yang disediakan Allah, bahwa perempuan ini, tidak seperti binatang-binatang yang dia namakan, dikatakan “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku”. Demikianlah, perempuan itu berasal dari dia, seperti dia, bagi dia, dan dimaksudkan oleh Allah Bapa untuk menjadi satu dengannya (Kej. 2:18-25; 1Kor. 11:8-9; Ef. 5:28-32). Allah menciptakan dan membawa sebagian dari tubuh Adam, yang demikian, kepadanya sehingga perempuan itu boleh bersatu dengannya selama-lamanya. Dan karenanya manusia terlihat “erat” kepada istrinya, maka dua orang menjadi “satu daging” (Kej. 2:24). Seperti awal mulanya, pernikahan merupakan kesatuan antara manusia dan perempuan yang timbul dan diaturkan oleh Allah semata sepenuhnya. Dari penciptaan, kita juga memahami bahwa apa pun di luar dari atau melawan dari apa yang Dia maksudkan dan artikan dengan pernikahan sebagai yang diartikan pernikhan, adalah berdosa.

Tuhan Yesus Kristus mendefinisikan pernikahan dengan mengacu pada catatan historis Kejadian 2. Ketika dikatakan bahwa kaum Farisi menjawab pertanyaan yang mereka telah katakan mengenai pernikahan, perceraian dan pernikahan lagi, Ia menjawab dengan memberikan definisi pernikahan (Mat. 19:1-9; Mark. 10:1-12). Dia mengajarkan hal itu untuk mengerti secara tepat apakah natur sebenarnya dari pernikahan dan apa yang dituntut mengenai pernikahan dan pernikahan lagi, kita tidak mengacu pada peraturan yang bersifat Musa (yang sementara) mengenai perceraian, ”melainkan” kita akan maju lebih lagi pada ”permulaan penciptaan” (Mark. 10:6; bdk. Mat 19:8).2 Dengan demikian, maka begitulah definisi pernikahan, Dia menyatakan, “apa yang disatukan oleh Allah” – inilah yang disebut pernikahan, Allah semata yang menyatukan, mempersatukan bersama dua dalam satu tubuh, sebagaimana kita telah lihat di atas dalam gambaran Kejadian 2 – “tidak dapat diceraikan manusia”. Inilah kebenaran bahwa pernikahan merupakan lembaga yang diciptakan oleh Allah semata , dan penyatuan satu tubuh dijadikan oleh Allah semata, ternyata tersirat bahwa manusia, manusia belaka, tidak boleh, dan tentunya tidak dapat, menciderai penyatuan ini! Allah membentuk pernikahan; Allah menyatukan mereka menjadi satu, sepenuhnya tanpa campur tangan manusia dan perempuan tersebut. Manusia tidak dapat, yakni, tidak memiliki kemampuan untuk menciderai sesuatu yang dibentuk oleh Allah. Maka manusia belaka tidak boleh mencoba untuk melakukannya! Hal ini akan menjadi tidak masuk mungkin. Satu-satunya jalan untuk menceraikan apa yang Allah telah satukan adalah kematian dari satu atau kedua orang yang telah disatukan bersama oleh Allah, dan tentunya, kematian ada di tangan Allah semata (bdk. Ul. 32:39; 2Raj. 5:7; Why. 1:18). Hanya Allah, melalui kematian, menceraikan apa yang Dia telah satukan (Rm. 7:2; 1Kor. 7:39).

 

Realitas Rohaniah di balik Pernikahan

Ketika Allah melembagakan pernikahan pada mula penciptaan, Dia melakukan begitu tuntasnya karena Dia menginginkan kesatuan tubuh itu merefleksikan, secara makhluk ciptaan, sesuatu yang lebih tinggi dan baku: kesatuan Allah dengan gereja melalui Kristus dalam (ikatan) kovenan anugerah yang tidak terpatahkan. Kovenan anugerah antara Allah dalam Kristus (Sang Mempelai) dan gereja-Nya (yang dipelai) dilukiskan dalam Kitab Suci sebagai suatu kesatuan dan dibandingkan secara persis pada pernikahan manusia, keduanya dalam Perjanjian Lama dan Baru (bdk. Yeh. 16; Hos. 2; Ef. 5:28-32). Dalam Perjanjian Baru, kita diberi tahu bahwa Kristus dan jemaat menjadi satu dalam Roh (1Kor. 12). Roh Kudus adalah Sang Pengikat yang mengikat mereka begitu eratnya sehingga membuatnya mereka menjadi satu tubuh (1Kor. 12:12dst.; bdk. 6:15-20) dan satu tubuh (Ef. 5:30-32; bdk. Kej. 2:23-24).

Dalam hal ini, penting diperhatikan bahwa Kitab Suci mengatakan begitu jauhnya mengenai pernikahan duniawi sebagai “misteri dari Kristus dan gereja” (Ef. 5:28-32), maka hal itu membuktikan mereka adalah ide yang sama agungnya di dalam benak Allah. Hal ini merupakan jalan yang mencengangkan untuk mengajarkan kita bahwa lembaga pernikahan duniawi, yang diciptakan sejak semulanya, adalah bermakna demikian oleh Allah secara makhluk ciptaan, penyataan dan manifestasi khusus dari hubungan Kristus dan jemaat-Nya. Khususnya dan paling jelas setelah penyataan Perjanjian Baru (contohnya dalam Efesus 5), kita dipanggil untuk menjaga ketentuan ciptaan dari pernikahan, yang pada akhirnya, bukanlah selain lukisan Kristus dan jemaat-Nya. Kesatuan dan hubungan antara Kristus dan jemaat tersebut yang menjaga sebagian yang tersembunyi dan terselubung di dalam Perjanjian Lama, tetapi hal itu telah dinyatakan secara peuh dalam Perjanjian Baru sebagai relalitas akhir bahwa pernikahan manusia, dari penciptaan, dimaksudkan oleh Allah pada penyimbolan ini. Kita tidak dapat gagal untuk memperhatikan beberapa pararelisme yang mencolok ini: bagaikan perempuan itu dipisahkan dari laki-laki itu, demikian gereja itu diambil dari Kristus. Bagaikan perempuan itu dibawa kepada manusia oleh Allah semata, demikian jemaat itu dibawa kepada oleh anugerah yang tidak dapat ditolak dari Allah semata. Selanjutnya, dalam Efesus 5, kita diberi tahu bahwa jemaat itu menjadi “tulang dari tulangku [milik Kristus] dan daging dari dagingku [milik Kristus]”. Kata-kata ini adalah kutipan hurufiah dari catatan penciptaan dari laki-laki dan perempuan dan kelembagaan pernikahan di dalam Kejadian 2. Meskipun pararelisme ini, Allah memberitahukan kita bahwa Adam dan Hawa, dan kelembagaan pernikahan, dimaksudkan untuk mewakili akan menjadi apakah kesatuan Kristus dan jemaat. Hal itu karena kesatuan ini bahwa Roh Kudus dapat menggunakan kata-kata yang digunakan untuk menggambarkan pernikahan manusia pada permulaannya untuk memberi tahu kita sesuatu tentang kesatuan dari Kristus dan jemaat. Dia memberi tahu kita pernikahan manusia apakah yang dimaksudkan untuk melukiskan hal itu sejak pada mulanya.

Siknifikansi rohani kesatuan dari misteri ini bahwa surat Efesus 5 menarik untuk menggambarkan panggilan-panggilan praktis yang paling mendasar dari suami dan istri dalam hubungan pernikahan. Mereka yang menghidupi dan menggunakan kelembagaan pernikahan diharapkan dan dipanggil untuk menghidupi cara demikian bahwa kesatuan mereka merefleksikan segala sesuatu dalam cara makhluk ciptaan tersebut yang adalah antara pernikahan Kristus dan gereja-Nya, menurut ayat 28-32 dan perikop lain dari Kitab Suci yang mengatur masing-masing tugas dan panggilan dari suami dan istri dalam ikatan pernikahan tersebut. Jika suami dan istri hidup secara sempurna dalam kelembagaan pernikahan, bahkan tanpa mengetahui bahwa hal itu mewakili Kristus dan jemaat itu (sebagaimana perihal Adam dan Hawa yang diciptakan dan dinikahkan oleh Allah dan sebelum peristiwa Kejatuhan), mereka akan merefleksikan kesatuan yang indah dalam cara makhluk ciptaan. Orang yang belum percaya dan mereka yang tidak mengetahui tentang Kristus yang masih dipanggil untuk tidak melanggar perintah ketujuh. Mereka tetap dipanggil untuk menghidupi dalam pernikahan menurut hakum Allah bagi pernikahan di mana mereka mengetahui dalam hati nurani mereka (bdk. Rm. 2:14-15).

Ikatan yang tidak terpatahkan

Untuk memahami secara tepat implikasi dari seluruh anggapan ini mengenai topik dari daya yang tak terpatahkan dari ikatan pernikahan itu dalam persoalan perceraian dan pernikahan lagi, maka kita harus memikirkan sekali lagi kebenaran tersebut, hubungan pernikahan yang antitipe dan memikirkan perilaku akan Allah, yakni suami, dan jemaat, yakni istri-Nya. Dan jemaat tersebut tidaklah setia kepada suaminya sebagaimana istri seharusnya berlaku. Sang istri dikatakan melakukan ”perzinahan” (bdk. Yeh. 16; Hos. 2), “berlaku tidak senonoh” dan mengejar “para kekasihnya” (Hos. 2:5). Allah, sang suami, melihat dan mempertimbangkan dosa-dosanya, pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum, sebagai pelacur dan pezinah. Hal ini begitu karena hukum mendefinisikan cara istri tersebut selayaknya dengan mengaitkan dengan-Nya dalam kovenan itu demikian untuk menjadi setia dan menyenangkan-Nya dalam pernikahan mereka (bdk. Im. 26:15; 1Raj. 11:11; Maz. 50:16; Hos. 8:1; Yes. 24:5; Yeh. 16; dsb.). Tetapi dari Hosea dan Yehezekiel, kita melihat bahwa Allah tidak pernah meninggalkan istri-Nya untuk menikahi orang lain. Meskipun Dia melawan dan marah oleh perzinahan istrinya, dan juga menghukum dia karena hal-hal itu, Dia mengasihi dia dengan kasih yang tidak berkesudahan, dan selalu membentuk kembali [status] istrinya dalam hubungan kovenan mereka, mengampuni dosanya dan membuat dia lebih setia kepada-Nya (Yeh. 16:60 dst.; Hos 2:14 dst.).

Hal yang serupa, seorang suami duniawi, dan bahkan lebih lagi seorang suami Kristen, tidaklah selayaknya meninggalkan istrinya – betapa pun gentirnya masalah ketidaksetiaan istrinya – dengan tujuan menikahi perempuan lain. Dalam kasus apa pun, seperti Allah tidak pernah meninggalkan istri-Nya untuk menikahi istri yang lain, begitu pula lelaki Kristen, dan setiap oarng dalam persoalan itu, dipanggil dan diberi tanggung jawab oleh Allah untuk tidak meninggalkan istrinya dengan tujuan untuk menikahi istri yang lain. Dengan tidak meninggalkan istrinya, manusia bertindak menurut tujuan bahwa pernikahan manusia selalu memiliki lukisan makhluk ciptaan dari Allah dalam Kristus dan jemaat. Apa pun yang melampaui atau melawan hal ini adalah suatu kekerasan, dan suatu pelanggaran melawan, makna yang paling mendasar dari kelembagaan pernikahan manusia, sebagaimana yang dipikirkan dan diciptakan oleh Allah sejak semulanya. Kini, sebagaimana yang telah kita bincangkan, tujuan itu adalah hal di dalam kesatuan pernikahan, para pendamping boleh menikmati persekutuan [komuni] secara emosi, fisik, rohani, dan psikologi. Persekutuan ini harus seimbang dengan kehendak Allah ketika hal-hal itu dikerjakan sebagai pendamping, sehingga kesatuan dan komuni semacam ini boleh merefleksikan kesatuan dan persekutuan dari Kristus dan jemaat dalam kebenaran, pernikahan yang tak terpatahkan, yang memulikan Allah!

keberatan umum dalam hal ini adalah ketidaksetiaan seks atau ditinggalkan [mencoba] memutuskan ikatan pernikahan antara dua orang yang menikah. Mereka biasanya berpikir sesuatu seperti, jika pendampingku meninggalkan aku dan pergi dengan kehidupan yang baru dengan pendamping yang lain, hubungan apa, ikatan apa yang telah dia dapat dipertahankan dengan aku? Inilah jawaban Allah dalam Firman-Nya yang lebih sederhana dari jawaban yang mungkin diduga, Mengapa engkau berpikir ketidaksetiaan seks atau ditinggalkan [dapat] “mematahkan” ikatan antara dua pendamping tersebut? hal itu tentu tidak demikian! Hal ini demikian karena, menurut Kitab Suci, hanya ada SATU hal yang ada di mata Allah untuk mematahkan ikatan antara manusia dan istrinya, yakni kematian, kematian fisik dari satu atau keduanya. Inilah kesaksian yang jelas dari Allah dalam Firman-Nya (Rm. 7:2; 1Kor. 7:39). Ketidaksetiaan, yang mungkin serius dan mendukakan, hanya merugikan, merusakkan, memperkosa ikatan intimasi yang Allah ciptakan antara suami dan istri, namun hal itu tidak, dan pernah dapat mematahkan ikatan itu. Bahkan kurang daripada hal ditinggalkan atau pun yang lain. Di hadapan Allah, yang menciptakan ikatan tersebut (Kej. 2; Mat. 19), manusia dan istrinya adalah ”satu tubuh”, dan akan tetap demikian hingga kematian dari salah satu bagian unsur dari ”satu tubuh” ini. Sama seperti dalam pernikahan yang sejati antara Allah dan yang dipelainya, sang jemaat, perzinahan tidak dapat dan tidak mematahkan ikatan mereka, jika hal ini terjadi, maka jemaat pilihan yang sejati juga ditolak selamanya dari hadirat Tuhan (Yeh. 16), Allah telah memikirkan dan membuat pernikahan umat manusia dalam semacam cara di mana Dia yang memang menyatukan dua orang menjadi ikatan akan satu tubuh, maka Dia juga akan menjaganya seumur hidup! Dan Dia memanggil mereka untuk mengetahui dan memercayai cara ini dan menghidupi menurut cara ini!

Karena itu, ada perbedaan yang sangat penting untuk mengingatnya antara suatu ikatan ”dizinahkan” atau ”dirugikan” dan ikatan yang ”dipatahkan”. Bahkan bahasa Inggris menjelaskan bahwa kata ”dizinahkan” itu sendiri tidak dapat mungkin, dan tidak berarti ”terpatahkan”.3 Ketidaksetiaan seks dapat dan memang perbuatan asusila (bahkan mendukakan), yakni, merusakkan, tetapi sebenarnya tidak dapat mematahkan dengan cara apa pun. Hanya Allah, melalui kematian, dapat dan terjadi. Implikasi-Implikasi kesatuan yang mendalam dan berkuasa dan siknifikan semacam itu antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang diciptakan dan dimaknai oleh Allah! Kita mengatakan hal ini sekali lagi: Allah telah mengatur dan membentuk kesatuan satu tubuh dari pernikahan duniawi begitu berkuasa dan tidak terceraikan karena dengan setiap pernikahan umat manusia yang dimaknai-Nya untuk mewakili kesatuan yang berkuasa, tak terpatakhkan, dalam, intim, yang tidak terceraikan, selamanya antara Diri-Nya dan jemaat-Nya di dalam Kristus dengan cara yang indah dan menurut kodratnya.

 

I Korintus 7:15 dan Matius 19:9

Terdapat dua – dan hanya dua – keberatan dalam Perjanjian Baru yang dapat ditimbulkan akan kemungkinaan untuk menyangkal ide pernikahan yang alkitabiah. Salah satunya adalah dari I Korintus 7:15 dan bentuk yang lain dari Matius 19:9. Karena Reformasi Protestan khususnya, teks-teks tersebut telah dipandang mewakili ”pengecualian-pengecualan” pada kebenaran pernikahan seperti yang kita telah bahas di atas. Pada titik ini, kita perlu bertanya: apakah hal itu mungkin bahwa ide pernikahan yang begitu mendasar dan agung, seperti yang bersumber di dalam penciptaan antara manusia dan perempuan dari mulanya. Dapat berkontradiksi dengan dua ayat tersebut? Mungkinkah hal bahwa pernikahan yang dibahas sejauh ini, dapat dianggap putus sebelum kematian dalam kasus apa pun? Kita akan menjawab keberatan ini dari Matius 19:9 sebagaimana kita akan lihat untuk menemukan makna sejati dari I Korintus 7:15. Surat tersebut dikatakan:

Tetapi kalau orang yang tidak beriman itu mau bercerai, biarlah ia bercerai; dalam hal yang demikian saudara atau saudari tidak terikat. Tetapi Allah memanggil kamu untuk hidup dalam damai sejahtera.

Kita perlu bertanya: Apakah mungkin bahwa ide pernikahan yang mendasar dan agung ini, yang berasal dalam penciptaan manusia dan perempuan dari semula itu, dapat berkontradiksi dengan dua ayat-ayat itu? Apakah mungkin bahwa pernikahan yang dipertimbangkan begitu jauh itu, diduga dapat terpatahkan sebelum kematian pada kasus apa pun? Kita akan menjawab keberatan itu dari Matius 19:9 sebagaimana kita berusaha untuk menemukan makna yang sejati dari I Korintus 7:15. Yang berbunyi:

”Tetapi kalau orang yang tidak beriman itu mau bercerai, biarlah ia bercerai; dalam hal yang demikian saudara atau saudari tidak terikat. Tetapi Allah memanggil kamu untuk hidup dalam damai sejahtera.”

Menentukan makna yang tepat dari ayat ini, merupakan hal yang tidak dapat disepelehkan ketika kita melihat konteksnya pada awalnya. Dalam ayat 10, sang rasul menanggapi kasus dari istri yang percaya, dan memerintahkan dia untuk tidak meninggalkan suaminya, karena dia dipanggil untuk menghidupi panggilan praktis yang dia miliki dalam ikatan pernikahan itu sesetia mungkin. Lagipula, meninggalkan suaminya akan membuat suaminya itu untuk melakukan perzinahan (Mat. 5:32).

Dalam ayat 11, kita menemukan izin yang diberikan untuk meninggalkan bagi istri itu, tetapi kita tidak diberitahukan karena itu alasannya. Dalam ayat 10, kita diberitahukan bahwa sang rasul berkata dalam ayat 10-11 mengenai sesuatu yang rasul tersebut tidak perintahkan, tetapi yang Tuhan telah perintahkan. Teriring dengan para penafsir orthodoks, kita memahami mengenai apa yang Paulus katakan di sini bukanlah sesuatu yang dinyatakan kepada Paulus pertama kali. Hal ini telah diajarkan dari Tuhan [Yesus] mengenai persoalan ini dalam pelayanan-Nya waktu di dunia. Begitu pula Injil Lukas (16:18), Matius dan Markus (telah dikutip di atas) mengajarkan bahwa bagi seorang percaya, terdapat satu dan hanya satu-satunya alasan mengapa seorang percaya diizinkan untuk meninggalkan pasangannya: perzinahan yang dilakukan oleh pasangannya. Sang rasul hanya mengulangi apa yang Tuhan [Yesus] telah ajarkan di sini mengenai masalah perceraian. Paulus mengajarkan bahwa sang istri tidak boleh menceraikan suaminya, tetapi sang suami juga memperbolehkan istrinya untuk meninggalkan suaminya, untuk berpisah dari suaminya. Meskipun sang rasul tidak secara jelas memberitahukan kita apa alasan sang istri diperbolehkan untuk meninggalkan suaminya, kita menyimpulkan bahwa izin ini diberikan hanya dalam kasus perzinahan, karena hal ini telah diajarkan dari Tuhan sebagaimana dicatat dalam Injil-Injil, di mana sang rasul telah memberitahukan kita bahwa dia hanya mengulangi dalam 1 Korintus 7:10-11.

Namun perhatikan apa yang sang rasul, yang melanjutkan untuk menyatakan kembali apa yang telah diajarkan Tuhan dalam persoalan ini , lanjutkan untuk mendefiniskan panggilan istri ketika dia telah memutuskan untuk meninggalkan suaminya dalam kasas perzinahan yang telah diperbuat suaminya itu: entah tetap tidak menikah atau didamaikan dengan suaminya. Tidak ada pilihan ketiga apa pun hal itu. Tidak ada pernikahan lagi bagi ”pihak yang tidak bersalah”. Maka, tidak perduli masalah yang timbul dengan kemungkinan kekaburan pihak yang lain dari Matius 19:9, jika semuanya diartikan secara langsung serta tanpa mempertimbangkan eksegetis lainnya, kita dapat menambahkan konteks Matius dengan sendirinya yang hanya akan menggabungkan penjelasan kita lebih jauh, mengenai sulitnya menjelaskan makna yang tepat dari Matius 19:9, di mana hal itu diselesaikan secara tuntas.4 1 Korintus 7:10-11 menginterpretasi Injil Matius 19:9, maka menyelesaikan makna sejatinya yang tuntas bagi setiap Alkitab – orang-orang Kristen yang percaya. Dengan terang yang diberikan oleh 1 Korintus 7:10-11, kita dapat mengatakan dengan keyakinan, dengan otoritas rasuli, bahwa Matius 19:9 tidak mengajarkan dengan penekanan bahwa setelah bercerai oleh sebab percabulan di mana diperbolehkan untuk menikah lagi oleh ”pihak yang tidak bersalah”. Pertanyaannya, adalah, apakah kita bersiap untuk berpuas dengan dan menerima apa yang diinspirasikan, oleh penafsiran rasuli dari Matius 19:9 seperti yang diberikan di dalam 1 Korintus 7:10-11 atau akankah kita tetap meragukan atau, lebih buruk lagi, menentang hal ini?

Marilah kita lanjutkan analisa kita dari 1 Korintus 7. Dalam ayat 12, sang rasul mengatakan bahwa apa yang diikuti dari ayat itu adalah sesuatu yang Tuhan [Yesus] tidak pernah hadapi dalam pelayanan di dunia, tetapi yang Dia telah pesankan kepada Paulus untuk menangani pokok masalah tersebut, di bawah inspirasi Allah roh (ay. 40). Maka, apa yang sang rasul akan katakan di sini adalah perintah Tuhan juga, saat ini melalui mulut dari rasul-Nya (bdk. 14:37). Dalam kasus di bawah pertimbangan dalam 1 Korintus 7:12-13 adalah kasus pernikahan campuran antara seorang yang percaya dan yang tidak percaya. Arahan rasuli yang diinspirasikan berikutnya bagi kasus-kasus semacam itu.

Dalam kasus istri yang percaya, yang menikahi seorang suami yang belum percaya, mendapati bahwa suaminya disukakan untuk hidup bersama dengannya, yang meskipun sebenarnya dia adalah orang Kristen, perintah Tuhan melalui sang rasul adalah, jangan tinggalkan dia (suaminya)! Hal yang sama bagi suami yang percaya, yang tinggal bersama dengan istri yang belum percaya. Daya tarik tersebut ditambahkan pada perintah itu adalah Tuhan mungkin menyelamatkan pasangan yang belum percaya melalui perilaku yang saleh dari pasangan yang percaya. Alasan lainnya, yang tidak sejelas yang diberikan oleh teks semacam itu, namun tentu dapat disimpulkan dari teks tersebut secara sah, adalah Tuhan memiliki anak-anak rohani, kovenan yang dipilih-Nya, dari perkawinan campuran pula (ay. 14), yang tentu tidak akan bermanfaat dari kondisi yang menyakitkan dan menekan, yang akan diakibatkan dari perpisahan keluarga itu.5 Alasan yang ketiga, tersirat sebagian dalam arahan Tuhan yang diberikan, di mana sang rasul menduga para pembacanya telah mengetahui (Mat. 5:32), dan sebagian telah dikatakan sebelumnya dalam 1 Korintus 7 (ay. 5), adalah dengan meninggalkan pasangannya, seseorang membawa pasangannya itu ke dalam pencobaan seksual yang tidak setia, sehingga sangat mungkin mengakibatkan pasangannya itu untuk melakukan perzinahan.

Dan kini 1 Korintus 7:15. Dalam ayat 15, kita memiliki kasus dari seorang yang belum percaya yang TIDAK berkenan untuk hidup bersama orang percaya. Apa yang orang percaya tersebut diperintahkan? Hingga saat ini, telah dikatakan selalu bahwa orang percaya tidak boleh meninggalkan suaminya yang belum percaya atau tidak mengusir istrinya yang belum percaya. Hingga kini penekanan ini telah menjadi panggilan orang percaya untuk hidup dalam ikatan pernikahan dan tinggal dalam persekutuan yang telah diciptakan Allah, malahan persekutuan ini tidak terwujud secara penuh ketika salah seorang dari keduanya adalah orang yang belum percaya. Tetapi kini sang rasul menghadapi kasus dari seorang yang belum percaya tidak berkenan untuk hidup dengan pasangan yang percaya dalam ikatan pernikahan. Apa yang orang percaya lakukan? Apakah hal ini tetap tugas orang yang percaya, sebagaimana kasus lainnya berlaku, untuk menyudahi tugas pernikahannya terhadap pasangannya itu, yakni untuk ”menyenangkan” dan ”merawat” dia (ay. 34)? Memikirkan hal ini secara hipotesis ada pada kasus sementara, hal itu tentu akan berarti bahwa orang percaya harus kuat berhubungan dengan orang yang belum percaya, sekalipun (secara berdosa) dia tidak berkenan untuk hidup bersama lagi. Hal itu juga akan menemui segala sifat yang tidak toleran dan absurd. Betapa pun hal ini hanya akan mengakibatkan pergumulan yang berkepanjangan antara orang yang belum percaya yang tidak berkenan untuk tinggal dengan pasangannya lagi dan orang percaya yang mencoba hidup dengan pasangannya! Orang yang belum percaya mungkin akan mencoba mengusir pasangan yang percaya atau membuat kehidupan itu tidak mungkin atau mendesak dia untuk pergi. Orang percaya mungkin bahkan mendesak pemikirannya dengan segala upaya kepada pasangannya, meskipun hal ini akan berbuntut hanya menjadi budak, tugas yang mengikat pasangannya di mana pun dia pergi. Tetapi kehendak Allah dalam kasus semacam ini bukanlah mencoba dan mengejar tindakan yang tidak mungkin dan menekan. Panggilan Allah kepada orang percaya dalaam kasus ini bukan membiarkan orang yang belum percaya pergi, dan tidak tidak memikirkan diri orang itu mengikat dia atau memperbudak baginya.6

Jika orang yang belum percaya itu suatu hari akan merubah pikirannya dan mau kembali dirajuk, rekonsiliasi adalah tetap mungkin, karena orang yang percaya harus bersedia tetap tidak menikah ketika orang yang belum percaya itu hidup.7 kemungkinan pernikahan lagi hanya dibaca dalam ayat tersebut. Kedua ajaran yang umum dari Kitab Suci dan pembacaan yang kontekstual dari bab semacam ini sebagaimana kita telah bahas di atas, yang melarang pemaknaan yang demikian; itulah kasus klasik dari eisegesis (yakni, pembacaan ke dalam suatu teks di mana sebenarnya teks itu tidak ada di sana). 

 

Kesimpulan

Konsensus katolik (universal) dari gereja selama 1500 tahun pertama pada era Perjanjian Baru telah terjadi bahwa pernikahan manusia merupakan ciptaan Allah, persekutuan satu tubuh, antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, bahwa pernikahan itu tidak terpatahkan oleh manusia. Hanya Allah dapat dan memang melakukan demikian melalui kematian fisik. Setelah Reformasi Protestan, gereja sudah dipisahkan pada persoalan tersebut, dengan gereja Anglikan, perkumpulan Persaudaraan, dan – penting untuk diperhatikan – juga beberapa dalam gereja-gereja Reformed, meneruskan dengan konsensus katolik itu, ketika banyak kaum Protestan memisahkan hal itu pada persoalan vital dari daya ketidakterpatahan pernikahan. Protestanisme melakukan demikian, kita percaya, karena hal itu menimbulkan beberapa kerusakan dari kebenaran pernikahan di sepanjang abad, yang lambat laun telah ada dalam gereja, pandangan semacam itu dianggap sebagai sakramen yang menghantarkan anugerah atau pandangan bahwa pernikahan lagi dilarang bahkan setelah kematian salah satu dari pasangan itu atau larangan bagi rohaniawan gereja untuk menikah, ditambah faktor-faktor lainnya.8 2 perikop Kitab Suci yang utama dari Reformator Protestan dan rujukan yang lain yang mendukung revisi mereka akan posisi yang lebih lama dari gereja telah ditunjukan menjadi kasus klasik dari eisegesis. Interpretasi yang salah timbul, sedikitnya dalam bagian, karena masalah-masalah saat itu, seperti yang kita telah bahas dengan singkat. Perikop kedua (Mat. 19:9), tentu tidak dapat begitu berkontradiksi dengan kesaksian Kitab Suci secara jelas dalam perikop yang sejajar dari Injil. Demikian juga, secara konklusif, Matius 19:9 diinterpretasikan dalam istilah-istilah yang mungkin lebih jelas dalam 1 Korintus 7:10-11 yang diinspirasikan itu, yang tidak mengizinkan pernikahan lagi setelah bercerai.

Maka panggilan tersebut bagi mereka yang mencari seorang pasangan adalah mencari seorang yang dengan segenap hati memercayai kebenaran pernikahan alkitabiah dan orang berkomitmen untuk menghidupinya dlaam segala implikasinya, khususnya berkaitan dengan perceraian dan pernikahan lagi. Mereka yang telah menikah, harus mendukung pengejaran panggilan yang penting mereka dengan setia yang menunjukan sesuatu selanjutnya akan misteri yang indah dari kesatuan kekal dan komuni dari Kristus dan gereja-Nya. Mereka yang telah hidup dengan seseorang selain pasangan mereka (yang sejati) didesak untuk mengakui dengan jelas, ide pernikahan alkitabiah, dan berdoa kepada Allah supaya berbelas-kasihan, ia dapat meninggalkan perzinahan mereka, dan, dengan nasihat dan pertolongan dari gereja yang sejati, jika memungkinkan, mencari rekonsiliasi dengan satu-satunya pasangan sejati mereka, atau tetap tidak menikah. Bagi mereka yang tetap memutuskan ada dalam dosa ini, biarlah tidak ada penipuan diri. Kaum pezinah tidak akan mewarisi kerajaan sorga (1Kor. 6:9-10). Karena Allah bukan berusaha mencoba untuk membenarkan perbuatannya yang berzinah dengan mengatakan hal itu. Pertobatan itu tidak hanya tercakup menyesal, dan tidak hanya membenci, dan tidak hanya mengakui dosanya, tetapi juga selalu meninggalkan dosanya itu (Ams. 28:13).

Kita sadar dengan sepenuhnya bahwa sebab kerusakan total semua manusia, tidak setiap orang disiapkan atau akan menerima pengajaran demikian mengenai pernikahan, tetapi hal ini berlaku bagi mereka yang telah diberikan. Namun pada alasan yang sama akan hal itu, kita dapat dan yakin bahwa anugerah Allah, yang dikhususkan kepada pilihan-Nya, akan membuktikan keefektifan yang menyebabkan umat-Nya yang sejati untuk menaati Firman Allah mengenai pernikahan, dengan implikasinya akan perceraian dan pernikahan lagi. Karena itu, dia yang mampu menerima Firman ini, biarlah dia menerimanya (Mat. 19:11-12)!


1 kaul atau ikrar publik mungkin terjadi dalam konteks gerejawi atau bukan gerejawi. Masalahnya adalah ikrar publik (di mana hal itu terjadi di hadapan Allah yang menyaksikan ikrar itu). Dari saat sepasang sudah bersatu dalam pernikahan di hadapan-Nya untuk hidup bersama, dan mereka diikat untuk menghidupi seturut dengan hal itu (bdk. Bil. 30:2; Ams. 20:25; Pkh. 5:2-6).
2 tafsiran dari Ulangan 24 dan hal apa yang Tuhan Yesus katakan mengenai peraturan sementara yang bersifat Musa [dari perantaraan Musa] yang berkaitan dengan perceraian dan pernikahan lagi saat itu, lih. David J. Engelsma, Marriage: the Mystery of Christ and the Church (Jenison, MI: RFPA, 1998), hal. 96-102.
3 Periksalah beberapa makna dari kata “to adulterate" [berzinah, menodai, merusak – terj.] "To break" [mematahkan, memutuskan – terj.] bukanlah kata-kata di antara kata-kata itu.
4 Contohnya, lih. CP CPRC Marriage Resources.
5 Lih. "Holy Children" [Anak-Anak Kudus] untuk eksegesis yang tepat dari I Corinthians 7:14.
6 kata Yunani diterjemahkan “di bawah kuk” (AV) adalah dedoulotai bukanlah berarti "tidak terikat" tetapi "tidak di bawah kuk" merupakan hal yang sangat berbeda! Kata Yunani yang digunakan "ikatan" adalah berbeda. Kata tersebut digunakan dalam I Corinthians 7:15 di tempat lain dalam Kitab Suci dan tidak pernah menyinggung pernikahan (bdk. Kis. 7:6; Rom. 6:18, 22; 1Cor. 9:19; Gal. 4:3; Tit. 2:3; II Pe. 2:19). Kata kerja deo, dengan tepat diterjemahkan "bond" [ikatan] atau "bound" [diikat] digunakan dalam 1 Corinthians 7:2. Deo berarti mengikat bersama, diikat dalam pernikahan; tetapi di sisi lain, douloo berarti di bawah kuk. Maka perikop tersebut bukanlah mengatakan bahwa orang percaya tidak diikat lagi dalam pernikahan! Ide ini tidak ada di dalam teks, atau pun hal ini cocok dengan atau timbul dari konteks. Orang percaya tidak dapat menikah lagi tanpa berbuat zinah terhadap pasangan yang sebelumnya, karena demikian ini masih terikat .
7 Betapa rumit dan sakit halnya, pada situasi orang percaya yang ditinggalkan, telah menikah lagi, jika kemudian pasangannya yang belum percaya itu mencari rekonsiliasi, mungkin bahkan setelah itu ia menjadi seorang Kristen?
8 Untuk pembahasan historis, lih. Engelsma, Marriage: the Mystery of Christ and the Church, hal. 145-229.