Prof. David J. Engelsma
... di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa. (Yohanes. 15:5b)
Dalam waktu beberapa tahun setelah Reformasi dimulai pada tahun 1517, seorang sarjana dan gerejawan terkemuka melakukan serangan terhadap Reformasi. Dan saya harus dengan berat hati mengatakan bahwa yang menjadi musuh Reformasi itu adalah seorang Belanda, Erasmus dari Rotterdam. Ia menyerang Reformasi bukan karena Reformasi mengutuk kepausan, atau karena penolakan Reformasi terhadap lima sakramen yang ditambahkan oleh Katolik Roma kepada dua sakramen yang ditetapkan oleh Yesus Kristus, atau karena kritikan Reformasi terhadap misa, atau karena pengungkapan Reformasi atas imoralitas kaum klergi, atau karena Reformasi menyalahkan banyak lagi kesalahan besar lain yang terjadi di dalam Gereja Katolik Roma. Erasmus menyerang Reformasi karena Reformasi menyangkal bahwa kehendak manusia natural adalah bebas, yaitu karena Reformasi mengajarkan bahwa kehendak dari manusia yang belum diselamatkan adalah diperbudak oleh dosa sehingga tidak mampu untuk memilih Allah, Kristus, dan kebaikan.
Pada bulan Desember 1525, baru delapan tahun sejak Luther memakukan sembilan puluh sembilan tesis di pintu gereja dan dengan demikian dimulailah Reformasi, Luther merespons serangan Erasmus terhadap Reformasi dengan sebuah buku besar berjudul The Bondage of the Will (Keterbelengguan Kehendak). Ini adalah buku yang luar biasa dalam semua aspeknya. Luther sendiri di akhir hidupnya menilai buku ini sebagai salah satu dari dua atau tiga bukunya yang layak diselamatkan – padahal Luther menulis begitu banyak buku. Buku ini menyenangkan dan membangun. Buku ini menyenangkan karena gaya Luther yang tegas. Buku ini membangun karena doktrin Kitab Suci yang Luther ajarkan di dalamnya. Buku ini membangun karena interpretasi Luther yang cermat atas banyak perikop penting dari Kitab Suci. Dan, di atas segalanya, buku ini membangun dan penting karena di dalam buku ini Luther mengindikasikan apa yang menjadi isu utama dari Reformasi.
Di dalam bukunya itu, Luther mengucapkan selamat kepada Erasmus, bahwa hanya Erasmus, di antara semua lawan Luther (dan pada saat itu jumlahnya sangat banyak), yang telah membicarakan isu yang sebenarnya dari Reformasi.
Selain itu, saya memberi Anda [yaitu Erasmus] pujian dan penghargaan dengan sepenuh hati karena alasan lain, yaitu karena hanya Anda, berlawanan dengan semua orang lain, yang telah menyerang hal yang sebenarnya, yaitu isu yang esensial. Anda tidak membuat saya bosan dengan isu-isu sampingan tentang kepausan, purgatori, indulgensi, dan hal-hal remeh lainnya, melainkan tentang isu yang olehnya sampai saat ini semua pihak ingin membunuh saya (meskipun tidak berhasil). Anda, dan hanya Anda, yang telah melihat engsel yang padanya segala sesuatu berputar, dan membidik titik yang vital.
Dan apakah yang menurut penilaian Luther merupakan “engsel yang padanya segala sesuatu berputar” dan “titik yang vital” itu? Penolakan Reformasi terhadap kebebasan kehendak yang dimiliki oleh manusia natural! Doktrin palsu tentang kebebasan kehendak seperti yang diajarkan oleh gereja yang murtad pada saat itu, dan seperti yang tetap diajarkan oleh Gereja Katolik Roma pada saat ini, adalah ajaran bahwa manusia yang sudah terjatuh tetap mempertahankan kemampuan dan kebaikan rohani untuk menginginkan dan memilih Yesus Kristus ketika Ia dipresentasikan di dalam pemberitaan Injil. Ajaran ini ditolak oleh Reformasi sebagai jantung dari kesalahan Katolik Roma. Sebaliknya, Reformasi mengajarkan bahwa kehendak manusia begitu berada di dalam kuasa Iblis dan dosa sehingga kehendak manusia hanya bisa menolak Allah ketika Allah diwahyukan di dalam ciptaan, dan hanya bisa menolak Yesus Kristus ketika Yesus Kristus diberitahukan di dalam Kitab Suci.
Hal yang mencengangkan tentang perselisihan mengenai kehendak bebas antara Erasmus dan Luther adalah bahwa Erasmus berhati-hati untuk tidak memperhitungkan terlalu banyak kuasa kepada kehendak bebas manusia yang berdosa. Erasmus memperhitungkan kepada kehendak manusia yang belum diselamatkan hanya sedikit kebaikan dan sedikit kuasa. Inilah deskripsi Erasmus tentang kehendak bebas: “Saya memahami kehendak bebas sebagai kuasa yang dimiliki oleh kehendak manusia yang dengannya seorang manusia bisa membawa dirinya kepada hal-hal yang memimpin kepada keselamatan kekal, atau menjauh dari keselamatan kekal itu.”
Jika dibandingkan dengan kemampuan yang hanya sedikit yang Erasmus perhitungkan kepada kehendak bebas, betapa beraninya pihak Kristen yang membela kebebasan kehendak pada saat ini! Pihak Kristen yang membela kehendak bebas memperhitungkan kebaikan yang sangat besar dan kuasa yang hampir tidak terbatas kepada kehendak orang berdosa yang belum diselamatkan. Menurut sebagian besar Protestanisme pada saat ini, kehendak orang berdosa mampu menerima Yesus ketika, seperti yang mereka katakan, Yesus ditawarkan kepada siapa pun di dalam pemberitaan Injil. Kehendak itu sangat berkuasa untuk membuka hati bagi Yesus, yang sedang mengetuk dengan panik dan tanpa daya di depan pintu hati. Kehendak itu bisa membuat keputusan yang padanya bersandarlah keselamatan, efektivitas dari kematian Kristus, dan bahkan keputusan Allah yang kekal yang memihak atau melawan orang berdosa. Segala sesuatu bergantung pada kuasa kehendak bebas. Bahkan, menurut sebagian besar Protestanisme, kehendak orang berdosa adalah mahakuasa. Kehendak itu mampu melawan kehendak Allah, karena, menurut mereka, Allah menghendaki keselamatan banyak orang, yang dengan kehendak mereka yang berlawanan telah menghambat dan melawan Allah sendiri.
Erasmus, meskipun sesat, dan Gereja Katolik Roma pada abad ke enam belas, meskipun rusak, pasti akan malu terhadap peninggian kuasa kehendak bebas manusia berdosa yang dilakukan oleh banyak pihak Prostestan pada saat ini.
Kita hanya bisa membayangkan akan sekeras apa bahasa Luther seandainya ia harus melawan ajaran tentang kehendak bebas seperti yang dikemukakan oleh banyak pihak Protestan pada saat ini.
Luther sangat tepat mengenai arti penting yang fundamental dari kebenaran tentang keterbelengguan kehendak. Kebenaran ini mendasar bagi Injil keselamatan yang hanya oleh anugerah. Berita apa pun mengenai Yesus Kristus dan keselamatan yang bersandar pada kebebasan kehendak adalah injil yang lain. Itu adalah injil palsu. Ini bukan penilaian dari saya sendiri; ini adalah penilaian dari Rasul Paulus di dalam Roma 9:16. Keselamatan “ tidak tergantung pada kehendak orang atau usaha orang, tetapi kepada kemurahan hati Allah.”
Hal ini mengindikasikan arti penting dari doktrin tentang kerusakan yang total, karena kebenaran tentang keterbelengguan kehendak hanyalah sebuah aspek, namun aspek yang krusial, dari doktrin tentang kerusakan yang total. Isunya adalah ini: hilangkan kebenaran tentang kerusakan yang total, dan Anda akan kehilangan kebenaran tentang keterbelengguan kehendak. Hilangkan kebenaran tentang keterbelengguan kehendak, dan Anda akan kehilangan Injil Yesus Kristus. Inilah yang akan menjadi perhatian kita pada bab ini: arti penting dari kerusakan yang total bagi Injil anugerah.
Dunia yang terpelajar dan tidak percaya tidak memahami hal ini. Dunia yang terpelajar dan tidak percaya menyerang ajaran tentang kerusakan yang total sebagai hasil dari suatu cacat psikologis di dalam apa yang dunia sebut sebagai kaum Calvinis yang “muram” atau “pesimistis.” Kita bisa menjawab, khususnya di dalam terang kekejaman abad kedua puluh – kekejaman Nazisme Hitler, kekejaman Stalin di Uni Soviet, kekejaman Mao di Tiongkok – dan, di dalam terang begitu banyak kengerian yang tidak terkatakan yang terjadi di Afrika dan di Timur Tengah, dan di dalam terang sedang tenggelamnya peradaban Barat pada saat ini ke kedalam-kedalaman kerusakan dengan menyetujui penyimpangan homoseksualitas, sehingga mereka yang mengakui kerusakan total bukanlah kaum pesimis, melainkan kaum realis. Pengakuan akan kerusakan yang total tidak ada kaitannya dengan cara pandang yang pesimistis terhadap kehidupan. Sebaliknya, kerusakan yang total adalah penghakiman dari Injil atas orang berdosa yang fasik yang menyebabkan kerendahan hati agar, oleh anugerah Kristus yang bekerja melalui penghakiman ini, ia boleh memercayai Kristus dan diselamatkan.
Meskipun ini adalah perhatian utama kita terhadap doktrin tentang kerusakan yang total, karena inilah juga yang dulu merupakan perhatian utama Reformasi, ada satu isu penting lain yang dipertaruhkan di dalam penyangkalan terhadap kerusakan yang total. Isu lain ini adalah penyangkalan terhadap kerusakan yang total demi memperhitungkan kepada orang-orang berdosa yang belum dilahirkan kembali kemampuan untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik yang sejati di dalam realm masyarakat sipil karena anugerah umum Allah. Kemampuan ini dianggap membenarkan kerja sama orang-orang percaya dengan orang-orang yang tidak percaya untuk membangun budaya yang baik dan saleh, jika bukan kerajaan Allah di bumi. Inilah yang dulu menjadi proyek dari theolog Belanda Abraham Kuyper di dalam ajarannya tentang anugerah umum di awal abad kedua puluh, dan inilah yang sekarang menjadi proyek Richard Mouw di dalam bukunya, He Shines in All That’s Fair (Grand Rapids: Eerdmans, 2001).
Kerusakan yang total ditolak dengan doktrin anugerah umum. Pihak-pihak yang memegang ajaran ini menyatakan bahwa ada anugerah dari Allah, yang terpisah dari Yesus Kristus, yang memampukan semua manusia tanpa terkecuali untuk melakukan perbuatan baik, sehingga orang-orang yang belum dilahirkan kembali bisa membangun masyarakat yang baik. Karena anugerah ini, yang memampukan orang-orang fasik untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik, maka gereja, kata mereka, dapat dan seharusnya bekerja sama dengan dunia yang tidak percaya di dalam upaya yang besar ini. Hasil dari ajaran tentang anugerah umum ini, dan dengan demikian juga hasil dari penyangkalan terhadap kerusakan yang total, adalah gereja yang duniawi dan hilangnya separasi rohani antara orang percaya dan orang yang tidak percaya, seperti yang dibuktikan oleh seratus tahun terakhir ini.
Yang menjadi perhatian saya adalah kebenaran dan keniscayaan kerusakan yang total di dalam kaitannya dengan keterbelengguan kehendak, dan, dengan demikian, di dalam kaitannya dengan Injil anugerah. Sekali lagi, kita mendengarkan ajaran Yesus Kristus di dalam Injil Yohahes. Yesus mengajarkan kerusakan yang total di dalam bagian kedua dari ayat 5 dari Yohanes 15: “di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa.”
Seolah-olah di dalam sejenis penebusan karena telah menghasilkan Erasmus, Belanda juga menghasilkan penjelasan dan pembelaan yang paling jelas, paling penuh, dan paling kuat bagi doktrin tentang kerusakan yang total. Tentu saja saya merujuk kepada Sinode Dordrecht di awal abad ketujuh belas, dan kepada keputusan-keputusan doktrinal yang dihasilkan oleh Sinode Dordrecht, yang di sebut Pasal-Pasal Ajaran. Pasal-Pasal Ajaran mengungkapkan pandangan tentang hal kerusakan yang total di dalam pasal ajaran yang ketiga dan keempat. Dalam kenyataannya, frasa “kerusakan yang total” tidak muncul di dalam Pasal-Pasal Ajaran ini. Tetapi deskripsi tentang kondisi rohani orang berdosa yang terjatuh dan tidak memiliki Kristus, sudah pasti secara akurat diungkapkan oleh frasa “kerusakan yang total.”
Pasal-Pasal Ajaran Dordrecht mengakui kerusakan yang total untuk menyelesaikan kontroversi doktrinal dan rohani yang telah terjadi di dalam Gereja-Gereja Reformed di Belanda di akhir abad keenam belas dan awal abad ketujuh belas. Pergumulan Gereja-Gereja Reformed di Belanda membawa kepada Sinode Dordrecht, dan menjadi alasan dilakukannya pekerjaan Sinode Dordrecht, khususnya mengenai doktrin tentang kerusakan yang total, yang secara sempurna mengilustrasikan kebenaran dari penegasan Luther bahwa keterbelengguan kehendak, yang berakar di dalam kerusakan yang total, adalah esensial bagi Injil. Para hamba Tuhan dan theolog yang sesat di Belanda menyangkali kerusakan yang total, dan mereka menyangkali kerusakan yang total karena lebih memilih ajaran mereka bahwa keselamatan bergantung pada pilihan yang bebas oleh kehendak orang berdosa. Injil mereka adalah seperti ini. Allah mengasihi semua orang tanpa terkecuali. Di dalam kasih kepada semua orang tanpa terkecuali itu, Ia menginginkan dengan tulus untuk menyelamatkan semua orang tanpa terkecuali. Oleh karena itu, Ia memberikan Yesus Kristus untuk mati bagi setiap orang tanpa terkecuali. Dan sekarang, di dalam pemberitaan Injil, di dalam kasih yang Allah miliki bagi semua orang tanpa terkecuali itu, Ia menawarkan Kristus dan keselamatan kepada semua orang tanpa terkecuali. Akan tetapi, keselamatan aktual orang berdosa adalah bergantung pada kehendak orang berdosa itu. Orang berdosa harus menerima tawaran akan Yesus Kristus ini, dan hanya jika ia menerima barulah ia akan dilahirkan kembali dan diselamatkan. Hanya pada saat itulah kematian Yesus Kristus memiliki kuasa baginya, dan hanya pada saat itulah terjadi pemilihan Allah atas orang itu untuk keselamatan.
Menurut pihak-pihak yang mengajarkan injil palsu ini di Belanda, setiap orang berdosa memiliki kemampuan kehendak bebas karena manusia yang terjatuh tidak rusak secara total. Kejatuhan Adam memang menyebabkan umat manusia rusak, tetapi tidak secara total. Manusia yang terjatuh mempertahankan kemampuan kehendak bebas, yaitu kehendak yang mampu menerima Kristus yang ditawarkan dan memilih keselamatan dari Allah.
Seluruh kontroversi itu, yang bergejolak bukan hanya di Belanda, tetapi juga di banyak wilayah di Eropa, dalam kenyataannya bermula ketika sang pemimpin heretik, James Arminius, di dalam sebuah khotbah mengenai pasal ketujuh dari surat Paulus kepada jemaat di Roma, menjelaskan bahwa Roma 7 bukan mendeskripsikan manusia yang sudah bertobat, melainkan manusia yang belum bertobat; bukan manusia yang sudah dilahirkan kembali, melainkan manusia yang belum dilahirkan kembali. Tetapi di dalam Roma 7, orang itu berkata, “aku menghendaki berbuat apa yang baik” dan bahkan, “aku suka akan hukum Allah.” Jika orang yang berbicara di dalam Roma 7 adalah orang yang belum bertobat, belum diselamatkan, dan terhilang, maka individu yang belum bertobat dan terhilang itu memiliki kehendak bebas, kehendak yang bisa dan memang memilih Allah, Kristus, dan hal yang baik.
Patut diperhatikan bahwa dalam waktu tujuh puluh lima tahun setelah Luther menulis The Bondage of the Will pada tahun 1525, yang menjelaskan bahwa isu utama di dalam Reformasi adalah perkara kebebasan atau keterbelengguan kehendak, Gereja-Gereja Reformed justru diguncang oleh ajaran sesat yang dikutuk oleh Luther di dalam bukunya. Iblis bertekad untuk menghancurkan Injil. Dan di dalam tekadnya untuk menghancurkan Injil, Iblis bertekad untuk menghancurkan kebenaran tentang kerusakan yang total. Iblis memiliki sekutu di dalam natur berdosa yang dimiliki oleh setiap dari kita. Natur manusia mendapati kebenaran tentang kerusakan yang total tidak bisa diterima.
Sinode Dordrecht mengutuk pengajaran tentang kehendak bebas dan mengemukakan doktrin yang jelas dan berlandaskan pada Alkitab tentang kerusakan yang total yang mencakup keterbelengguan kehendak. Tentang manusia yang sudah terjatuh, Sinode Dordrecht mengatakan hal berikut: Manusia yang sudah terjatuh memiliki “kekejian, pemberontakan, dan ketegaran dalam kehendak dan hatinya” (Pasal-Pasal Ajaran III/IV:1). Pasal-Pasal Ajaran selanjutnya menyatakan,
... semua orang ... mati di tengah dosa, dan menjadi hamba dosa. Mereka tidak mau dan tidak sanggup kembali kepada Allah dan membenahi kodrat mereka yang bejat ataupun menyiapkan diri untuk pembenahannya, tanpa karunia Roh Kudus yang melahirkan kembali (III/IV:3).
Tetapi sinode tersebut tidak memiliki kepentingan yang independen atas kebenaran ini, seakan-akan sekelompok kaum Calvinis yang pesimistis berkumpul pada tahun 1618 dan 1619 di Belanda, untuk menghukum seseorang. Sebaliknya, sinode tersebut mengakui tentang kerusakan yang total dengan tujuan membela dan memproklamasikan keselamatan oleh anugerah Allah yang berdaulat di dalam Yesus Kristus. Hal ini muncul di dalam Artikel 10 dari Pasal Ajaran III dan IV dari Pasal-Pasal Ajaran:
Orang-orang lain yang dipanggil oleh pelayanan Injil, datang dan ditobatkan. Hal itu jangan dipulangkan kepada manusia, seolah-olah kehendaknya yang bebas menyebabkan ia berbeda dari orang-orang lain, yang diperlengkapi karunia yang sama besar atau paling tidak cukup agar mereka percaya dan bertobat (seperti yang dinyatakan oleh kesesatan sombong Pelagius). Sebaliknya, hal itu harus dipulangkan kepada Allah. Sebagaimana sejak semula orang-orang kepunyaan-Nya telah dipilih-Nya dalam Kristus, demikian juga mereka dipanggil-Nya dengan ampuh dalam hidup ini. Dia mengaruniakan kepada mereka iman dan pertobatan, dan setelah melepaskan mereka dari kuasa kegelapan memindahkan mereka ke dalam kerajaan Anak-Nya. Maksud-Nya agar mereka memasyhurkan perbuatan-perbuatan besar Dia, yang telah memanggil mereka ke luar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib, dan supaya jangan mereka bermegah dalam diri mereka sendiri, melainkan di dalam Tuhan, seperti yang disaksikan kitab-kitab para Rasul di mana-mana.
Di dalam pengakuan akan kerusakan yang total ini, Pasal-Pasal Ajaran hanya membela dan memperluas apa yang sudah diakui sebelumnya di dalam Pengakuan Iman Belanda . Di dalam Artikel 14 dari Pengakuan Iman Belanda , gereja Reformed di Dataran Rendah, yaitu Belanda dan wilayah yang sekarang adalah Belgia, mengakui, “... kita menolak segala ajaran yang bertentangan dengan [kerusakan manusia yang total], seakan-akan manusia memiliki kehendak bebas, sebab manusia tidak lain dari hamba dosa dan tidak dapat mengambil sesuatu bagi dirinya, kalau tidak dikaruniakan kepadanya dari surga.” Artikel ini diakhiri demikian: “... tidak ada pengertian atau kehendak yang serupa dengan pengertian dan kehendak Allah, kecuali yang dikerjakan Kristus di dalam manusia.”
Artikel di dalam Pengakuan Iman Belanda menegaskan penghakimannya atas doktrin tentang kebebasan kehendak yang salah itu dengan mengutip perkataan Kristus di dalam Yohanes 15:5; “Hal itu diajarkan-Nya kepada kita, kata-Nya, Di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa.” Di dalam teks tersebut, Kristus mengajarkan tentang kerusakan yang total dengan jelas dan konklusif. Kristus mendeskripsikan laki-laki yang telah terjatuh dan perempuan yang telah terjatuh; Kristus mendeskripsikan semua manusia yang telah terjatuh dan belum diselamatkan, karena Ia merujuk kepada manusia yang berada di luar atau terpisah diri-Nya. Mereka ini adalah orang-orang yang tidak dipersatukan dengan-Nya oleh anugerah Roh Kudus yang melahirkan kembali di dalam ikatan iman. Yesus Kristus menjatuhkan penghakiman ini atas seluruh umat manusia yang secara natural terpisah dari-Nya: mereka tidak dapat berbuat apa-apa.
Yesus mengajarkan bahwa manusia yang terpisah dari-Nya tidak bisa melakukan perbuatan baik. Inilah yang Yesus maksudkan dengan tidak dapat berbuat apa-apa: tidak ada apa-apa yang berkenan kepada Allah; tidak ada apa-apa yang Allah sebut baik. Oleh karena itu, manusia tidak dapat berbuat apa pun yang adalah baik, karena yang baik adalah hanya yang berkenan kepada Allah.
Jelas manusia bisa melakukan banyak perkara-perkara duniawi secara terpisah dari Yesus Kristus. Mereka bisa makan dan minum; mereka bisa bekerja dan tidur; mereka membangun berbagai peradaban; mereka bisa membuat temuan-temuan; mereka bisa menyembah berhala; mereka bisa menggunakan nama Allah dengan sembarangan; mereka bisa melanggar hari Sabat; mereka bisa menyangkal doktrin tentang kerusakan yang total, dan mereka bisa melakukan banyak hal lain selain itu. Persatuan dengan Kristus tidak diperlukan bagi aktivitas-aktivitas ini.
Konteks di dalam Yohanes 15 menunjukkan bahwa Yesus merujuk kepada “berbuah”-nya para murid, yang memuliakan Bapa sorgawi-Nya. “Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku” (Yoh. 15:4). Kemudian, Ia berkata, “di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa.” “Menghasilkan buah” adalah pelaksanaan perbuatan-perbuatan yang baik. Dalam kaitannya dengan perbuatan-perbuatan yang baik, tidak seorang pun yang berada di luar, atau terpisah dari, Yesus Kristus yang bisa berbuat apa pun.
Perbuatan baik yang tidak dapat seorang pun lakukan secara terpisah dari Yesus Kristus ini membentuk aspek eksternal dari perbuatan kita, yaitu aspek dari perbuatan kita yang bisa dilihat orang lain: kesetiaan kepada suami atau istri kita; kehadiran di gereja; kejujuran di dalam bisnis; memberi uang untuk amal; menulis buku yang baik; memberi ceramah; hadir di konferensi Reformed; menyanyikan Mazmur. Tetapi yang juga termasuk adalah aspek internal dari perbuatan itu yang tidak dapat dilihat oleh orang lain: sikap dan motivasi hati terhadap Allah dan terhadap sesama; pemikiran yang ada di dalam pikiran; keinginan dan tujuan dari kehendak. Aspek internal ini juga merupakan bagian dari setiap perbuatan yang manusia lakukan.
Yesus mengajarkan bahwa manusia yang sudah terjatuh tidak dapat berbuat apa pun yang baik. Kata-kata Yesus adalah penghakiman yang total atas perbuatan manusia, yaitu perbuatan dari manusia yang berada di luar dari Yesus Kristus. Semua perbuatan dari semua manusia ini adalah berdosa. Dan semua perbuatan dari semua manusia adalah berdosa secara total. Jika perbuatan-perbuatan itu tidak baik, maka perbuatan-perbuatan itu buruk, dan berdosa. Yesus bukan berkata, “Di luar Aku kamu tidak dapat berbuat terlalu banyak, di luar Aku kamu hanya dapat berbuat sedikit,” sebaliknya, Ia berkata, “Di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa.” Seluruh perbuatan itu berdosa, aspek internal maupun aspek eksternalnya. Tidak ada apa pun yang baik di dalam perbuatan manusia di luar Kristus.
Ketika orang-orang melawan doktrin tentang kerusakan yang total dan menekankan bahwa manusia di luar Kristus tetap mampu melakukan kebaikan tertentu, mereka begitu berani sampai melawan perkataan Yesus Kristus sendiri. Perlawanan ini ditemukan di antara gereja dan theolog Presbiterian, Reformed, dan Calvinistik yang nominal. Hampir seluruh komunitas Calvinistik menekankan bahwa manusia yang belum dilahirkan kembali, dan dengan demikian, menurut bahasa dari Yohanes 15:5; terpisah dari Yesus Kristus, bisa melakukan kebaikan tertentu dan dalam kenyataannya memang melakukan perbuatan-perbuatan baik tertentu. Gereja-gereja dan theolog-theolog ini mencecar gereja-gereja, para hamba Tuhan, dan orang-orang (yang sudah tidak banyak lagi jumlahnya) yang menyangkal bahwa manusia yang sudah terjatuh dapat melakukan perbuatan baik apa pun dengan tudingan “hiper-Calvinis,” “ekstremis.” Di dalam tulisan, percakapan, konferensi, dan bahkan keputusan sinodal mereka, komunitas Reformed bisa dikatakan mengucilkan pihak-pihak yang mempertahankan kerusakan yang total dari persekutuan komunitas Reformed.
Hal ini sangat aneh. Sangat aneh bahwa komunitas Reformed harus mengutuk gereja-gereja karena mengajarkan bahwa semua perbuatan orang yang belum dilahirkan kembali adalah berdosa, sepenuhnya berdosa. Kerusakan yang total pada manusia natural adalah, seperti yang Luther ajarkan kepada Protestanisme di dalam The Bondage of the Will, isu yang paling utama dari pergumulan Reformasi. Setiap kredo Reformed mengajarkan tentang kerusakan yang total dari manusia yang belum dilahirkan kembali. Setiap kredo Reformed dan Presbiterian mengajarkan bahwa manusia natural tidak mampu melakukan kebaikan apa pun.
Betapa sangat menipu dan memalukan bahwa seluruh komunitas Reformed, demi membenarkan penyimpangannya yang sudah begitu jauh dari kebenaran Injil yang fundamental ini, telah memelintir bahasa. (Pemelintiran bahasa demi mengajarkan dusta selalu menjadi karakteristik dan taktik dari modernisme theologis.) “Kami percaya tentang ‘kerusakan yang total,’” kata komunitas Reformed. “Tetapi yang kami pahami tentang ‘kerusakan yang total’ hanyalah bahwa setiap bagian dari manusia yang terjatuh adalah jahat dan rusak. Bagian dari manusia adalah pikirannya; itu rusak sebagian; bagian dari manusia adalah kehendaknya; itu rusak sebagian. Bagian dari manusia adalah perasaannya; perasaannya rusak sebagian. Bagian dari manusia adalah tubuhnya; tubuhnya rusak sebagian. Karena setiap bagian dari manusia rusak sebagian,” kata mereka, “kami mengajarkan ‘kerusakan yang total.’”
Contoh yang mengilustrasikan apa yang komunitas Reformed maksudkan dengan “kerusakan yang total” adalah ini: Ada sekeranjang apel, dan setiap apel di dalam keranjang itu busuk sebagian, tetapi setiap apel di dalam keranjang itu juga masih bagus sebagian.
Pertimbangkan apa yang diimplikasikan oleh penjelasan bagi kerusakan yang total ini mengenai manusia natural atau yang belum diselamatkan. Jika kerusakan yang total hanya berarti bahwa setiap bagian dari manusia dinodai oleh kejahatan, tetapi bahwa setiap bagian dari manusia juga masih mempertahankan kebaikan tertentu, maka kehendak manusia masih mempertahankan kebaikan tertentu, masih memiliki kemampuan tertentu, bahkan kemampuan untuk memilih Kristus ketika Kristus dipresentasikan di dalam Injil.
Penjelasan komunitas Reformed bagi kerusakan yang total ini bukan hanya merupakan penyangkalan terhadap ajaran Alkitab dan kredo tentang kerusakan yang total, tetapi ini juga merupakan perendahan yang memalukan terhadap bahasa. Bukan ini yang gereja Reformed maksudkan dengan kerusakan yang total; bahwa setiap apel di dalam keranjang itu rusak sebagian. Yang selalu dimaksudkan oleh iman Reformed dengan kerusakan yang total adalah bahwa setiap apel di dalam keranjang itu busuk sepenuhnya, dan tidak ada satu bagian pun yang baik dari setiap apel itu. Seluruh pikiran manusia sudah digelapkan, dan seluruh kehendak manusia berada di dalam pemberontakan. Seluruh perasaannya tidak terganggu, dan tubuhnya adalah sepenuhnya alat dari hatinya yang keras sebagai hamba dari kesalahan.
Penjelasan dari sebagian besar komunitas Reformed untuk kerusakan yang “total” ini bukanlah apa yang kita maksudkan dengan kata “total di dalam bahasa kita sehari-hari. Andaikan saja saya berutang kepada Anda tiga tagihan, tiga utang, dan saya memasukkan selembar cek di dalam amplop beserta selembar surat. Surat itu berbunyi, “Ini pembayaran total bagi utang saya.” Tetapi ketika Anda memeriksa cek itu, Anda mendapati bahwa cek tersebut hanya menutupi sebagian dari setiap utang itu. Saya tidak ragu bahwa Anda akan dengan cepat menjelaskan kepada saya apa arti dari kata “total” itu. Total berarti sepenuhnya, komplit, setiap sen dari utang-utang itu, dan inilah arti dari kata total di dalam pengakuan iman gereja tentang kerusakan yang total.
Kita tidak menjadi berkecil hati dengan adanya kecaman dari komunitas Reformed karena kita mengakui kerusakan yang total. Ini adalah kecaman yang kita tanggung dengan sukacita demi Yesus Kristus. Tuhan kita berkata, “di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa,” dan pengakuan iman kita tentang kerusakan yang total hanyalah pengakuan iman akan ajaran dari Tuhan ini.
Dan para rasul Yesus, para murid kepada siapa Yesus mengajarkan tentang kerusakan yang total di dalam Yohanes 15 ini, setia kepada ajaran Tuhan mengenai kerusakan yang total pada manusia natural. Di dalam Roma 3:10-18, Rasul Paulus menyampaikan dakwaan yang mengerikan atas manusia yang telah terjatuh, yaitu bahwa “tidak ada seorangpun yang mencari Allah.... Tidak ada yang benar, seorangpun tidak,” dengan mengutip Mazmur 14. 2 Korintus 3:5 menyangkal bahwa kita mencukupi pada diri kita sendiri bahkan untuk sekadar memikirkan sesuatu yang baik. Efesus 2:3 mengakui bahwa semua keinginan dari manusia yang sudah terjatuh adalah kedagingan, yaitu rusak secara berdosa. Roma 8:7-8 mengajarkan bahwa “keinginan daging adalah perseteruan terhadap Allah” dan bahwa “mereka yang hidup dalam daging” (“dalam daging” adalah deskripsi Paulus untuk orang-orang yang belum diselamatkan, yang belum dilahirkan kembali, semua orang yang belum dilahirkan kembali, bukan hanya kaum gelendangan tetapi juga kaum aristokrat yang minum teh dengan jari kelingking yang terjulur dengan lentik – semua manusia yang di luar Yesus Kristus) “tidak mungkin berkenan kepada Allah.”
Semua deskripsi rasuli yang sangat banyak tentang kerusakan yang total ini hanyalah penjelasan lebih lanjut dari perkataan Yesus di dalam Yohanes 15:5, “di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa.”
Di dalam teks tersebut, Yesus mengajarkan bahwa manusia tidak dapat berbuat apa pun yang baik. Ini lebih dari sekadar penghakiman atas perbuatan-perbuatan manusia. Yesus menghakimi manusia itu sendiri. Ketidakmampuan untuk berbuat baik mencerminkan natur manusia, apa adanya kita, tubuh maupun jiwa. Kebenaran tentang kondisi rohani manusia sesuai naturnya muncul di dalam gambaran yang Yesus gunakan di dalam Yohanes 15: gambaran tentang pokok anggur dan cabang-cabangnya. Cabang yang terpisah dari pokok anggur adalah ranting yang mati di atas tanah. Ranting yang mati di atas tanah tidak menghasilkan buah apa pun, dan ranting itu tidak menghasilkan buah apa pun karena ia tidak dapat menghasilkan buah apa pun. Yang menjadi permasalahan adalah natur dari cabang yang terpisah dari pokok anggur. Demikian pula halnya dengan semua manusia, temasuk kita, sesuai naturnya.
Ketika Adam berdosa, ia memisahkan dirinya dari Allah, Dia yang baik dan sumber segala kebaikan. Ya, dan Allah menghukum Adam dengan mengusirnya dari diri-Nya, khususnya dari Allah yang dinyatakan di dalam pohon kehidupan. Adam menghilangkan kebaikan yang dengannya Allah telah menciptakan dirinya. Adam menghilangkan semua kemampuan rohani yang dengannya ia telah dimampukan dan dimuliakan melalui penciptaan dirinya. Natur Adam menjadi jahat. Seluruh keberadaannya sebagai manusia menjadi tidak mampu melakukan kebaikan apa pun. Adam telah mati secara rohani. Adam adalah ranting yang mati yang tergeletak di atas tanah di firdaus, terpisah dari pokok anggur, yaitu Allah.
Karena Adam adalah kepala dari umat manusia, sebagaimana diajarkan oleh Roma 5:12 dst., setiap manusia datang ke dalam dunia dengan natur yang rusak, tidak dapat berbuat kebaikan apa pun. Itulah kesaksian dari Mazmur 51:7: “Sesungguhnya, dalam kesalahan aku diperanakkan, dalam dosa aku dikandung ibuku.” Setiap manusia datang ke dalam dunia melalui pengandungan yang natural dan lahir sebagai ranting yang mati, dan “maut” adalah kata dan realitas yang Kitab Suci gunakan untuk mendeskripsikan kondisi dari kerusakan yang total: “sudah mati karena pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosa” (Ef. 2:1).
Inilah penghakiman Yesus atas setiap manusia yang menyebabkan manusia merendahkan hati. Ini adalah penghakiman-Nya atas kita yang menyebabkan kita merendahkan hati.
Penghakiman Yesus atas diri kita ini dilawan; penghakiman ini dilawan dengan sengit. Saya tidak akan menyinggung tentang perlawanan terhadap penghakiman ini oleh dunia yang tidak percaya, tetapi saya akan meminta perhatian Anda kepada perlawanan terhadap penghakiman Yesus atas umat manusia ini oleh orang-orang Kristen nominal. Penghakiman ini dilawan oleh ajaran modernisme tentang kebaikan umat manusia. Modernisme menjadikan anugerah Allah dan pendamaian Yesus Kristus sepenuhnya tidak diperlukan bagi dilakukannya perbuatan baik dan bahkan bagi pencapaian keselamatan. Modernisme membual bahwa kita dapat melakukan segala hal di luar Yesus Kristus.
Penghakiman Yesus juga dilawan oleh kesalahan yang lebih subtil tentang kebebasan kehendak. Ini adalah ajaran bahwa meskipun orang berdosa tidak dapat melakukan terlalu banyak kebaikan, ia masih memiliki kemampuan untuk memilih Yesus Kristus, dan mengambil keputusan untuk mengikut Yesus, atau membuka hatinya untuk membiarkan Yesus masuk. Maksudnya, ia memiliki kemampuan untuk memercayai Yesus Kristus ketika Ia dipresentasikan di dalam Injil. Dan menurut kesalahan yang subtil dari kehendak bebas, pada tindakan dari kehendak bebas inilah bergantung keselamatan orang berdosa. Allah akan menyelamatkan orang berdosa, Allah akan mempersatukan orang berdosa itu kepada Kristus, Allah akan membawanya ke sorga, jika saja orang berdosa itu mau menggunakan kehendak bebasnya untuk menerima dan memilih Yesus Kristus.
Kaum Arminian di Dordrecht teramat subtil di dalam cara mereka mempresentasikan kesalahan ini, sedemikian subtilnya sehingga saya mendapati diri saya merasa takjub akan kehadiran dan hikmat Roh Kristus di persidangan sinode tersebut. Kaum Arminian bukan begitu saja mengajarkan bahwa manusia secara natural memiliki kehendak bebas yang dapat memercayai Yesus Kristus. Kaum Arminian berkata bahwa manusia tidak memiliki kemampuan dari dirinya sendiri untuk memercayai Yesus Kristus. Tetapi mereka mengajarkan bahwa Allah memberikan anugerah-Nya kepada semua manusia secara sama rata, untuk memampukan semua manusia memercayai Yesus Kristus, jika saja mereka bersedia. Mereka mengakui bahwa manusia yang telah terjatuh membutuhkan bantuan untuk percaya, bantuan dari anugerah Allah. Tetapi menurut mereka, anugerah Allah adalah sama rata untuk setiap orang, memberikan bantuan itu dan memampukan setiap orang untuk memercayai Yesus. Tetapi tetaplah bergantung pada kehendak orang berdosa apakah ia bersedia menggunakan bantuan anugerah Allah itu dan memilih untuk memercayai Yesus Kristus atau tidak.
Begitu pentingnya gagasan tentang kehendak bebas ini sehingga gagasan ini menjadi injil yang lain alih-alih Injil anugerah. Seluruh karya penyelamatan Allah bergantung pada kehendak bebas orang berdosa. Allah, menurut injil ini, tidak menyelamatkan orang berdosa. Allah tidak menyelamatkan satu pun orang berdosa. Allah hanya membantu orang berdosa untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Injil kehendak bebas ini bukanlah Injil anugerah, melainkan injil tentang karya manusia sendiri. Karya yang agung, mulia, dan menentukan yang mempersatukan seseorang dengan Kristus, dan dengan demikian juga dengan Allah, adalah karya manusia itu sendiri.
Itulah sebabnya Luther menulis hal berikut tentang doktrin kehendak bebas empat tahun sebelum ia menulis The Bondage of the Will. Pada tahun 1521, ia menulis sebuah buku kecil berjudul Defence and Explanation of All the Articles. Perhatikan kerasnya Luther dalam mencela kesalahan kehendak bebas.
Kesalahan tentang kehendak bebas ini adalah sebuah doktrin khusus dari antikristus. Tidak heran jika doktrin ini telah menyebar ke seluruh penjuru dunia, karena ada tertulis mengenai antikristus ini bahwa ia akan menipu seluruh dunia. Hanya sedikit orang Kristen yang akan diselamatkan (2Tes. 2:10). Celakalah dia!
Yesus Kristus menyangkal kemampuan kehendak bebas ini: “di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa.” Kata-kata ini berarti, “Di luar Aku, kamu tidak dapat memilih Aku, kamu tidak dapat datang kepada-Ku, kamu tidak dapat memercayai Aku.” Yang bisa dilakukan oleh kehendak orang berdosa adalah menolak Kristus dan memilih dosa, kematian, dan Iblis. Kehendak dari manusia yang terjatuh memilih dosa, kematian, dan Iblis secara sukarela. Kehendaknya tidak dipaksa oleh suatu kuasa eksternal untuk melakukan itu. Tetapi manusia natural memilih untuk melawan Kristus secara niscaya, karena kehendak dari manusia natural berada di dalam keterbelengguan; kehendak dari manusia natural adalah budak.
Penghakiman Yesus di dalam Yohanes 15:5 juga dilawan oleh ajaran tentang anugerah umum. Doktrin tentang anugerah umum mengajarkan bahwa ada operasi Allah yang penuh anugerah pada hati semua manusia, yang mengekang dosa di dalam diri mereka dan memampukan mereka untuk melakukan sesuatu yang benar-benar baik – baik menurut penilaian Allah – di dalam kehidupan duniawi sehari-hari. Doktrin tentang anugerah umum menyangkali kerusakan yang total; tidak seorang pun yang rusak secara total, tidak seorang pun yang tidak memiliki kemampuan untuk berbuat baik, kecuali mungkin Adolf Hitler dan Joseph Stalin. Karena anugerah umum, semua manusia sekarang memiliki kemampuan tertentu untuk melakukan kebaikan, dan semua manusia melakukan kebaikan tertentu.
Penolakan terhadap doktrin yang populer di antara kaum Reformed dan Presbiterian ini adalah dari perkataan Nabi dan Guru terutama kita, Yesus Kristus: “di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa.” Orang-orang yang tidak percaya berada “di luar,” atau terpisah dari, Yesus Kristus. Dan Yesus berkata bahwa di dalam keterpisahan dari-Nya, manusia tidak dapat berbuat apa pun, entah dengan terang alam, atau dengan anugerah umum, atau dengan kebaikan bawaan tertentu yang ada pada manusia. Hanya mereka yang berada di dalam Kristus, seperti cabang yang berada di dalam pokok anggur, yang bisa melakukan apa pun.
Ini bukanlah perkataan Martin Luther, atau kaum Calvinis yang pesimistis, atau kaum hiper-Calvinis, tetapi perkataan Yesus Kristus sendiri.
Hal yang kelihatannya baik yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak percaya adalah dosa. Augustine menyebut perbuatan-perbuatan yang kelihatannya mulia oleh kaum pagan ini sebagai “keburukan yang berkilau.” Bahwa hal yang kelihatannya baik yang dilakukan oleh orang yang belum dilahirkan kembali pada kenyataannya adalah dosa, dan mengapa itu adalah dosa, diajarkan oleh Pengakuan Iman Westminster,
Adapun perbuatan yang dilakukan manusia yang tidak dilahirkan kembali, menurut misterinya dapat saja sesuai dengan perintah Allah dan bermanfaat bagi mereka sendiri dan bagi orang lain. Akan tetapi, perbuatan itu tidak keluar dari hati yang disucikan oleh iman dan tidak dilakukan dengan cara yang benar seturut Firman, tidak juga tertuju ke tujuan yang tepat, yaitu kemuliaan Allah. Karena itu, perbuatan itu penuh dosa dan tidak mungkin berkenan kepada Allah atau membuat seorang manusia layak menerima anugerah Allah. Namun, kalau orang-orang itu mengabaikannya, mereka bertambah berdosa dan tidak mungkin menyenangkan Allah (16:7).
Ketika doktrin tentang anugerah umum mencakup ajaran bahwa Allah mengasihi semua orang dan memiliki keinginan untuk menyelamatkan semua orang dan bahwa Ia mengungkapkan dan mencoba untuk mewujudkan keinginan ini dengan tawaran keselamatan yang penuh anugerah kepada semua orang di dalam Injil Kristus, seperti ajaran dari Banner of Truth di Inggris, doktrin tentang anugerah umum adalah, pada prinsipnya, ajaran sesat tentang kehendak bebas. Karena doktrin tentang anugerah yang universal – anugerah bagi semua orang tanpa terkecuali, setidaknya semua orang yang mendengarkan Injil – yang gagal untuk menyelamatkan semua orang kepada siapa anugerah ini diulurkan. Doktrin tentang anugerah (yang menyelamatkan) yang universal dan dapat ditolak adalah ajaran sesat tentang kehendak bebas.
Apa yang orang-orang berdosa pahami ketika sosok seperti Iain Murray atau David Silversides memberi tahu mereka, “Allah mengasihi kalian semua dengan kasih di dalam Yesus Kristus yang ingin menyelamatkan kalian, dan sekarang Allah di dalam Injil dengan penuh anugerah menawarkan keselamatan kepada kalian semua,” dan kemudian memohon mereka untuk menerima tawaran itu? Apa yang orang-orang berdosa pahami, dan diajari oleh para pengkhotbah ini untuk pahami, adalah bahwa keselamatan mereka bergantung pada mereka sendiri, bahwa keselamatan mereka bersandar pada pilihan mereka, kehendak mereka, penerimaan mereka atas tawaran itu. (Lihat Iain H. Murray, Spurgeon v. Hyper-Calvinism [Edinburgh: Banner, 1995] dan David Silversides, The Free Offer: Biblical & Reformed [Britania Raya: Marpet Press, 2005]).
Inilah pandangan tentang pemberitaan yang kaum Arminian bela di Sinode Dordrecht. Para pendukung injil palsu tentang kehendak bebas mendeskripsikan pandangan mereka tentang pemberitaan dengan perkataan ini:
Siapa pun yang Allah panggil kepada keselamatan, Ia panggil secara serius, yaitu dengan maksud dan kehendak yang tulus dan sepenuhnya tidak munafik untuk selamatkan; kita juga tidak menyetujui pendapat dari mereka yang berpandangan bahwa Allah memanggil secara eksternal orang-orang tertentu yang tidak Dia kehendaki untuk panggil secara internal, yaitu sebagai orang-orang yang benar-benar dipertobatkan, bahkan sebelum anugerah pemanggilan ditolak.
Di dalam Allah tidak ada suatu kehendak yang rahasia yang begitu berkontradiksi dengan kehendak Allah yang dinyatakan di dalam Firman, yang mana menurut kehendak yang rahasia ini Ia tidak menghendaki pertobatan dan keselamatan dari sebagian besar orang-orang yang Ia panggil dan undang secara serius dengan Firman dari Injil dan oleh kehendak-Nya yang dinyatakan (“The Opinion of the Remonstrants [i.e., Arminians] regarding the first and fourth articles, concerning the grace of God and the conversion of man,” di dalam Peter Y. De Jong (ed.), Crisis in the Reformed Churches: Essays in Commemoration of the Great Synod of Dort, 1618-1619 [Grand Rapids: Reformed Fellowship, Inc., 1968], hlm. 226-227).
Jika kita tidak mengetahui bahwa pencetus dari konsepsi tentang pemberitaan ini adalah kaum Arminian di abad ketujuh belas – Episcopius dan kelompoknya – kita akan beranggapan bahwa pencetusnya adalah para theolog dari Banner of Truth.
Kaum Arminian di Sinode Dordrecht memang lebih mengetahui dan lebih jujur daripada pihak Banner of Truth. Seperti diindikasikan oleh deskripsi mereka tentang pemberitaan, kaum Arminian mengakui bahwa doktrin Reformed tentang pemberitaan (yang ditolak oleh kaum Arminian) berpandangan bahwa Allah memanggil sejumlah orang tanpa maksud dan kehendak yang tulus untuk menyelamatkan mereka; bahwa Allah memanggil orang-orang tertentu “secara eksternal” yang tidak Ia kehendaki “secara internal”; bahwa panggilan yang eksteral sama sekali bukan diberikan di dalam anugerah; dan bahwa di dalam Allah terdapat sebuah kehendak yang rahasia (yang dikenal sebagai reprobasi – kata yang jarang ditemukan di dalam tulisan-tulisan para theolog Banner of Truth), dan menurut kehendak yang rahasia ini Ia tidak berkehendak akan pertobatan dan keselamatan dari banyak orang yang Ia panggil secara serius dengan pemberitaan Injil. Baik dulu maupun sekarang, ini adalah doktrin Reformed yang ortodoks tentang pemberitaan Injil. Kaum Arminian memahami ini dengan baik dan menolaknya. Para theolog Banner of Truth, entah karena tidak tahu atau karena maksud lain, menyebut doktrin tentang pemberitaan ini “hiper-Calvinisme,” dan juga menolaknya.
Doktrin tentang anugerah umum yang terdiri dari anugerah Allah yang universal di dalam Injil secara niscaya mengimplikasikan bahwa keselamatan bergantung pada kehendak orang yang berdosa. Jika Allah mengasihi semua manusia secara sama rata, secara tulus menginginkan untuk menyelamatkan semua orang secara sama rata, dan, di dalam anugerah ini, menawarkan keselamatan kepada semua orang secara sama rata, maka apa yang menjelaskan keselamatan sebagian orang, yang membedakan dari sebagian lainnya, bukanlah anugerah Allah, karena anugerah-Nya tiba kepada semua orang secara sama rata. Yang menjelaskan bagi keselamatan sebagian orang pastilah sesuatu yang ada di dalam diri orang yang berdosa itu, yaitu kehendaknya.
Perkataan Yesus, “di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa” juga melawan bentuk kebohongan dari kehendak bebas ini.
Dengan perkataan ini, Yesus benar-benar membuat manusia merendahkan hati. Ia mengambil keselamatan sepenuhnya keluar dari kuasa manusia. Ia meninggalkan manusia berdosa sepenuhnya tanpa daya dalam hal keselamatan.
Tujuan Yesus adalah meninggikan diri-Nya, menyatakan bahwa keselamatan adalah hanya di dalam kuasa-Nya, dan membuat umat kepunyaan-Nya memercayai hanya Dia untuk keselamatan.
Ketika Yesus berkata, “di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa,” Ia meninggikan diri-Nya sendiri. Ia membuat klaim yang teragung bagi diri-Nya sendiri: Ia dan hanya Ia adalah sumber semua kebaikan di dalam dunia; Ia dan hanya Ia adalah terang rohani dan kehidupan rohani. Jika manusia bisa berbuat kebaikan hanya di dalam persatuan dengan Yesus Kristus, Yesus Kristus adalah satu-satunya sumber kebaikan. Yesus adalah pokok anggur yang hidup dan yang memberi hidup, yang menghasilkan buah di cabang-cabangnya.
Yesus adalah kemampuan – dinamo – dari semua kebaikan bagi kita.
Hal ini benar, pertama, karena secara pribadi, Yesus adalah Anak Allah yang kekal di dalam dunia. Hanya Allah yang baik dan sumber segala kebaikan.
Kedua, Yesus adalah sumber kebaikan karena, dengan kematian dan kebangkitan-Nya, Ia telah menjadi sumber kehidupan dan kebaikan rohani di dalam dunia yang berisi kematian dan kejahatan rohani. Kehidupan dan kebaikan ini Ia berikan kepada kaum kepunyaan-Nya sendiri. Ia membangkitkan kita dari kondisi natural kita yang berupa kematian rohani ke dalam kehidupan rohani, mempersatukan kita kepada diri-Nya sendiri dengan ikatan iman – persatuan yang mistis – dan, melalui ikatan ini – “pencangkokan” ini – mengaruniakan kepada kita anugerah dan kuasa Roh-Nya sehingga kita bisa melakukan kebaikan dan menghasilkan buah.
Di dalam Dia, kita bisa melakukan sesuatu. Di dalam Dia, kita harus melakukan sesuatu. Di dalam Dia, kita tidak bisa tidak melakukan sesuatu. Di dalam Dia, kita bisa dan harus dan tidak bisa tidak menghasilkan buah perbuatan-perbuatan yang baik. Bahkan saat itu pun, adalah selalu Yesus yang menjadi kemampuan kita untuk melakukan kebaikan. Di luar Dia, kita tidak bisa berbuat apa pun. Kita harus tinggal di dalam Dia.
Inilah mengapa Reformasi berjuang demi doktrin tentang kerusakan yang total, khususnya tentang keterbelengguan kehendak. Doktrin ini meninggikan Yesus Kristus. Di sisi lain, doktrin tentang kemampuan dan kebaikan manusia yang terpisah dari Kristus mengalihkan perhatian dari Kristus, dan secara tidak terelakkan akan menghasilkan injil palsu bahwa manusia menyelamatkan dirinya sendiri.
Sekarang kita memahami kegigihan Luther di dalam The Bondage of the Will dalam kontroversinya melawan Erasmus menyangkut kebebasan atau keterbelengguan kehendak:
Izinkan saya memberi tahu Anda dan memohon kepada Anda untuk membiarkan hal ini mengendap di dalam pikiran Anda – saya berpandangan bahwa sebuah kebenaran yang khidmat dan vital, yang memiliki konsekuensi kekal, sedang dipertaruhkan di dalam pembahasan ini; kebenaran yang begitu krusial dan fundamental sehingga harus dipertahankan dan dibela bahkan dengan mengorbankan jiwa sekalipun, meskipun sebagai akibatnya seluruh dunia bukan hanya harus terseret ke dalam gejolak dan guncangan yang hebat, tetapi juga hancur di dalam kekacauan dan menjadi sirna.
Ada dua implikasi penting dari kebenaran tentang kerusakan yang total, sebagaimana diajarkan oleh Yesus di dalam Yohanes 15:5. Yang pertama adalah bahwa kebaikan apa pun yang ada di dalam diri kita dan kebaikan apa pun yang kita lakukan adalah berasal dari Kristus. Kebaikan ini adalah karunia, bukan jasa. Kebaikan ini adalah dari anugerah, bukan dari natur. Maka, tidak ada tempat di dalam hidup kita untuk memegahkan diri. Sebaliknya, seluruh kebaikan kita adalah alasan untuk lebih memuji Kristus dan lebih bersyukur kepada Kristus.
Aktivitas rohani dan perbuatan baik kita tidak menghasilkan dan tidak mendapatkan keselamatan, tidak menjadikan kita berlayak untuk mendapatkan anugerah dan keselamatan, dan bukan syarat-syarat untuk keselamatan. Aktivitas rohani dan perbuatan baik kita adalah buah yang dihasilkan, hasil dari persatuan dengan Kristus yang menyelamatkan.
Implikasi kedua adalah bahwa persatuan kita dengan Kristus, yang adalah permulaan dari keselamatan, bukanlah perbuatan kita. Ini bahkan bukan karena kerja sama kita dengan Kristus. Sebaliknya, persatuan kita dengan Kristus adalah karya Kristus yang bebas, penuh anugerah, dan berdaulat di dalam diri kita. Kita, dari diri kita sendiri, tidak dapat memilih, menerima, membuka hati kita, mengambil keputusan untuk memihak Kristus, atau untuk percaya. Kita, dari diri kita sendiri, tidak dapat menginginkan untuk memilih, menerima, membuka hati, mengambil keputusan untuk memihak Kristus, atau untuk percaya. Hal ini mustahil bagi kita sebagaimana adanya kita sesuai natur, sebagaimana ini mustahil bagi sebuah ranting mati yang tergeletak di atas tanah untuk menerima gagasan untuk menyatukan dirinya kepada pokok anggur dan kemudian meloncat dan melekatkan dirinya kepada pokok anggur itu. Bahkan kondisi kita sesuai natur adalah lebih buruk daripada ranting mati itu. Ranting mati itu tidak membenci pokok anggur. Tetapi kita membencinya.
Kristus harus menyatukan kita kepada diri-Nya di dalam persatuan yang mistis dengan karya yang dahsyat oleh Roh-Nya. Kristus harus melahirkan kita kembali. Kristus harus membuka hati kita. Kristus harus mencerahkan pikiran kita. Kristus harus memerdekakan kehendak kita yang terbelenggu. Kristus harus menarik kita. Kristus harus mengerjakan iman di dalam diri kita.
Setelah itu barulah kita datang, percaya, dan memilih.
Setelah datang, kita tinggal di dalam Dia, dan menghasilkan buah.
Tinggalnya kita di dalam Dia dan berbuahnya kita adalah tujuan Yesus dengan ajarannya di dalam Yohanes 15:5. Ia mengajarkan kita bahwa kita tidak dapat melakukan apa pun di luar Dia untuk memotivasi kita agar mencamkan nasihat-Nya di ayat 4, “Tinggallah di dalam Aku,” sehingga kita menghasilkan buah di dalam kehidupan perbuatan baik. Kristus berbicara kepada para murid-Nya di dalam Yohanes 15, kepada mereka yang dipersatukan dengan-Nya dan, dengan demikian, yang menghasilkan buah. Kepada mereka, Ia memberikan ajaran mengenai kerusakan yang total. Para murid Kristus perlu mengetahui kebenaran tentang kerusakan yang total.
Kita perlu mengetahui kebenaran tentang kerusakan yang total agar hati kita direndahkan. Kerusakan yang total membuat kita rendah hati mengenai semua kemampuan dan pencapaian kita di dalam dunia ini. Di luar Kristus kita tidak bernilai di dalam pandangan Allah. Kerusakan yang total merendahkan hati kita mengenai karunia dan perbuatan rohani kita. Semuanya itu bukan dari diri kita sendiri, melainkan buah dari Kristus di dalam diri kita. Kerusakan yang total merendahkan hati kita mengenai sikap kita terhadap orang-orang yang tidak saleh dan imoral. Satu-satunya perbedaan antara mereka dan kita adalah anugerah Allah bagi kita. Seperti diingatkan Rasul Paulus di dalam Titus 3:3, “dahulu kita juga hidup dalam kejahilan.” Kerusakan yang total merendahkan hati kita mengenai keselamatan kita. Keselamatan kita bukanlah perbuatan kita sendiri baik dulu maupun sekarang, melainkan karya Kristus, sepenuhnya dan secara eksklusif. Keselamatan adalah hanya oleh anugerah. Di dalam terang perkataan Yesus di dalam Yohanes 15:5, di dalam jiwa kita, orang yang diselamatkan, terdapat pertanyaan “Mengapa saya?” – pertanyaan yang tidak pernah diajukan oleh para pembela kehendak bebas.
Kedua, kita perlu mengetahui kebenaran tentang kerusakan yang total agar kita memuliakan Allah. Allah menyelamatkan orang-orang berdosa, yang kondisi naturalnya adalah bahwa kita tidak dapat berbuat apa pun – tidak ada apa pun yang baik, tidak ada apa pun yang berkenan pada Allah, tidak ada apa pun yang bisa mendapatkan atau membuat kita layak bagi keselamatan, tidak ada apa pun yang bersumbangsih bagi keselamatan, tidak ada apa pun yang menjadi sandaran bagi keselamatan. Allah menyelamatkan, tetapi bukan seturut kehendak, keberhargaan, atau perbuatan orang yang berdosa, melainkan sesuai kehendak-Nya yang penuh anugerah, yaitu pemilihan.
Ketiga, kita perlu mengetahui kebenaran tentang kerusakan yang total – kebenaran tentang kerusakan yang total pada diri kita sendiri sesuai natur kita – agar kita mencamkan nasihat Kristus untuk tinggal di dalam Dia. Oh, pencobaan untuk menarik dari dari Kristus dan bergantung pada diri kita sendiri selalu begitu hebat! Dengan perkataan di dalam Yohanes 15:5, Kristus memanggil kita: “Berdiamnya bersama-Ku! dekat dengan-Ku! selalu lebih dekat dengan-Ku! di dalam iman yang hidup! di dalam gereja yang sejati yang memproklamasikan Aku dan anugerah-Ku! di dalam penggunaan yang tekun akan pemberitaan Injil dan sakramen-sakramen! di dalam doa! di dalam hidup bergaul dengan-Ku setiap hari!
Di luar Kristus, kita tidak bisa melakukan apa pun. Di luar Kristus, kita adalah cabang yang mati, yang tidak berbuah. Di luar Kristus, terdapat penghakiman Allah atas mereka yang mengaku sebagai anggota Kristus dan gereja-Nya, tetapi sebenarnya bukan, yang memanifestasikan keterpisahan rohani mereka dari Kristus dengan kegagalan mereka untuk menghasilkan buah. “Barangsiapa tidak tinggal di dalam Aku, ia dibuang ke luar seperti ranting dan menjadi kering, kemudian dikumpulkan orang dan dicampakkan ke dalam api lalu dibakar” (Yoh. 15:6).
Kita juga perlu mengetahui kebenaran tentang kerusakan yang total agar kita memiliki keyakinan. Pertama ini adalah keyakinan akan keselamatan kita sendiri. Kebaikan yang saya lihat di dalam hidup saya, khususnya persatuan dengan Kristus dan kedatangan yang aktif kepada Kristus, dan juga dihasilkannya buah pengakuan akan kebenaran dan ketaatan kepada Taurat dari hati, adalah bukti yang pasti bagi keselamatan saya. Tidak ada orang yang belum diselamatkan, yang kondisi naturalnya adalah bahwa mereka tidak dapat berbuat apa pun, yang memercayai Kristus atau mengasihi Allah dan sesama.
Kedua, keyakinan kita adalah kepastian mengenai kehidupan Kristen kita yang aktif di dalam ketaatan kepada Kristus. Kita berkeyakinan bahwa tidak peduli apa pun kesulitan dan hambatannya, bahkan tidak peduli apa kelemahan kita, kita akan mampu melakukan apa pun yang menjadi panggilan Kristus untuk kita lakukan di dalam kehidupan. Kita berkeyakinan bahwa kita dapat melakukan setiap tugas, menggenapi setiap kewajiban, mengangkat setiap beban, dan menanggung setiap kesedihan. Di luar Kristus, kita tidak dapat melakukan apa pun. Tetapi di dalam Dia, dengan tinggal di dalam Dia, kita bisa melakukan segalanya (Flp. 4:13).
Bab 5: Anugerah Yang Tidak Bisa Ditolak
Untuk bahan-bahan lain dalam bahasa Indonesia, klik di sini.