Prof. Herman Hanko
Saya teringat pada suatu waktu bertahun-tahun yang lalu, mungkin lebih dari tiga puluh tahun yang lalu, Prof. Homer Hoeksema, kolega saya di Protestant Reformed Seminary, dan saya sedang duduk bersama pada satu Jumat sore. Sering kali pada Jumat sore, setelah satu pekan yang sangat sibuk dengan mengajar, dan dengan badan yang cukup letih, kami akan menanggalkan sepatu, menaikkan kaki kami ke atas meja, dan bersantai sambil membahas secara santai hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan dan kehidupan di seminari. Di Jumat sore yang satu ini, kami sedang membicarakan keadaan gereja Yesus Kristus pada saat itu, khususnya di negara kami sendiri. Di dalam pembahasan itu, Prof. Hoeksema melontarkan komentar yang terus saya ingat sampai sekarang. “Kamu tahu,” katanya, “jika kamu melihat sejarah gereja mulai dari hari Pentakosta sampai saat ini, sangat mencengangkan bahwa doktrin-doktrin tentang kedaulatan dan anugerah partikuler sangat jarang dipertahankan secara konsisten oleh gereja; dan kalau pun terjadi, itu hanyalah untuk periode-periode yang singkat.” Sejarah Perjanjian Baru, jika dilihat secara keseluruhan, adalah sejarah kemurtadan yang berulang-ulang. Seperti di masa para hakim di Israel, reformasi berlangsung hanya untuk satu periode waktu yang singkat dan gereja kembali kepada kemurtadan.
Sinode Dordrecht (1618-1619), yang dengan berbagai alasan bisa disebut sebagai salah satu titik terpenting di dalam sejarah gereja, mengadopsi apa yang kita sebut Lima Pokok Calvinisme, yang menjadi topik pembahasan dari bab-bab selanjutnya dari buku ini. Lima Pokok Calvinisme mudah diingat; saya yakin bahwa Anda semua yang sudah dewasa mengetahui apa kelima pokok itu. Untuk anak-anak, saya mengingatkan kalian bahwa kelima pokok ini bisa diingat dengan mudah dengan akronim TULIP: total depravity (kerusakan total), unconditional election (pemilihan yang tanpa syarat), limited atonement (pendamaian yang terbatas), irresistable grace (anugerah yang tidak bisa ditolak), dan perseverance of the saints (ketekunan orang-orang kudus). Lima Pokok ini diadopsi oleh Sinode Dordrecht. Setiap pokok adalah pasal dari Pasal-Pasal Ajaran Dordrecht. Ada lima pokok karena pada tahun 1610 di kota Gouda, yang sekarang menjadi bagian dari negara Belanda, kaum Arminian merumuskan lima pokok yang dimaksudkan untuk mengungkapkan apa yang menurut penilaian mereka merupakan jantung dan inti dari posisi mereka. Poin-poin tersebut kemudian dikenal sebagai Lima Pokok Remonstran. Setiap pasal dari Pasal-Pasal Ajaran Dordrecht adalah jawaban – jawaban menurut Alkitab – bagi satu per satu dari kelima pokok kaum Arminian tersebut. Kelima pokok ini menjadi dikenal sebagai Lima Pokok Calvinisme karena merupakan keyakinan para hamba Tuhan yang bersidang di Dordrecht – dan ini memang tepat – bahwa Lima Pokok ini, yang dikembangkan untuk melawan Lima Pokok Remonstran, adalah berkaitan dengan jantung dari ajaran John Calvin (1509-1564), Reformator Jenewa yang agung itu. Lima Pokok Calvinisme menyatakan dengan jelas ajaran Alkitab mengenai kedaulatan dan partikularitas anugerah Allah di dalam keselamatan.
Meskipun doktrin-doktrin lain tercakup di dalam seluruh kontroversi kaum Arminian dengan gereja-gereja Reformed di wilayah Dataran Rendah yang terjadi pada akhir tahun 1500-an dan awal tahun 1600-an itu, Lima Pokok Remonstran, yang di dalamnya kaum Arminian menyatakan ketidaksetujuan mereka terhadap iman Reformed, dipahami oleh kaum Arminian sebagai jantung dari semua ajaran. Jika mereka dapat meyakinkan gereja-gereja Reformed tentang posisi mereka dalam kaitannya dengan Lima Pokok Arminian tersebut, mereka akan dengan mudah memengaruhi semua doktrin lain yang dipertahankan oleh gereja-gereja Reformed. Para hamba Tuhan dalam Sinode Dordrecht memahami pernyataan kaum Arminian tersebut, dan memahami bahwa untuk membela apa yang menjadi jantung dari Injil, Lima Pokok Calvinisme harus ditegakkan di atas dasar Alkitab yang teguh dan dijadikan pengakuan iman gereja. Dengan perkataan lain, Lima Pokok ini adalah esensi dari Calvinisme, dan para hamba Tuhan dalam Sinode Dordrecht dengan sangat sadar dan sengaja berkata, “Lima Pokok ini adalah pokok-pokok yang ada di jantung kegeniusan theologi sang Reformator Jenewa.” Banyak doktrin lain dipertaruhkan, dan Calvin sendiri di dalam bukunya Institutes of the Christian Religion berbicara tentang semua doktrin lain, tetapi jika orang ingin sampai kepada jantung dari semua ajaran, jantung itu ditemukan di dalam Lima Pokok ini. Lima Pokok ini adalah Calvinisme, Calvinisme dalam pengertiannya yang paling mendasar. Dan Calvinisme adalah ajaran dari Kitab Suci mengenai doktrin-doktrin anugerah.
Apa yang Dordrecht nyatakan sebagai Calvinisme sejati sedang dibantah pada saat ini. Seperti yang Anda sekalian ketahui, saat ini ada pihak-pihak, termasuk di Britania Raya, yang berargumen bahwa Calvin mengajarkan apa yang kita sebut sebagai pendamaian yang terbatas atau penebusan yang partikuler, tetapi sejauh menyangkut perihal luas cakupan penebusan Kristus, Calvin secara konsisten adalah seorang universalis: Kristus telah mati bagi semua manusia. Saya bisa menyebut R. T. Kendall dan Alan Clifford sebagai dua pembela pandangan ini.
Selama bertahun-tahun, sudah tidak terhitung berapa banyak perujukan kepada Calvin yang mencoba untuk mendapatkan dukungan bagi doktrin-doktrin yang asing bagi pemikiran Calvin. Salah satu contoh dari perujukan kepada Calvin ini adalah oleh theolog besar di abad kedua puluh, Dr. Abraham Kuyper, yang meskipun pada tahun-tahun awalnya adalah benar-benar Calvinistik di dalam pemikirannya, namun di kehidupannya yang lebih belakangan ia merujuk kepada Calvin untuk mencari dukungan bagi ajaran sesatnya tentang anugerah umum, sebuah ajaran yang salah, destruktif, dan memecah-belah, yang bisa dikatakan adalah satu-satunya bagian dari theologi Kuyper yang diperhatikan orang pada saat ini. Bagian ajaran sesat dari Kuyper diingat, tetapi ortodoksi Dr. Kuyper sudah lama dilupakan.
Maka, di dalam ceramah-ceramah ini kita berbicara tentang apa yang menjadi jantung dari theologi Calvin. Jika kita mau merangkumkan apa Lima Pokok itu hanya dalam beberapa kata, kita harus berkata bahwa jantung dari Lima Pokok itu adalah doktrin tentang kedaulatan Allah yang mutlak di dalam karya keselamatan oleh iman saja. Kedaulatan Allah selalu menjadi pokok yang diperdebatkan. Di dalam ruang yang terbatas dari bab ini, kita tidak dapat masuk secara mendetail ke dalam sejarah Calvinisme dengan semua aspeknya. Saya akan membatasi pada pemikiran yang mendasar ini, karena di sini kita mendapatkan apa yang merupakan pokok yang paling penting dari Calvinisme: Allah Tritunggal, Allah Yehova, Allah yang kekal adalah berdaulat secara mutlak di dalam seluruh karya keselamatan yang Ia laksanakan. Pokok ini telah menjadi perdebatan di seluruh sejarah gereja di dalam dispensasi baru.
Peperangan-peperangan lain harus dilakukan, peperangan di front ini, peperangan di front itu, dan gereja sering dipanggil untuk berjuang melawan kesalahan-kesalahan di banyak front yang berbeda di dalam perang rohaninya. Tetapi itu hanyalah pertempuran kecil. Perang yang paling sengit adalah mengenai pokok tentang kedaulatan Allah di dalam karya keselamatan. Dari dulu selalu demikian dan akan selalu demikian sampai akhir zaman. Apakah Allah berdaulat di dalam karya keselamatan? Tema agung dari theologi Calvin adalah kemuliaan hanya bagi Allah. Kemuliaan hanya bagi Allah karena keselamatan adalah karya Allah semata. Pada pokok yang khusus ini, musuh-musuh telah berulang kali dan dengan beragam cara menyerang kebenaran Kitab Suci ini. Pada front inilah kita sekarang melakukan peperangan. Jika kita memberikan perhatian penuh untuk memerangi kejahatan-kejahatan yang hanya bersifat periferal di dalam gereja, kita akan menjadi tidak setia di dalam peperangan yang satu ini. Kita akan menjadi seperti orang-orang yang dikatakan oleh Mazmur 78: “Para prajurit yang berbalik pada hari pertempuran; mereka tidak berpegang pada perjanjian Allah dan enggan hidup menurut Taurat-Nya.” Di sinilah lini peperangan yang menjadi bagian dari panggilan Anda sekalian dan saya. Musuh tidak menginginkan kedaulatan Allah di dalam karya keselamatan. Musuh merancang berbagai siasat yang licik untuk menghancurkan kebenaran ini.
Ketika Calvin mengembangkan kebenaran tentang anugerah Allah yang berdaulat di dalam karya keselamatan, ia secara sengaja dan sadar kembali kepada karya seorang bapa gereja yang besar, Augustine. Augustine meninggal pada tahun 430, lebih dari seribu tahun sebelum Reformasi. Augustine mengajarkan, khususnya menjelang akhir hidupnya di dalam perlawanannya melawan kaum Pelagian dan Semi-Pelagian yang tersebar luas terutama di Prancis, semua doktrin yang Calvin ajarkan. Jika Anda membaca tulisan-tulisan Augustine, termasuk karya besarnya City of God, Anda akan menemukan semua doktrin ini, seluruh Lima Pokok Calvinisme. Kita bisa saja menyebut kelima doktrin ini Lima Pokok Augustinianisme. Dan akan sama benarnya jika memberi kelima pokok ini nama tersebut sebagaimana halnya nama Calvinisme. Augustine bahkan mengajarkan reprobasi yang berdaulat. Banyak pihak yang tidak menginginkan doktrin tentang anugerah yang berdaulat akan menantang pernyataan tersebut dan menyangkal bahwa Augustine bukan hanya mengajarkan pemilihan yang kekal dan berdaulat tetapi juga reprobasi. Tetapi Augustine memang mengajarkan itu. Ia mengajarkan doktrin tersebut sejelas, meskipun tidak seekstensif dan seluas, Calvin. Ia melihat bahwa reprobasi adalah bagian yang niscaya dari kebenaran tentang pemilihan. Hal ini penting, karena sering kali doktrin pertama yang diserang dari anugerah yang berdaulat adalah kebenaran tentang reprobasi.
Calvin kembali kepada Augustine dan mengambil ajaran-ajaran Augustine ini dengan alasan yang sangat baik: karena Gereja Katolik Roma, meskipun dengan ironi yang sangat luar biasa, juga merujuk kepada Augustine sebagai orang kudus yang menonjol dan bapa dari theologi Katolik Roma. Tetapi, Roma merusak ajaran Augustine pada poin yang mendasar dari kebenaran tersebut. Roma mengadopsi Pelagianisme yang dimodifikasi. Saya selalu mengatakan bahwa dari sudut pandang tertentu, Roma tidak bisa menghindar dari melakukan itu. Pada saat Augustine membuka suara untuk membela anugerah yang berdaulat, Gereja Katolik Roma telah menerima penuh sistem kebiaraan beserta doktrinnya tentang jasa dari perbuatan baik. Mereka yang menyerahkan diri kepada kepada kehidupan biara memiliki jasa yang membuatnya mendapatkan anugerah-anugerah khusus. Kepada kata jasa yang menjerat dan menakutkan itulah Gereja Katolik Roma telah berkomitmen sejak awal sejarahnya, dan ini membuat gereja tersebut tidak bisa mengadopsi posisi Augustine. Roma menyebut Augustine “Doktor Anugerah,” tetapi gereja itu menyangkali kebenaran mengenai anugerah. Semi-Pelagianisme berjaya di dalam Gereja Katolik Roma ketika gereja itu secara resmi menyetujui sejumlah ajaran Augustine yang periferal namun menolak ajarannya yang emfatik dan tajam mengenai anugerah yang berdaulat. Semi-Pelagianisme disetujui oleh Gereja Katolik Roma ketika gereja itu mengizinkan kaum Semi-Pelagian yang kukuh untuk tetap berada di dalam gereja itu dan memegang jabatan untuk mengajar di dalam gereja itu tanpa didisiplinkan. Semi-Pelagianisme semakin menjadi doktrin Roma sampai disetujui secara resmi oleh Sinode Orange pada tahun 529.
Di sepanjang milenia berkuasanya Katolik Roma, suara terkeras yang membela doktrin anugerah adalah suara Gottschalk, biarawan pada abad kesembilan yang telah mempelajari Augustine. Ia menulis sejumlah pengakuan iman dan dengan gigih membela ajaran-ajaran Augustine, temasuk yang berkaitan dengan pemilihan dan reprobasi. Sebagai akibat dari penekanannya pada kebenaran ajaran Augustine, Gottschalk menderita kematian sebagai martir di tangan Roma. Pada poin ini, Roma sudah menjadi gereja palsu. Pengakuan Iman Belanda kita, pada Artikel 29, berbicara tentang gereja palsu sebagai gereja yang menganiaya orang-orang yang berpegang pada kebenaran. Semua harapan bahwa Roma masih bisa mengajarkan hal yang berbeda berakhir bersama kematian Gottschalk sebagai martir.
Untuk menunjukkan bahwa Reformasi bukanlah ajaran baru, bukan memasukkan ke dalam pemikiran gereja ide-ide baru yang belum pernah terdengar di dalam gereja, dan yang akan menjatuhkan bayangan yang panjang atas seluruh Reformasi, Calvin secara sadar kembali kepada Augustine dan berkata, “Apa yang saya katakan adalah doktrin dari sosok yang kalian sebut ‘doktor anugerah’ – bukan hal yang berbeda.” Jika Anda sekalian membaca Institutes karya Calvin, Anda akan melihat bahwa rujukannya kepada Augustine lebih banyak daripada jumlah semua rujukan kepada bapa-bapa gereja lainnya.
Doktrin-doktrin anugerah sebagaimana dipaparkan di dalam Lima Pokok Calvinisme telah sering diserang – bahkan oleh mereka yang mengaku sebagai kaum Calvinis. Doktrin-doktrin ini telah diserang pada pokok-pokok yang berbeda dan dengan cara-cara yang berbeda. Kaum beriman telah dipanggil untuk berjuang membela kebenaran-kebenaran Calvinisme pada berbagai front peperangan. Di masa Calvin, doktrin-doktrin anugerah sudah menjadi sasaran dari serangan yang pahit dan sengit, khususnya terhadap doktrin predestinasi yang berdaulat.
Doktrin ini memiliki banyak musuh. Saya bisa menyebut, misalnya, Pighius. Tetapi musuh besar di dalam kota Jenewa sendiri adalah seorang bernama Jerome Bolsec, anggota gereja Jenewa, yang mengklaim bahwa dirinya adalah Protestan. Ketika salah seorang hamba Tuhan sedang berkhotbah pada satu ibadah di hari biasa mengenai doktrin predestinasi yang berdaulat, Jerome Bolsec berdiri dan, dengan menyela khotbah itu, ia mulai membela pandangan-pandangannya sendiri dengan serangan yang tajam dan pahit terhadap predestinasi yang berdaulat, khususnya doktrin tentang reprobasi. Yang tidak ia sadari adalah bahwa saat itu Calvin sudah memasuki ruangan selama ibadah dan sedang bersandar pada tiang pintu auditorium itu dan mendengarkan serangan Bolsec. Ketika Bolsec selesai, Calvin pun maju, naik ke mimbar, dan, secara impromptu, memberikan pembelaan yang cemerlang dan luar biasa, yang berdasarkan pada Kitab Suci, bagi kebenaran tentang predestinasi yang berdaulat, termasuk pemilihan dan reprobasi. Akan tetapi, ini tidak menghentikan Bolsec; ia terus mengumpati dan menyatakan keberatannya terhadap doktrin tersebut – keberatan-keberatan yang sama yang masih kita dengar pada saat ini. Ia bukan hanya menyangkali reprobasi, tetapi secara terbuka ia menyebarkan ajaran sesatnya ke seluruh kota Jenewa sampai konsistori dan kompi gembala sidang terpaksa mengambil tindakan.
Sebelum konsistori dan kompi gembala sidang di kota Jenewa siap mengambil tindakan final terhadap Bolsec, mereka merumuskan sebuah dokumen berjudul Consensus Genevensis, di mana mereka mengungkapkan pandangan-pandangan mereka mengenai predestinasi yang berdaulat, termasuk pemilihan dan reprobasi. Dokumen itu ditulis oleh Calvin sendiri dan disetujui oleh pihak-pihak berotoritas di dalam gereja Jenewa. Tetapi sebelum diadopsi secara resmi dan dipandang sebagai doktrin yang mengikat di dalam gereja Jenewa, dokumen itu dikirim ke kantong-kantong Protestan di sekitar kota Jenewa dan semua Reformator Swiss lainnya untuk mendapatkan persetujuan dan dukungan mereka. Bayangkan kekecewaan di Jenewa ketika semua kantong, kecuali satu, mengkritik posisi Jenewa sebagai posisi yang terlalu keras; secara khusus kritik dilontarkan terhadap doktrin reprobasi. Bahkan sosok theolog besar seperti Henry Bullinger memandang posisi Jenewa berkaitan dengan doktrin ini sebagai posisi yang teramat sangat keras. Satu-satunya yang setuju adalah William Farel yang berada di kantong Protestan di Neuchatel.
Akan tetapi, Jenewa tidak mundur hanya karena kantong-kantong lain di Swiss tidak menyetujui doktrin tersebut dan tetap mengadopsinya, sehingga doktrin ini – meskipun diserang oleh banyak pihak yang memusuhi kebenaran – telah menjadi salah satu pokok Calvinisme. Bahkan dalam kenyataannya, doktrin ini telah menjadi pokok yang paling penting. Anda bisa menilai apakah seseorang adalah Calvinis sejati atau bukan dengan mengajukan pertanyaan ini kepadanya: Apakah Anda memercayai reprobasi yang berdaulat? Anda akan mendapati bahwa hampir tidak ada dari antara kaum Calvinis yang akan menjawab pertanyaan itu secara afirmatif. Tetapi doktrin ini adalah Pasal Ajaran Pertama dari Pasal-Pasal Ajaran Dordrecht.
Ketika kontroversi Arminian terjadi di Belanda, kurang dari 59 tahun setelah kematian Calvin, kaum Arminian, meskipun mereka juga tidak mau menerima predestinasi, menyerang kebenaran-kebenaran Calvinisme pada pokok yang lain: kerusakan (depravitas) total. Hal yang sentral bagi kaum Arminian adalah doktrin tentang kebebasan kehendak manusia. Mereka berkeras, seperti yang sering dilakukan oleh kaum heretik, “Kami adalah kaum Reformed. Kami memercayai doktrin-doktrin anugerah; kami mempertahankan semua doktrin tersebut; kami memegang semua doktrin tersebut sebagai doktrin yang sangat bernilai dan berharga.” Akan tetapi, sebagai pokok yang sentral dan utama bagi mereka, mereka mengajarkan kehendak bebas manusia. Manusia harus memiliki peran di dalam persoalan keselamatan. Dalam hal tertentu manusia juga harus menjadi pelaku yang penting di dalam karya Allah untuk menyelamatkan gereja-Nya. Sebagai pembelaan bagi posisi yang mendasari Arminianisme itu, mereka melancarkan serangan terhadap kebenaran tentang kerusakan total.
Berpijak dari sudut pandang kebebasan kehendak manusia, kaum Arminian juga tidak menyetujui semua pokok lain dari Calvinisme. Mereka merumuskan Artikel-Artikel Remonstran di Gouda pada tahun 1610. Mereka mengerti bahwa berkomitmen kepada doktrin tentang kehendak bebas berarti berkomitmen kepada sebuah posisi yang pada setiap pokoknya berlawanan dengan doktrin-doktrin tentang anugerah yang telah Calvin tekankan. Tetapi serangan mereka merupakan suatu pendekatan yang berbeda, yang lebih tidak kentara, sebuah serangan pada front yang berbeda. Dan itu menjadi penyebab diselenggarakannya Sinode Dordrecht (1618-1619) yang sangat penting itu. Saya tidak akan berbicara tentang sinode tersebut, kecuali memberikan satu pernyataan: Allah di dalam pemeliharaan-Nya yang penuh rahmat atas gereja-Nya telah menetapkan segala sesuatu yang terjadi di Belanda, sehingga bukan hanya kekuatan Arminian yang dikalahkan oleh apa yang bisa kita sebut sebagai sinode internasional dari para theolog terbesar di Eropa, tetapi juga kebenaran-kebenaran tentang anugerah yang berdaulat dimasukkan di dalam sebuah pengakuan iman dari gereja yang berdiri sebagai benteng yang melawan semua serangan terhadap anugerah Allah yang berdaulat. Pasal-Pasal Ajaran Dordrecht adalah panji yang diikuti oleh barisan kaum Calvinis di dalam peperangan. Para theolog terbaik di Eropa berbicara dan menetapkan doktrin-doktrin tentang anugerah dalam bentuk pengakuan iman. Seluruh Eropa yang Reformed menyetujui: inilah Calvinisme. Tidak menyetujui pokok yang mana pun dari Pasal-Pasal Ajaran Dordrecht berarti berpaling dari Calvinisme. Maka, syukur kepada Allah, kita memiliki doktrin-doktrin tentang anugerah yang teramat bernilai ini, yang kita akui dan yang deminya kita berperang, dimasukkan ke dalam pengakuan iman yang mengikat bagi gereja Yesus Kristus.
Namun, kesalahan tetap bertahan. Beberapa tahun saja setelah Dordrecht, muncullah kesalahan Amyraldianisme di Prancis di dalam sekolah Saumur. Amyraldianisme disebut Universalisme Hipotetis karena kaum Amyraldian mengikuti theologi dua jalur yang sama dengan yang ada di dalam begitu banyak gereja pada saat ini: Di satu sisi ... tetapi di sisi lainnya.... Di satu sisi, Allah hanya memilih kaum pilhan untuk keselamatan; tetapi di sisi lain, Allah memilih semua manusia. Kristus mati hanya untuk umat-Nya; tetapi Kristus juga mati untuk semua manusia. Keselamatan adalah karya anugerah yang berdaulat; tetapi hanya secara hipotetis; karena keselamatan juga bergantung pada kehendak bebas manusia. Ini adalah theologi dua jalur, dan unsur-unsur di dalamnya yang bisa kita sebut benar-benar Calvinistik hanyalah hiasan untuk menipu orang-orang yang tidak menyadarinya, untuk memberikan kepada ajaran sesat itu (karena ini yang sering dilakukan oleh pengajar yang sesat) nuansa seakan-akan ajaran itu berasal dari Kitab Suci dan iman Reformed. Itu adalah sikap yang seolah-olah menyetujui Sinode Dordrecht, tetapi pada saat yang sama adalah serangan yang sengit terhadap kebenaran-kebenaran yang dibela oleh Dordrecht.
Yang lebih memperburuk lagi, Amyraldianisme, khususnya di Kepulauan Britania, telah menjadi pandangan yang diterima tentang doktrin-doktrin anugerah. Hal yang bagi saya sangat mencengangkan adalah ini: Amyraldianisme, yang memiliki permulaan yang sangat kecil di Kepulauan Britania, telah menjadi theologi yang dominan. Menurut saya, kaum Amyraldian mengklaim sebagai Calvinis sebagian besar dikarenakan kontroversi Marrow pada awal abad kedelapan belas di Skotlandia.
Kontroversi Marrow terjadi karena sebuah buku karya Edward Fisher, seorang Calvinis di abad ketujuh belas, yang berjudul The Marrow of Modern Divinity, yang berbenih Amyraldianisme. Benih-benih Amyraldianisme ini bertumbuh sampai menghasilkan buah di dalam kontroversi Marrow. Bahkan Persidangan Westminster, pada tahun 1640-an, tidak bisa menahan masuknya Amyraldianisme. Cukup menarik bagi kita untuk berhenti sejenak dan memperhatikan fakta bahwa ada kaum Amyraldian (yang bukan sekadar nama) di dalam Persidangan Westminster. Mereka menyatakan pandangan mereka; di dalam persidangan itu, mereka secara terbuka membela pandangan-pandangan Amyraldian. Mereka berulang kali ditegur; pandangan-pandangan mereka ditolak. Pengakuan Iman Westminster mengambil keputusan yang tegas mengenai semua doktrin tentang anugerah, termasuk tentang pemilihan dan reprobasi. Tetapi pengakuan iman tersebut tidak dapat menghentikan penyebaran Amyraldianisme sebagaimana Sinode Dordrecht tidak dapat menghentikan penyebaran Arminianisme di wilayah Dataran Rendah dan akhirnya di Amerika.
Kaum Marrow mengklaim bahwa mereka adalah Calvinis, bahkan Calvinis yang solid. Tetapi kaum Marrow menyerang doktrin-doktrin Calvinisme pada front yang berbeda. Bukan ide tentang kehendak bebas yang telah disebarkan oleh kaum Arminian; bukan serangan yang terbuka dan kasar terhadap predestinasi yang menjadi ciri khas musuh-musuh Calvin; sebaliknya, serangan itu dilancarkan terhadap pemberitaan Injil. Di situlah kaum Marrow menyerang iman Reformed. Mereka berkata, “Pemberitaan Injil harus tersebar ke seluruh dunia. Pemberitaan ini harus dilakukan dengan bentuk yang sedemikian rupa sehingga bukan hanya mengonfrontasi manusia dengan kewajiban untuk meninggalkan dosa, bertobat dari dosa, dan memercayai Kristus, tetapi pemberitaan ini juga harus dipresentasikan dengan cara yang semenarik mungkin. Di dalam pemberitaan Injil ini ada unsur Allah memohon kepada manusia untuk percaya, Allah melakukan semua yang bisa Ia lakukan untuk meyakinkan manusia tentang betapa baiknya menerima Injil dan memercayai Kristus.” Aspek dari pemberitaan Injil inilah, yang di dalam pemikiran kaum Marrow merupakan satu-satunya cara yang mungkin untuk membawa Injil kepada orang yang belum bertobat, yang harus mengungkapkan dirinya di dalam keinginan universal Allah untuk menyelamatkan semua manusia. Di dalam kasih Allah bagi semua manusia tersebut, Ia memohon kepada manusia untuk “mendekat kepada Kristus,” jika saya boleh menggunakan ungkapan favorit kaum Marrow tersebut. Karena berkeinginan untuk menyelamatkan semua manusia, Allah mengasihi semua manusia; tetapi kasih Allah memiliki dasar yudisialnya pada salib, maka di dalam pandangan-pandangan kaum Marrow tercakup pula pendamaian yang universal. Saya tahu bahwa kaum Marrow tidak konsisten di sini. Mereka bersikeras bahwa Kristus mati bagi umat-Nya. Tetapi, mereka juga mengajarkan bahwa Ia “mati bagi semua manusia.” Walaupun sejumlah hal yang dikatakan oleh kaum Marrow mengenai pemberitaan atau khotbah memang benar, namun mereka salah besar di dalam mengembangkan pemberitaan itu. Mereka berakhir pada doktrin penebusan yang universal. Distingsi apa pun yang bisa Anda berikan antara “Kristus mati bagi kaum pilihan” dan “Kristus mati bagi semua manusia,” ini jelas merupakan penolakan terhadap kebenaran tentang penebusan Kristus yang partikuler.
Theologi Marrow, dengan ajarannya tentang tawaran Injil dengan maksud yang sesungguh-sungguhnya, telah berjaya di Kepulauan Britania dan telah tersebar ke Amerika dan tempat-tempat lainnya. Dan sejak masa kaum Marrow, pada saat ini musuh besar dari anugerah yang berdaulat adalah apa kita semua kenal sebagai tawaran Injil dengan maksud yang sesungguh-sungguhnya, di mana Allah mengungkapkan keinginan dan maksud-Nya untuk menyelamatkan semua manusia. Kita harus memberi tahu semua manusia, jika kita ingin membuat Injil bisa diterima oleh mereka yang belum bertobat, “Allah mengasihimu. Allah telah menjadikan Kristus tersedia bagimu. Karena natur dari pendamaian-Nya, Anda memiliki dasar untuk memercayai Kristus. Allah telah melakukan semua yang bisa Ia lakukan untuk meyakinkan Anda tentang betapa baiknya menerima Kristus dan mendekat kepada-Nya.” Anda semua mengetahui aspek dari serangan terhadap doktrin-doktrin tentang anugerah ini: cerdik, berbahaya, menipu, dan akhirnya menghancurkan semua kebenaran Calvinisme. Di sinilah titik terjadinya peperangan pada saat ini.
Hal yang menarik adalah bahwa masih ada satu lagi serangan terhadap Calvinisme yang dalam hal-hal tertentu sangat erat terkait dengan tawaran Injil dengan maksud yang sesungguh-sungguhnya, namun yang dalam hal-hal lainnya tidak. Ketika Tuhan memelihara gereja-Nya di Belanda pada tahun 1834, melalui Afscheiding (Pemisahan) di bawah kepemimpinan DeCock, VanVelzen, Brummelkamp, dan Van Raalte, Pemisahan itu dalam aspek-aspek tertentu sangat kuat, dan dalam aspek-aspek lainnya sangat lemah. Para theolog yang kuat dari Pemisahan adalah pembela yang gigih bagi anugerah yang berdaulat. DeCock sebelumnya adalah seorang humanis. Sebagai hamba Tuhan di gereja yang dibiayai oleh negara, Gereja Reformed di Ulrum, DeCock adalah sedikit lebih daripada seorang modernis. Sebagian melalui kongregasinya sendiri dan sebagian melalui seorang sahabat yang mengarahkan dia kepada Institutes Calvin dan Pasal-Pasal Ajaran Dordrecht, DeCock menjadi yakin bahwa kebenaran-kebenaran tentang anugerah yang berdaulat benar-benar adalah ajaran Kitab Suci. Ia terkesan dengan seorang petani tua di dalam kongregasinya, yang tidak berpendidikan tinggi namun takut akan Tuhan, saleh dan mengenal kebenaran, yang berkata kepada gembala sidangnya, “Pak Gembala, jika saya berkontribusi barang satu keluhan saja bagi keselamatan saya, saya akan terhilang.” Melalui DeCock dan rekan-rekannya yang lain, Allah membawa reformasi ke dalam gereja itu.
Namun ada orang-orang di dalam gerakan itu yang mengajarkan tawaran Injil dengan maksud yang sesungguh-sungguhnya, terutama Brummelkamp dan, sampai taraf tertentu, Van Raalte. Ketika DeCock mendengar bahwa koleganya di Afscheiding, Brummelkamp, mengajarkan tawaran Injil dengan maksud yang sesungguh-sungguhnya, ia berkata, “Ia bukan seorang saudara; ia seorang keponakan.” Pihak-pihak yang mengajarkan tawaran Injil dengan maksud yang sesungguh-sungguhnya akhirnya memang berjaya.
Menariknya, tawaran Injil dengan maksud yang sesungguh-sungguhnya bisa berjaya sebagian karena pengaruh dari apa yang kita sebut “reformasi lanjutan” atau “reformasi yang lebih belakangan,” sebuah gerakan yang telah menjadi unsur yang signifikan di dalam gereja Belanda sebelum Afscheiding. Berbagai kelompok orang percaya yang masih mencintai kebenaran tentang anugerah yang berdaulat, dan yang benar-benar jijik terhadap kemurtadan di dalam gereja yang dibiayai oleh negara, melakukan pertemuan ibadah di rumah untuk mempertahankan kebenaran-kebenaran yang mereka anggap sangat berharga bagi jiwa mereka. Pertemuan-pertemuan ibadah di rumah ini tidak selalu berjalan seperti yang seharusnya, dan khususnya karena pandangan-pandangan yang keliru mengenai konversi dan tempat anak-anak balita dari orang tua yang percaya di dalam kovenan, kelompok-kelompok rumah ini terbuka bagi tawaran Injil dengan maksud yang sesungguh-sungguhnya. Karena kontak antara Belanda dan Skotlandia memang erat, banyak tulisan dari para theolog Skotlandia, khususnya kaum Marrow, diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dan banyak dibaca oleh mereka yang beribadah di rumah-rumah. Namun ajaran sesat kaum Marrow ada di dalam tulisan-tulisan tersebut dan memengaruhi pemikiran dari orang-orang yang bisa kita sebut sebagai kaum Calvinis terbaik di Belanda. Maka, tidaklah mengejutkan jika kita menemukan ajaran-ajaran Marrow di dalam Afscheiding.
Terkait erat dengan tawaran Injil dengan maksud yang sesungguh-sungguhnya adalah doktrin anugerah umum. Jika Allah mengasihi semua manusia, jika Allah menginginkan keselamatan semua manusia, maka Allah penuh anugerah kepada semua manusia. Ini membuka pintu bagi ajaran tentang anugerah umum Allah yang ditunjukkan kepada semua seorang yang mendengarkan khotbah yang memproklamasikan bahwa Allah mengasihi semua manusia. Tetapi anugerah ini adalah anugerah yang tidak menyelamatkan. Maka, ide tentang suatu anugerah yang partikuler dan berdaulat ditenggelamkan di dalam kesalahan anugerah umum.
Dr. Abraham Kuyper melihat persoalan anugerah umum dari sudut pandang yang berbeda. Ia tidak mau berurusan dengan tawaran Injil dengan maksud yang sesungguh-sungguhnya; ia cukup memahami kebenaran-kebenaran tentang anugerah yang berdaulat sehingga ia bereaksi melawan tawaran Injil dengan maksud yang sesungguh-sungguhnya dan memperingatkan orang-orang terhadap kejahatan-kejahatan yang ditimbulkan oleh ajaran tersebut. Tetapi khususnya menjelang akhir hidupnya, ketika ia mengundurkan diri dari pelayanan, menjadi anggota parlemen, dan menjadi Perdana Menteri Belanda, ia mulai mengajarkan bahwa Calvinisme yang sejati mencakup anugerah umum, namun bukan anugerah yang diungkapkan di dalam tawaran Injil dengan maksud yang sesungguh-sungguhnya, melainkan suatu anugerah umum yang membuka pintu bagi kerja sama dengan orang-orang fasik, suatu anugerah umum yang merupakan jembatan antara gereja dan dunia, suatu anugerah umum yang memampukan orang Kristen untuk bergandengan tangan dengan orang yang adalah musuh dari kebenaran di dalam berbagai upaya untuk menjadikan dunia ini tempat yang lebih baik dan untuk membawa dunia ini beserta semua lembaganya ke bawah pemerintahan Kristus.
Ajaran ini sungguh mematikan. Sekarang terdapat banyak kaum Kuyperian, tetapi kaum Kuyperian yang pernah mengutip karya-karya Dr. Kuyper mengenai kedaulatan dan partikularitas anugerah sangatlah langka. Kebanyakan dari mereka merujuk berulang kali kepada satu ajaran sesat di dalam ajaran Kuyper yang benar-benar menghancurkan seluruh Calvinisme: anugerah umum.
Sampai taraf tertentu, baik di dalam pemikiran Presbiterian maupun di dalam theologi Reformed kontinental, isu tentang anugerah yang berdaulat dan partikuler dipertimbangkan dalam kaitannya dengan doktrin tentang kovenan. Westminster, di bawah pengaruh dari para theolog federal yang menekankan kebenaran tentang kekepalaan federal Adam atas umat manusia dan kekepalaan federal Kristus atas gereja, telah mulai membahas doktrin kovenan. Akan tetapi, pemikiran Presbiterian, dikarenakan ajaran Standar-Standar Westminster, secara khusus menekankan pada kovenan kerja. Dan theologi kovenan kerja terikat secara tidak terpisahkan dengan doktrin tentang jasa.
Saya teringat bertahun-tahun yang lalu saya pernah berkorespondensi dengan seorang hamba Tuhan berkebangsaan Tionghoa, seorang gembala sidang dari gereja Presbiterian yang independen. Ia adalah seorang dengan keyakinan Reformed yang baik, ia bahkan setuju dengan gereja kita dalam perihal anugerah umum dan tawaran Injil dengan maksud yang sesungguh-sungguhnya. Di dalam korespondensi itu, kami sampai kepada ide tentang kovenan kerja. Saya mengemukakan pendapat yang pada intinya menyatakan bahwa salah satu keberatan serius terhadap kovenan kerja adalah idenya tentang jasa. Saya memberikan pernyataan ini secara lugas, karena saya berpikir ia akan langsung setuju dengan saya mengenai poin tersebut dan melihat bahwa titik kelemahan dari kovenan kerja adalah doktrin tentang jasa. Tetapi, saya sangat terkejut ketika ia menekankan – meskipun ia terlihat memiliki keyakinan Reformed yang baik – pada ide tentang jasa. Saya kemudian mengetahui bahwa ide tentang jasa, dikarenakan hubungannya dengan kovenan kerja, dipegang secara luas oleh para pemikir Presbiterian.
Ide tentang jasa adalah bertolak belakang dengan doktrin tentang anugerah. Jasa mengimplikasikan bahwa melalui perbuatan, kita bisa mendapatkan sesuatu dari Allah, sama seperti Adam ketika berada di firdaus, di dalam kovenan kerja, jikalau ia setia selama jangka waktu yang tidak disebutkan, melalui perbuatannya bisa mendapatkan sorga bagi dirinya sendiri dari bagi seluruh umat manusia, demikian pula kita, di dalam kovenan anugerah, melalui perbuatan bisa mendapatkan tempat di sorga. Idenya adalah bahwa manusia yang berdosa, manusia yang rusak secara total, tetap bisa melakukan perbuatan yang bernilai jasa menurut Allah – padahal Yesus sudah mengatakan dengan sangat jelas: “Apabila kamu telah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu, hendaklah kamu berkata: Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan” (Luk. 17:10).
Ide tentang jasa telah menghalangi theologi kovenan untuk dikembangkan secara ekstensif dan benar di dalam lingkungan Presbiterian. Saya tidak menyangkali fakta bahwa ada periode-periode di dalam sejarah Presbiterianisme di mana Calvinisme berkembang. Misalnya, saya terpikir tentang masa-masa jaya Princeton di bawah kepemimpinan keluarga Alexander, keluarga Hodge, dan B. B. Warfield, di mana Calvinisme dipaparkan dalam tulisan-tulisan yang kuat sebagai kebenaran tentang Injil yang kekal. Namun, bahkan pada masa itu pun, karena Presbiterianisme Mazhab Baru, dengan pandangannya yang salah mengenai pemberitaan Injil, ditoleransi di dalam gereja, doktrin-doktrin tentang anugerah yang berdaulat menjadi terkompromikan. Bahkan J. Gresham Machen, meskipun adalah seorang pembela yang gigih bagi anugerah yang berdaulat, tidak pernah melakukan perang yang signifikan melawan musuh-musuh yang sebenarnya dari anugerah yang berdaulat. Pada saat Machen mengambil sikap untuk melawan kemurtadan yang terjadi di dalam Gereja Presbiterian Amerika Serikat, Gereja Presbiterian itu sudah menjadi begitu liberal dan begitu modern sehingga sudah melampaui Arminianisme, dan Machen mendapati dirinya terlibat di dalam peperangan melawan liberalisme dan modernisme yang sudah berkembang sepenuhnya. Sudah terlalu terlambat untuk mereformasi gereja itu.
Doktrin tentang kovenan menjadi satu bagian yang integral dari theologi iman Reformed di wilayah Dataran Rendah. Tetapi pergumulan untuk mengembangkan pandangan yang tepat tentang kovenan telah menjadi peperangan untuk membela anugerah yang berdaulat. (Seorang penulis Belanda yang terkenal menulis buku yang ia beri judul: A Century of Strife Over Baptism and the Covenant [Satu Abad Perselisihan mengenai Baptisan dan Kovenan].) Ini merupakan peperangan yang terutama dikarenakan konsepsi tentang kovenan yang dipegang secara luas di wilayah Dataran Rendah adalah pandangan tentang kovenan yang bersyarat. Karena ide tentang kovenan yang bersyarat itu begitu umum di dalam pemikiran para theolog kontinental (dengan sedikit pengecualian di sana sini), doktrin tentang kovenan tersebut menghancurkan doktrin-doktrin tentang anugerah yang berdaulat di wilayah Dataran Rendah. Salah satunya adalah bahwa kovenan yang bersyarat tidak memberi tempat bagi anak-anak karena anak-anak tidak dapat memenuhi syarat-syarat itu. Mereka tidak memiliki tempat di dalam kovenan. Berkat-berkat kovenan tidak dapat menjadi milik mereka; mereka belum cukup dewasa untuk menyetujui persyaratan kovenan itu. Hal lainnya adalah bahwa kovenan yang bersyarat melibatkan sebuah janji umum yang Allah buat bagi semua anak-anak pada saat pembaptisan. Janji umum ini identik dengan tawaran Injil yang umum dan dengan maksud yang sesungguh-sungguhnya, hanya saja di sini janji tersebut dibatasi kepada kovenan. Tetapi sebuah janji yang umum bergantung pada syarat-syarat, sebagaimana halnya dengan tawaran Injil dengan maksud yang sesungguh-sungguhnya. Dan, meskipun Allah mengungkapkan keinginan-Nya untuk menyelamatkan semua orang yang mendengarkan Injil dan/atau yang dibaptis, keselamatan final dari mereka yang mendengarkan Injil atau menerima janji kovenan tersebut adalah bergantung pada manusia.
Gereja-gereja Protestant Reformed saat ini berdiri sebagai sebuah denominasi Calvinistik. Tanpa sungkan saya meminta kepada Anda sekalian untuk memahami posisi kita. Posisi kita adalah membela anugerah yang berdaulat dan partikuler. Posisi kita adalah posisi yang pantang menyerah di dalam peperangan melawan setiap bentuk Pelagianisme, Semi-Pelagianisme, Arminianisme, Amyraldianisme, Marrowisme. Posisi kita adalah posisi yang mengaplikasikan dan mengintegrasikan kebenaran tentang anugerah yang berdaulat dan partikuler tersebut dengan semua doktrin dari iman Kristen. Kita percaya dengan segenap hati kita bahwa anugerah yang berdaulat adalah ajaran dari Tiga Dokumen Kesatuan (Three Forms of Unity). Pengakuan Iman Belanda, Katekismus Heidelberg, dan Pasal-Pasal Ajaran Dordrecht adalah dasar di mana kita berdiri dalam membela anugerah yang berdaulat dan partikuler. Allah dengan penuh anugerah juga telah memberikan kita ini: bahwa para bapa-bapa rohani dari gereja kita telah melihat bahwa kebenaran-kebenaran tentang anugerah yang berdaulat ini harus benar-benar diintegrasikan dengan doktrin-doktrin tentang kovenan, dan bahwa kovenan perlu didefinisikan ulang agar selaras dengan Kitab Suci. Kovenan harus dipandang sebagai karya Allah yang berdaulat yang dengannya Ia membawa umat-Nya melalui Yesus Kristus ke dalam persekutuan kovenan-Nya sendiri. Tidak ada ketidaksesuaian, tidak ada kontradiksi, antara kebenaran tentang kovenan dan anugerah yang berdaulat. Dalam kenyataannya, kebenaran tentang anugerah yang berdaulat inilah yang memberikan keindahan dan kekuatan, signifikansi dan keterberkatan, kepada kebenaran tentang kovenan anugerah Allah yang kekal.
Kita sampai pada posisi itu melalui perang kita sendiri, perang kita sendiri melawan anugerah umum Kuyperian dan perang kita sendiri melawan ajaran tawaran Injil dengan maksud yang sesungguh-sungguhnya.
Bergabunglah bersama di dalam perang ini. Di sinilah terjadi perang yang paling dahsyat; di sinilah terdapat musuh yang paling kuat; di sinilah pertempuran terjadi dengan paling sengit. Jika Anda menarik diri dari peperangan pada titik ini, Anda tidak berguna bagi pasukan yang berbaris di bawah panji salib. Anda adalah korban di medan perang. Pada titik pembelaan bagi anugerah yang berdaulat dan partikuler inilah gereja saat ini akan berdiri sampai Tuhan sendiri datang kembali. Kebenaran-kebenaran mengenai anugerah yang berdaulat adalah kebenaran-kebenaran tentang Allah, tentang keagungan dan kemuliaan, dan kesempurnaan yang tidak terbatas yang dimiliki oleh Allah sendiri. Kebenaran-kebenaran tentang Dia yang melakukan segala sesuatu seturut kerelaan-Nya, kebenaran-kebenaran tentang Dia yang adalah satu-satunya yang layak menerima semua pujian. Di dalam Dialah bersandar semua pengharapan kita, keselamatan kita, keterberkatan kita di dalam kehidupan yang sekarang ini dan di dalam zaman yang akan datang. Kiranya Allah memberikan kita anugerah.
Bab 2: Pemilihan Yang Tanpa Syarat
Untuk bahan-bahan lain dalam bahasa Indonesia, klik di sini.