Oleh Pdt. Stewart
Dalam I Korintus 7:32-35, rasul Paulus mengembangkan sebuah argumen yang mendukung kelajangan supaya terbebas dari kesusahan pernikahan.
Mengenai seorang lajang, kita membaca, “Orang yang tidak beristeri memusatkan perhatiannya pada perkara Tuhan, bagaimana Tuhan berkenan kepadanya” (32). Tentunya, seorang lelaki yang tidak menikah tidak memiliki tanggung jawab untuk merawat istri (dan anak-anak). Karena itu, kedudukannya adalah seorang yang relatif bebas: kebebasan dari memelihara pernikahan dan kebebasan untuk memfokuskan dalam melayani Tuhan dengan segenap hati. Maka biasanya lelaki yang lajang memiliki kemerdekaan yang lebih besar untuk doa pribadi, berpuasa (5) dan mempelajari Alkitab secara pribadi. Dengan ikatan-ikatan yang lebih sedikit, mereka dapat lebih mudah menggunakan waktunya untuk membaca literatur Reformed yang baik, mendengarkan bahan-bahan alkitabiah pada CD atau tape, mengikuti kegiatan-kegiatan gereja, berbuat baik kepada orang lain, dll.
Namun apakah yang harus dikerjakan oleh kaum lelaki lajang yang tidak menikah? Karena orang-orang demikian lajang, anda memiliki waktu luang yang lebih besar untuk melakukan aktifitas seperti itu daripada kalau anda menikah. Apakah anda akan memperalat keuntungan khusus dalam kondisi anda itu? Apakah anda sadar keuntungan ini? Panggilan anda di hadapan Allah harus disyukuri karena kesempatan anda yang lebih besar yang anda miliki dan pergunakanlah hal itu secara bijak. Hal ini termasuk mempersiapkan diri anda untuk kehidupan pernikahan, jikalau hal ini adalah hasrat anda. Pergunakanlah kebebasan anda untuk bertumbuh dalam anugerah dan dalam pengetahuan akan Yesus Kristus, sehingga hal ini boleh dimampukan untuk memimpin istri anda dalam iman Reformed dan dalam segala kebaikannya.
I Korintus 7:32-35 mengingatkan kita pada prinsip panggilan Kristen: menyenangkan Tuhan. Memuliakan Allah adalah tujuan utama manusia, sebagaimana dalam pertanyaan dan jawaban dari Katekismus Kecil Westminster yang mengingatkan kita. Kita diperintahkan untuk mencari dahulu kerajaan Allah dan kebenaran-Nya (Mat. 6:33). Inilah tujuan dan makna dari kehidupan orang percaya.
Kita semua mengetahui, ada kekurangan dengan menjadi lajang. Beberapa orang yang tidak menikah sangat ingin menikah dan mencari istri yang saleh. Namun janganlah membiarkan hal ini membutakan anda untuk mengambil kesempatan anda yang unik, ketika anda yang lajang memberikan diri anda sepenuh hati untuk pekerjaan Tuhan.
Hal ini memperlihatkan kita bahwa hidup melajang bukanlah untuk kepentingan sendiri. Anda tidak boleh beralasan, ”aku memiliki kebebasan lebih besar, maka aku akan melakukan apa yang aku mau!” Sebaliknya, berpikirlah, ”saya memiliki kebebasan lebih besar, maka saya akan menggunakannya untuk mencari kebaikan bagi gereja Kristus dan kerajaan-Nya supaya saya boleh menyenangkan Dia.”
Prinsip yang sama berlaku bagi perempuan yang lajang: “Perempuan yang tidak bersuami dan anak-anak gadis memusatkan perhatian mereka pada perkara Tuhan, supaya tubuh dan jiwa mereka kudus” (1Kor. 7:34). Berikanlah dirimu bagi pemberitaan Firman dan berdoa, melakukan pekerjaan baik dan melayani jemaat anda dengan cita-cita untuk memuliakan Tuhan.
Sedikit perbedaan dalam pengalimatan antara panggilan kaum lelaki yang lajang (32) dan panggilan kaum perempuan (”supaya tubuh dan jiwa mereka kudus” 34) yang menekankan kenyataan bahwa hal itulah kekudusan yang menyenangkan Allah. Kebebasan yang lebih bebas dari orang yang lajang digunakan (secara sadar) untuk meningkatkan pengudusan – yakni mengkonsekrasi diri mereka, tubuh dan jiwa, bagi-Nya yang membawa mereka, tubuh dan jiwa, dan untuk memisahkan dosa dan keduniawian, dan untuk kekudusan yang sempurna dalam takut akan Tuhan. Tentunya hal inilah apa yang seharusnya dilakukan sekarang oleh semua kaum lelaki dan perempuan yang lajang, entah mereka percaya bahwa Allah memanggil mereka untuk sepanjang hidup dalam kelajangan ataukah entah mereka berharap untuk menikah suatu hari nanti.
Hal ini berarti bahwa cita-cita tersebut dari kaum Kristen yang tidak menikah. Cita-cita tersebut dari kaum percaya yang lajang (yang menikah) harus menyenangkan Tuhan. Orang Kristen yang lajang, menyenangkan Tuhan dalam menggunakan kebebasan yang lebih besar anda dalam hal-hal ilahi. Dan jika anda ingin menikah, hal ini juga menyenangkan Tuhan dengan mencari pasangan yang saleh dan dimurnikan dalam masa pacaran anda.
Sang rasul melanjutkan untuk membedakan kebebasan yang lebih besar dari orang lajang dengan kebebasan dari orang yang menikah: ”Orang yang beristeri memusatkan perhatiannya pada perkara duniawi, bagaimana ia dapat menyenangkan isterinya” (33). Seorang suami Kristen harus menyediakan bagi istri (dan anak-anaknya) – tempat tinggal, makanan, pakaian, dll. Dia harus memberi makan, melindungi dan menjaga istrinya. Dia harus bersekutu dengan istrinya dan mendengarkannya. Jika mereka memiliki anak-anak, dia harus menyediakan waktu bersama mereka. Mungkin dia harus bekerja lebih lama untuk mendukung keluarganya.
Dalam segala sesuatu yang dia lakukan, dia harus memperhitungkan istrinya dalam permikirannya – pertimbangannya, kesukaannya. Sekarang dia harus berpikir secara dua orang dan tidak hanya dirinya saja. Tentunya, artinya ini, bahwa dia harus mengenal istrinya (1Pet. 3:7). Sebagai kepala/pemimpinnya, dia harus memimpinnya – bukan sebagai seorang tirani atau pengganggu atau berperasaan yang dingin. Dia harus memimpinnya ke dalam jalur yang benar bagi kebaikannya, dan benar-benar mengasihinya.
Pokok Paulus di sini bukanlah mengerjakan suatu tugas rumah tangga atau suatu kemunduran tetapi pernikahan membagi perhatian seorang pria. Panggilan pria lajang adalah untuk menjaga pekerjaan Tuhan. Seorang pria yang menikah harus menjaga pekerjaan Tuhan dan ”Orang yang beristeri memusatkan perhatiannya pada perkara duniawi, bagaimana ia dapat menyenangkan isterinya” (1Kor. 7:33).
Tentunya hal ini lebih berat bagi orang yang menikah untuk tetap fokus tentang apa yang harus menjadi hal yang terbesar dalam kehidupan orang Kristen: melayani dan menyenangkan Tuhan. Bahkan bagi beberapa hal dasar. Hal itu lebih berat untuk menyediakan waktu untuk doa pribadi ketika anda tidak lagi sendirian di tempat tidur anda. Berpuasa lebih janggung ketika anda hidup dengan istri dan anak-anak anda. Kesempatan untuk membaca Firman Allah atau buku Reformed yang baik menjadi lebih sedikit dengan tuntutan atas waktu yang diluangkan bagi istri dan anak-anak.
Dari pembahasan kita dari kesusahan pernikahan (1Kor. 7:32-35) dalam buletin yang terakhir, anda dapat mengetahui bagaimana beberapa lelaki Kristen yang menikah mengabaikan kehidupan rohaninya. Karena terlalu sibuk (!), mereka mengabaikan pembacaan Kitab Suci dan doa pribadi. Atau, istri dan keluarga mulai menempati tempat utama dalam kehidupan mereka dan bukan Allah Tritunggal, Pencipta, Penebus dan Hakim kita. Bertobat dan kembalilah kepada salib Kristus untuk mendapat belas kasihan-Nya!
Lalu kita juga mengetahui kenaifan dari beberapa pria lajang yang berpikir bahwa pernikahan adalah penyelesaian dari segala permasalahan mereka. Ya, pernikahan adalah cara yang ditetapkan Allah untuk menghadapi kehangusan seksual (9). Ya, istri akan membawa persahabatan dan membantu di dalam rumah. Tetapi pernikahan bukanlah penyembuhan sepenuhnya, karena pernikahan juga membawa kesusahannya sendiri (33).
Kebenaran dari kesusahan yang bertambah dalam pernikahan juga dialami bagi kaum perempuan yang menikah: ”Tetapi perempuan yang bersuami memusatkan perhatiannya pada perkara duniawi, bagaimana ia dapat menyenangkan suaminya” (34). Istri memikirkan banyak hal untuk merawat dan menyenangkan suami mereka: memasak, membersihkan, membilas pakaian, menjaga rumah (Ti. 2:5), dll. Demikian pula dalam menjaga anak-anak – tidak sempat tidur, mengganti popok dan yang lainnya. Bacalah Amsal 31:10-31 supaya menjadi istri yang bekerja keras dan setia!
Lalu perhatiannya terbagi: menyenangkan Allah Tritunggal dan menyenangkan suaminya. Dia mungkin (dengan salah) hanya memandang dirinya, hanya sebagai ”penolong” bagi suaminya saja (Kej. 2:18) dan bukan terutama sebagai pelayan wanita Tuhan.
Dengan jalan demikian, dia mungkin mulai menyimpang secara rohaniah. Dia mengabaikan saat teduh pribadinya. Iman, harapan dan kasih mulai rusak. Dia hanya berpikir vokasi (panggilan kerja) duniawinya: suaminya, suasana rumahnya, anak-anaknya dan bukan hal-hal yang di atas, di mana Kristus memerintah di sebelah kanan Allah (Kol. 3:1-2).
Lebih lagi, jika suaminya dan pikirannya tidak berjalan erat bersama Tuhan, dia juga akan menderita secara rohaniah. Mungkin, suaminya memperkenalkannya dengan kawan-kawan duniawinya atau suaminya mulai mengambil pandangan yang toleran terhadap doktrin alkitabiah dan kebaikan personal. Biasanya hal ini akan memiliki efek yang bermusuhan secara serius pada istri Kristennya.
Kesusahan dari para istri dan suami harusnya melibatkan pernikahan dalam dunia ini. Sang suami harus memperhatikan istrinya dan keluarganya; jika ia tidak melakukan, dia lebih buruk dari orang yang tidak beriman (1Tim. 5:8). Istri yang Kristen diperintahkan menjadi seorang penolong yang sepadan bagi suaminya (Kej.2:18). Tetapi kesusahan yang penting ini ditambah kerusakan kita sering mengakibatkan kesusahan yang berdosa dan berbagai kecemasan. Anda mungkin membiarkan diri anda menjadi “begitu menderita” dengan pasangan anda, pekerjaan anda, rumah anda, dan anak-anak anda dan masa depan anda. Kecemasan yang mengerikan ini adalah sebuah percobaan yang nyata, khususnya bagi kaum percaya yang menikah.
Jawaban pada kesusahan semacam itu tentunya tidak bercerai (1Kor. 7:10-11, 39). Malahan, engkau harus bertobat dan berfokus pada Yesus Kristus. Jagalah istrimu (dan anak-anak yang diberikan padamu), tidak hanya untuk menyenangkan pasangan anda, tetapi terutama untuk menyenangkan Anak Allah yang mengasihi anda dan memberikan diri-Nya bagi anda. Jangan biarkan saat teduh pribadi anda lewat. Bacalah Firman tiap hari dan curahkan hati anda kepada Allah: “Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apa pun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur” (Fil. 4:6).
Maka apa yang seharusnya seorang Kristen lajang lakukan: menikah atau tetap berlajang? Ini adalah permasalahan yang sang rasul sampaikan: ”Sekarang tentang para gadis ...” (1Kor. 7:25). Dalam ayat-ayat 25-35, Paulus memberikan 3 alasan mengapa kelajangan lebih dipilih: karena tekanan dan permasalahan dalam pernikahan (25-28), pernikahan akan berlalu (29-31) dan ada kesukaran dalam pernikahan (32-35). Sang Rasul akan memilih kaum percaya yang “hidup tanpa kekuatiran” (32) dan bebas “ melayani Tuhan tanpa gangguan” (35). Maka hidup lajang adalah “baik dan benar” (35) – menarik, tepat dan baik bagi orang Kristen – dan juga ”kepentingan” kita (35). Tetapi hal ini bukan dimaksudkan untuk ”menghalang-halangi” (35) atau mengikat anda, sebab bukan karena hal ini yang membuat semua orang Kristen harus tetap lajang!
Dan ada hal-hal yang dikatakan dalam kaitan pernikahan. Mereka yang hangus karena hawa nafsu (9) dan tidak memiliki ”karunia” untuk mengendalikan diri terhadap seksual (7) seharusnya menikah. Ini bukanlah sekadar nasihat; hal ini adalah perintah ”Tetapi kalau mereka tidak dapat menguasai diri, baiklah mereka kawin. Sebab lebih baik kawin dari pada hangus karena hawa nafsu” (9). 2 tujuan utama dan keuntungan dari pernikahan adalah ikatan persahabatan (Kej. 2:18; Mal. 2:14) dan anak-anak (Maz. 127:3-5; 128:3-6). 2 orang yang berbagi hidup mereka, bagaikan gambaran Kristus dan mempelai-Nya (Ef. 5:22-33), dan melanjutkan suatu ”keturunan ilahi [yang saleh]” bagi generasi yang akan datang bagi gereja (Mal. 2:15) – betapa menakjubkannya! Tidaklah heran Salomo mengumumkan, ”Siapa mendapat isteri, mendapat sesuatu yang baik, dan ia dikenan TUHAN” (Ams. 18:22)!
2 pokok terakhir dari orang Kristen yang lajang. Pertama, jika anda ingin menikah, carilah seorang pasangan yang rohaniah! Hal ini akan menyingkirkan banyak kesulitan dari pernikahan dan hal itu akan membawa banyak berkatnya. Kedua, puaslah dalam kelajangan anda. Hal itu bukanlah kondisi yang buruk; hal itu adalah kondisi yang ”baik” (1Kor. 7:1, 8). Gunakanlah kondisi itu untuk memuliakan Allah … meskipun anda masih mencari pasangan yang saleh.
Lain waktu, DV, kami akan membahas “Para Perawanan dan Janda” (36-40), seksi yang paling akhir dari I Korintus 7 pada kelajangan dan pernikahan Kristen.