Ptd. Angus Stewart
Walaupun kelajangan (yang tidak menikah) adalah baik (sebagaimana kita melihat dalam 2 buletin terakhir dari News), terdapat juga bahaya yang menyertainya (IKor. 7:2, 9). Pertama, hal itu dapat disalahgunakan dalam jalan yang egois. Hal ini benar bahwa orang lajang menghindari keperdulian pernikahan (26, 28, 32), tetapi mereka mungkin memilih untuk hidup berdosa dalam diri mereka. Ketimbang menggunakan kebebasan yang lebih besar yang lajang itu untuk melayani Tuhan, mereka mungkin hanya mempergunakan hal itu untuk kesenangan diri mereka. Maka orang lajang berusaha memuaskan setiap nafsu mereka dan menjadi mementingkan diri sendiri dalam menggunakan uang, waktu, saat luang, liburan mereka, dll. Penyalahgunaan kelajangan yang berdosa ini tidak menaati Firman Allah. Kasih “tidak mencari keuntungan sendiri” (1Kor. 13:5). “janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga” (Fil. 2:4). Setiap orang di antara kita harus mencari kesenangan sesama kita demi kebaikannya untuk membangunnya. (Rom. 15:2). Meskipun terdapat kesempatan yang lebih besar umumnya bagi keegoisan diri dalam hidup lajang, maka dari itu, biasanya ini juga berlaku bagi semua anak-anak Adam yang telah jatuh [dari dosa].
Kedua, kondisi fisik orang lajang yang sendirian mungkin menuju kepada perasaan kesepian. ‘Anak tunggal Allah’ tersebut merindukan seseorang yang dengannya boleh berbagi dan berbicara. Maka orang itu cenderung murung dan berpikir bahwa tidak ada seorang pun benar-benar memperdulikannya, bahkan mungkin Bapa di sorga. Kesepian sering dikaitkan dengan kebosanan. “Tidaklah asyik di sini sendirian. Aku harap aku menemukan seseorang untuk hidup dengan dan bagi dia”. Bagi beberapa orang lajang, bahaya ini diperparah dengan terus hidup bersama orangtua mereka. Tetapi tinggal dengan orangtua anda ketika anda makin dewasa, mungkin menghasilkan gesekan, khususnya karena terdapat keinginan alami untuk kebebasan yang lebih besar. Bagaimanapun, tidak hanya orang lajang bahkan bagi beberapa orang yang menikah juga merasakan kesepian, seperti beberapa orangtua di mana anak-anak mereka setelah dewasa dan meninggalkan rumah atau pasangannya dalam pernikahan yang miskin atau orang Kristen yang menikah dengan orang yang belum percaya.
Ketiga, orang lajang mungkin bergumul dengan perasaan gagal. “orang lain (termasuk kebanyakan teman-temanku) menikah dan yang kini telah memiliki keluarga sendiri, tetapi apa yang dapat saya lakukan? Orang lajang mungkin mengeluh, “tidak seorangpun yang mau menyetujui saranku, atau jikalau pun mau melakukannya, hal itu tidak pernah berhasil.” Wanita lajang mungkin merasa tidak dapat bergairah dan tidak menarik bagi kaum lelaki.
Segala hal ini dan lainnya dapat mengakibatkan kegentiran, dan kegentiran pada urusan kehidupan seseorang adalah yang paling penting, kegentiran kepada Allah yang Maha Kuasa, pemerintah dunia tersebut.
Bagaimanapun, bahaya yang terbesar bagi seorang lajang kepada seorang lajang yang lain adalah percabulan. Bahaya-Bahaya yang sebelumnya disebutkan ini, boleh jadi tambahan pencobaan. Nafsu egois yang memperhatikan fisik belaka, mungkin mengakibatkan percabulan. Hawa nafsu dari seorang yang lajang, baik laki-laki maupun wanita mungkin mengakibatkan persetubuhan yang tidak sah. Orang lajang mungkin berpikir bahwa tidur dengan seorang yang lain itu dapat membuktikan sifat keperjakaan dan keperawanannya. Dengan kegentiran dan ketidakpuasan yang lain akan jalan Allah, dapat mengakibatkan seks di luar pernikahan.
I Korintus 6 berbicara banyak hal mengenai percabulan. Pezinah tidak akan mewarisi kerajaan Allah (9-10). Kaum Kristen yang berzinah dengan pelacur membuat anggota Kristus masuk ke dalam percabulan (15-16). Segala dosa lain di luar tubuh, “Tetapi orang yang melakukan percabulan berdosa terhadap dirinya sendiri” (18). Sebab itu anak Allah harus “menjauhkan diri dari percabulan” (18). Hal ini mencakup, menghindari pencobaan-pencobaan seperti berbagai buku, majalah, tontonan, gambar, musik, video, dll yang mengundang hawa nafsu. Percabulan adalah bahaya maut! Menjauhlah!
I Korintus 7:2 mengatakan secara harafiah dari “pencabulan-pencabulan” (jamak): “tetapi mengingat bahaya percabulan [-percabulan], baiklah setiap laki-laki mempunyai isterinya sendiri dan setiap perempuan mempunyai suaminya sendiri” hal ini melarang segala bentuk aktifitas seksual yang tersembunyi, termasuk sodomi (praktik seksual antar sesama jenis atau kepada anak-anak), pelacuran, pornografi (gambar-gambar yang menampilkan kemesuman), dan fantasi-fantasi seksual. Pernikahan Kristen adalah jalan penetapan Allah untuk menghindari percabulan.
Tetapi mengapa sang rasul mengenali percabulan sebagai bahaya nomer 1 dari kaum lajang dan pernikahan sebagai solusi atau “penyembuh” (seperti Calvin mengatakan hal itu)? Pertama, Paulus mempresuposisikan (menyakini suatu konsep di benaknya sebelum ia kemukakan) bahwa laki-laki dan wanita-wanita secara alami saling tarik-menarik antar lawan jenis. Hal ini merupakan bagian dari perlengkapan manusia yang Allah ciptakan bagi kita “laki-laki dan perempuan” (Kej. 1:27). Kedua, dia mempresuposisikan bahwa manusia yang telah jatuh (dalam dosa) memiliki saling ketertarikan kita yang tidak teratur lagi. Maka seksualitas laki-laki ditambah kebobrokannya yang sepenuhnya, hanya menghasilkan nafsu seksual. Laki-laki dan perempuan yang berdosa dengan keinginan seksual sebaiknya dijaga sebaik-baiknya oleh pernikahan Kristen, bukan oleh kaul kebiaraan yang terus menyangkal diri atau oleh pengasingan diri ke suatu biara di padang gurun. Dalam pernikahan, Allah membuat dua menjadi “satu tubuh” (Kej. 2:24). Dalam pernikahan, seks adalah menurut hukum dan bahkan dibutuhkan – sebuah karunia yang baik dari Allah! Dalam pernikahan, dipuaskan dengan kasih dan pembuat kasih dari pasangannya masing-masing, orang Kristen dijaga dari pencobaan untuk berzinah (Ams. 5:15-20).
Beberapa orang boleh memprotes hal demikian sebagai pandangan rendah dari penikahan: Menikahlah atau anda berzinah. Tetapi perhatikan ajaran rasuli dalam surat I Korintus. Pernikahan Kristen adalah persekutuan “satu tubuh” (6:16), yang membawa anak-anak yang “kudus” (7:14), di mana laki-laki “adalah citra dan kemuliaan Allah: tetapi wanita adalah kemuliaan laki-laki” (11:3). Dalam Efesus 5:22-33, Paulus menggambarkan pernikahan Kristen sebagai suatu lukisan persekutuan antara Kristus dan jemaat-Nya – penyajian pernikahan yang paling mulia di mana pun – dan diperintahkan kepada kaum suami: “kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya” (25).
Sumber-sumber bacaan tambahan mengenai hal ini, lihat Better to Marry, buku berhalaman 105 mengenai I Korintus 6 & 7, oleh Prof. David Engelsma (£8.80, termasuk P&P) dan satu seri dari 11 khotbah mengenai I Korintus 7 berjudul "Christian Singleness and Marriage" oleh Pdt. Stewart.
Menghindari percabulan (I Kor. 7:2) bukanlah satu-satunya alasan untuk menikah, tanpa memperdulikan alasan utama untuk menikah. Alasan pertama untuk menikah adalah persahabatan dan perkawanan kovenan dengan seorang pasangan (Mal. 2:14) di mana hal ini merupakan suatu lukisan persekutuan pernikahan antara Kristus dan mempelai-Nya, sang jemaat. Alasan kedua bagi pernikahan adalah membawa anak-anak kovenan. Dalam pernikahan, Allah menciptakan seorang laki-laki dan perempuan “satu tubuh” (Mat. 19:6). “an apakah yang dikehendaki kesatuan itu? Keturunan ilahi!” (Mal. 2:15). Menghindari percabulan adalah alasan ketiga untuk pernikahan (IKor. 7:2). (Pengakuan Iman Westminster 24:2 menyatakan 3 alasan ini). Alasan ketiga ini, tidak seperti 2 alasan yang lain, yang terjadi setelah kejatuhan. Bagaimanapun inilah alasannya, alasan yang sangat praktis. Dan bukanlah alasan itu adalah alasan yang baik: untuk menghindari dosa percabulan dan kerusakan (agar hal itu tidak terulang lagi)?
Pasangan poin lain yang harus diindahkan berdasarkan bahaya kelajangan. Pertama, hawa nafsu seksual yang tidak teratur mungkin mengakibatkan berahi ke dalam pernikahan yang buruk. Pikirkanlah seorang laki-laki yang begitu ingin menikah. Dia merasa terbakar dalam berahi. Untuk memuaskan nafsunya, dia terburu-buru masuk ke dalam pernikahan yang konyol. Padahal dalam persekutuan yang menyatu, dia harus tetap hingga maut memisahkan dia dengan istrinya. Kedua, hawa nafsu seksual yang tidak teratur mungkin mengakibatkan praktik-praktik pacaran yang berdosa. Bukannya dalam tata krama supaya menemukan istri dan suami yang saleh (di mana sebenarnya persetubuhan seksual sebagai bagian dari jalinan pernikahan kemudian), persahabatan itu sendiri menjadi anjang untuk memuaskan nafsu seksual seseorang. Percabulan bisa langsung terjadi gara-gara percumbuan dan pembelaian yang sebentar itu. Masalah dosa ini dalam kesadaran bersalah, dan, bukannya memperkokoh persahabatan, malahan memperlemah dan membingungkan hubungan. Maka melalui pernikahan yang seharusnya menjadi penyembuh berahi seksual yang ditetapkan Allah, tapi pacaran yang berahi malah mengaduk nafsu untuk berzinah! Demikianlah kebobrokan manusia dan penipuan dari dosa!
Berkaitan dengan bahaya percabulan, I Korintus 7:9 memperkenalkan ide-ide yang tidak dapat menguasai diri (mengontrol diri seseorang secara seksual) dan hangus (oleh nafsu): “Tetapi kalau mereka tidak dapat menguasai diri, baiklah mereka kawin. Sebab lebih baik kawin dari pada hangus karena hawa nafsu”. Jelaslah, Alkitab bukanlah hanya bersifat doktrin, tetapi juga bersifat praktis!
Ilustrasi alkitabiahnya bagaikan kehangusan yang dihasilkan dari kehangatan, kehangatan yang dihasilkan dari api, api dari dalam. Api sulit untuk berhenti membakar dan bersifat merusak jika tidak dapat dipadamkan. Umat Allah mengalami hal ini dan bergumul melawan nafsu yang berdosa ini dengan kuasa Roh Kudus dari Kristus yang bangkit. Kadang-kadang santo [bapa gereja] merasakan kehangusan ini lebih sukar dari orang lain. Kadang-kadang dia (salah) berpikir bahwa hal ini tidak dapat dikontrol. Kadang-kadang dia bahkan dengan berdosa menyerah dan memberikan berahinya dalam berbagai macam cara. Jika hal ini keadaan anda, anda harus segera menikah “Sebab lebih baik kawin dari pada hangus karena [hawa nafsu]” (9). Kitab Suci juga mengatakan “Tetapi kepada orang-orang yang tidak kawin dan kepada janda-janda aku anjurkan, …[bahwa] kalau mereka tidak dapat menguasai diri, baiklah mereka kawin.” (8-9). “tetapi mengingat bahaya percabulan, baiklah setiap laki-laki mempunyai isterinya sendiri dan setiap perempuan mempunyai suaminya sendiri” (2). Hal ini adalah perintah dari Yang Maha Tinggi: “biarlah mereka menikah”. Sedemikanlah seseorang harus menikah, berdasarkan Firman Allah!
I Korintus 7:7 juga membahas akan “karunia” ilahi: “Namun demikian alangkah baiknya, kalau semua orang seperti aku [Paulus adalah orang lajang]; tetapi setiap orang menerima dari Allah karunianya yang khas, yang seorang karunia ini, yang lain karunia itu. Karunia ini memiliki 2 bentuk: kelajangan dengan cara menguasai diri dan pernikahan bagi mereka yang hangus [dalam berahi]. Baik kelajangan dan pernikahan adalah kondisi yang baik dan keduanya adalah karunia baik dari Allah yang maha murah kepada umat-Nya. Kita sering berpikir, contohnya, masalah justifikasi (pembenaran oleh iman), pengadopsian dan sorga yang terlunaskan bagi kita oleh Kristus di atas kayu salib. Pengudusan dilunaskan oleh Kristus di atas kayu salib bagi kita juga, termasuk pengudusan dalam kelajangan (memampukan kita untuk menguasai gairah seksual kita) dan pengudusan dalam pernikahan (termasuk persetubuhan dengan pasangan kita sebagai penyembuh kehangusan gairah itu).
Segala hal ini juga berita baik bagi orang Kristen lajang yang sedikit menghadapi atau tidak ada pergumulan dengan gairah seksual. Tidak ada salahnya dengan orang-orang semacam ini. Agaknya Allah telah memberikan mereka (setidaknya saat ini) karunia untuk menguasai seksual.
Bagaimanapun, karunia kelajangan ini diberikan kepada sedikit orang. Kebanyakan orang percaya yang dicatat dalam Alkitab adalah orang yang menikah. Dalam sejarah, kebanyakan orang Kristen menikah dan hal ini juga kita lihat pada zaman sekarang. Karena peraturan pada umumnya bagi orang Kristen adalah menikah (Ikor. 7:2, 9).
Tetapi kita mungkin bertanya, “bagaimana dengan aku? Aku masih lajang, aku bergumul melawan kehangusan, dan aku kelihatannya tidak memiliki karunia menguasai diri”. Jawabannya adalah anda harus berusaha menguasai diri anda sendiri dengan cara berdoa dan tetap teguh mencari anugerah Allah dalam Yesus Kristus. Tuluslah, seperti segala anugerah lainnya dalam hidup orang Kristen, datang dalam cara menanyakan. “Mintalah, maka hal itu akan diberikan kepadamu, carilah, maka engkau akan mendapat” (Mat. 7:7). Katekismus Heidelberg mengajarkan bahwa “Allah akan memberikan anugerah dan Roh Kudus-Nya kepada mereka yang dengan keinginan tulus ikhlas secara terus menerus meminta, dan bersyukur kepada-Nya” (A. 116).
Singkatnya, demikian juga seharusnya bagi mereka yang mencari seorang suami/istri dengan berdoa dan dalam jemaat Kristus, tanpa keputusasaan atau berbalik menggunakan metode duniawi. Tentunya, juga bukan setiap orang layak menjadi seorang suami atau istri. Asal orang itu adalah seorang yang percaya (1Kor. 7:39) dengan orang yang sepaham dengan anda dalam iman alkitabiah dan Reformed.
Untuk bahan-bahan lain dalam bahasa Indonesia, klik di sini.