Prof. Herman Hanko
Seorang koresponden menulis, “Apakah Anda menyadari bahwa Allah tidak memiliki prapengetahuan di luar ciptaan-Nya? Ia tidak bisa memiliki prapengetahuan tentang tindakan-tindakan-Nya sendiri. Ingat, Ia tidak memiliki permulaan sedangkan prapengetahuan hanya eksis sebelum suatu permulaan.”
Meskipun berpijak pada konsep yang keliru dan mengandung nuansa kesombongan, ketika pertanyaan ini menyarankan bahwa mereka yang memercayai prapengetahuan Allah benar-benar tidak memahami apa itu prapengetahuan, ini layak mendapat perhatian kita.
Seorang penanya lain tampak jelas telah memberikan banyak pemikiran tentang perihal ini, tetapi terus memiliki permasalahan dengan ide tentang prapengetahuan. Ia menulis,
“Saya memahami perikop-perikop tentang ‘sebelum dunia dijadikan’ di dalam terang prapengetahuan.
1. Apakah prapengetahuan itu? Untuk mereka yang Ia praketahui. Apa yang Allah praketahui?
2. Jika kaum pilihan dipilih sebelum dunia dijadikan di luar prapengetahuan tentang si individu, lalu pada titik manakah mereka dihukum? Saya tidak bisa memahami bagaimana seseorang bisa secara simultan dihukum dan diselamatkan pada waktu yang bersamaan.
“Sama seperti Musa meninggikan ular –
1. Bilangan 21:8-9, saya yakin kita sepakat bahwa Kristus sendiri menggunakan perikop ini sebagai sebuah gambaran bagi apa yang akan Ia lakukan di atas salib [Yoh. 3:14]. Tetapi, di dalam gambaran ini, semua orang yang digigit harus menggunakan kehendak bebas mereka dan cukup melihat ular itu agar tetap hidup, dan semua yang tidak melakukan itu mati. Bagaimana ini bisa menjadi gambaran akan Kristus di dalam pandangan Calvinis, ketika melihat adalah tindakan hati nurani dan kehendak?
2. Ini tidak mungkin merupakan sebuah gambaran yang akurat, jika konsekuensi-konsekuensinya tidak diterapkan dengan cara yang sama.
3. Ular itu tidak pernah dijauhkan dari mereka yang digigit sehingga mereka tidak pernah bisa melihatnya. Jika keselamatan tidak tersedia bagi mereka yang digigit, maka ini bukanlah sebuah gambaran yang akurat.”
Pertanyaan terakhir ini tidak berkaitan langsung dengan prapengetahuan, tetapi sangat erat terkait dengan topik tentang prapengetahuan itu sehingga akan sangat bermanfaat jika kita membahas keduanya bersama-sama.
Pertama-tama, kita harus memiliki kepastian mengenai apa yang Alkitab maksudkan dengan “prapengetahuan” (“foreknowledge”)
Kata ini tidak sering digunakan di dalam Kitab Suci. Kata ini ditemukan hanya di dalam Kisah 2:23 dan 1 Petrus 1:2. (LAI menerjemahkan menjadi “rencana” di dalam kedua ayat ini.) Bentuk kata kerja kognatnya, “pramengetahui” (“foreknow”) digunakan hanya di dalam Roma 8:29 dan Roma 11:2. (Di dalam kedua ayat ini LAI menerjemahkan berturut-turut menjadi “dipilih dari semula” dan “dipilih.”)
Di dalam Kisah 2:23, kata ini digunakan untuk mengajari kita bahwa kematian Kristus dan semua keadaan dari kematian itu terjadi karena keputusan kehendak Allah yang berdaulat dan kekal. Di dalam kenyataannya, kata “prapengetahuan” disamakan dengan keputusan kehendak-Nya.
Di dalam tiga kesempatan lainnya, kata ini digunakan dalam kaitannya dengan umat Allah: “Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula (he did foreknow), mereka juga ditentukan-Nya dari semula”; “... orang-orang yang dipilih, sesuai dengan rencana (foreknowledge) Allah, Bapa kita ...”; “Allah tidak menolak umat-Nya yang dipilih-Nya (he foreknew).”
Meskipun dibedakan dari predestinasi dan pemilihan (eleksi), prapengetahuan terkait erat dengan kedua konsep ini.
Di Abad Pertengahan, banyak theolog, yang berpegang kuat pada Pelagianisme Katolik Roma, mendefinisikan prapengetahuan dalam pengertian prediksi. Allah mampu memprediksi secara akurat siapa yang akan percaya dengan kehendak bebasnya sendiri, dan berdasarkan keputusan manusia untuk percaya, orang itu dipilih. Para Reformator, tanpa terkecuali, mengutuk pandangan ini sebagai pandangan yang bertolak belakang dengan Kitab Suci dan merupakan penyangkalan terhadap kedaulatan Allah.
Tetapi ajaran sesat tersebut bangkit kembali. Ajaran itu bangkit di dalam universalisme hipotetis dari kaum Amyraldian di Prancis dan di dalam ajaran sesat Arminian dari Jacobus Arminius dan para pengikutnya di Belanda. Amyraldianisme dikutuk di dalam Formula Consensus Helvetica (1675) dan oleh Persidangan Westminster (tahun 1640-an), meskipun posisi Amyraldian atau pandangan-pandangan yang menyerupainya dibela oleh sejumlah delegasi. Posisi Arminian dikutuk oleh Sinode Dordrecht (1618-1619).
Pengakuan-pengakuan iman yang muncul dari Reformasi dengan suara bulat menolak predestinasi bersyarat dan kehendak bebas manusia. Pengakuan Iman Skotlandia (1560) berkata, “Sehingga kita mengakui bahwa penyebab perbuatan baik bukanlah kehendak bebas kita, melainkan Roh Tuhan Yesus ...” (Art. 13). Mengenai kehendak bebas, Artikel 10 dari Thirty Nine Articles (1562/63) dari Gereja England menyatakan, “Kondisi manusia, setelah kejatuhan Adam, adalah sedemikian rupa sehingga ia tidak dapat berbalik dan mempersiapkan dirinya dengan kekuatan alamiahnya dan perbuatan baiknya sendiri untuk iman dan berseru kepada Allah.” Lambeth Articles (1595), yang dimaksudkan untuk ditambahkan pada Thirty Nine Article, meskipun tidak pernah secara resmi diadopsi oleh Gereja Anglikan, kuat di dalam doktrin predestinasi (http://www.cprf.co.uk/articles/lambeth.htm). Semua pengakuan iman Reformed lainnya mengajarkan kebenaran yang sama: Pengakuan Iman Prancis (1559), Pengakuan Iman Belanda (1561), Katekismus Heidelberg (1563), dll.
Merupakan kesetiaan kepada pengakuan-pengakuan iman ini jika kita mengakui dan mempertahankan kebenaran-kebenaran ini, dan menentang ajaran-ajaran sesat yang pada dasarnya muncul dari Katolik Roma. Bahwa sebagian besar gereja saat ini tidak setia kepada warisan sejarah mereka tidak menyebabkan perbedaan apa pun; gereja-gereja itu hanya menyangkali apa yang merupakan inti dari pemikiran Reformasi. Dengan berbuat seperti itu, mereka telah menolak Zwingli, Luther, Calvin, Knox, dan semua theolog Reformed yang lebih belakangan. Para pembela ajaran-ajaran sesat yang lebih belakangan tidak perlu muncul dengan penyangkalan mereka terhadap prapengetahuan, predestinasi, dan pemilihan, beserta gagasan mereka tentang kehendak bebas dan upaya untuk memaksakannya pada gereja sebagai kebenaran Kitab Suci. Biarlah mereka mengerjakan PR mereka dan membaca The Bondage of the Will karya Luther atau God’s Eternal Predestination dan Secret Providence karya Calvin. Mereka akan segera mengetahui bahwa mereka berdiri di luar arus pemikiran yang alkitabiah.
Jika mereka mengklaim bahwa Reformasi memunculkan ajaran-ajaran baru, biarlah mereka kembali kepada Augustine (354-430) dan Gottschalk (+808 - +867) untuk belajar bahwa ini adalah kebenaran-kebenaran kuno yang dipegang oleh para theolog terbesar di dalam gereja.
Satu-satunya penjelasan bagi penekanan yang konsisten pada prapengetahuan Allah dan terbelenggunya kehendak manusia adalah bahwa kedua doktrin yang diajarkan para Reformator ini adalah sepenuhnya alkitabiah dan harus dipertahankan.
Kita akan masuk ke dalam topik ini sendiri dengan lebih lengkap di dalam artikel berikutnya dan menjawab beberapa keberatan dari para penyangkal. Saya mendorong para pembaca untuk menyimpan edisi News ini sehingga bisa merujuknya ketika edisi berikutnya diterbitkan, untuk menyegarkan ingatan Anda tentang pertanyaan-pertanyaan yang tengah kita bahas ini.
Di dalam News edisi bulan lalu, saya memulai pembahasan tentang dua pertanyaan yang sampai kepada saya, dua-duanya berbicara tentang topik-topik yang terkait. (1) Pertanyaan pertama berfokus pada prapengetahuan Allah, berargumen bahwa memercayai prapengetahuan adalah kebodohan, karena prapengetahuan mengimplikasikan kontradiksi-kontradiksi di dalam diri Allah sendiri yang tidak ada pemecahannya. (2) Pertanyaan kedua, yang sebenarnya berisi serangkaian pertanyaan, lebih banyak berkaitan dengan kehendak bebas manusia. Pertanyaan kedua ini merujuk kepada narasi Alkitab tentang ular berbisa yang menyerang bangsa Israel karena sungut-sungut mereka (Bil. 21:4-9) dan penggenapan bagi ular tembaga yang Yesus bicarakan di dalam Yohanes 3:14.
(1) Saya akan terlebih dahulu membahas tentang prapengetahuan. Kita harus mengingat, ketika berbicara mengenai keputusan kehendak Allah (karena prapengetahuan adalah sebuah dekrit di dalam keputusan kehendak Allah), bahwa keputusan kehendak ilahi adalah kekal. Ini bukan berarti bahwa Allah sendiri dan keputusan kehendak-Nya adalah tanpa sebuah permulaan temporal dan sebuah akhir temporal. Ini berarti bahwa keputusan kehendak Allah itu tidak berwaktu, tanpa waktu, melampaui waktu, sama sekali tidak dipengaruhi oleh waktu, karena Yehova sendiri adalah tidak berwaktu.
Kita sepenuhnya dikendalikan oleh waktu sehingga kita bahkan tidak dapat membentuk ide tentang kekekalan ilahi. Kekekalan berarti bahwa kita tidak dapat berbicara tentang “kapan” Allah melakukan sesuatu (seperti yang dilakukan si penanya), karena “kapan” mengimplikasikan waktu. Kita tidak dapat berbicara tentang satu pekerjaan Allah mendahului pekerjaan-Nya yang lain di dalam kekekalan, karena satu hal yang mendahului hal lain adalah ciri dari waktu. Semua dekrit Allah ada secara kekal di hadapan pikiran-Nya dan dekrit-dekrit itu tidak mengandung perubahan.
Istilah (a) prapengetahuan, (b) pemilihan (eleksi), dan (c) predestinasi merujuk kepada dekrit Allah yang sama namun ketiganya melihat dekrit itu dari sudut-sudut pandang yang berbeda.
(a) Prapengetahuan Allah adalah pengetahuan-Nya yang kekal tentang tujuan-Nya untuk memuliakan diri-Nya melalui Yesus Kristus dan keselamatan gereja. Prapengetahuan tentang keselamatan di dalam Kristus ini mencakup prapengetahuan Allah yang kekal tentang salib Kristus sebagai sarana keselamatan (Kis. 2:23; 4:27-28).
Namun, tidak boleh dilupakan bahwa pengetahuan Allah tentang sesuatu bukanlah seperti pengetahuan kita. Saya memiliki pengetahuan tentang sebatang pohon walnut hitam yang pernah tumbuh di halaman belakang rumah saya. Tetapi saya mengetahui tentang pohon itu hanya setelah pohon itu ada di sana. Allah mengetahui tentang pohon walnut hitam itu sebelum pohon itu ada di sana.
Dalam kenyataannya, karena keputusan kehendak Allah adalah kehendak yang hidup dari Allah yang hidup, pengetahuan-Nya tentang pohon walnut hitam itu adalah penyebab dari eksistensi pohon tersebut. Dan demikianlah halnya dengan segala sesuatu lainnya.
Allah adalah mahatahu, bukan karena Ia mampu memprediksikan masa depan secara akurat, tetapi karena Ia menentukan segala sesuatu yang terjadi di dalam waktu di dalam keputusan kehendak-Nya yang kekal.
(b) Pemilihan merujuk kepada dekrit Allah yang sama untuk menyelamatkan umat-Nya di dalam Kristus, tetapi penekanan istilah ini adalah pada fakta bahwa Ia memilih siapa yang ingin Ia selamatkan dengan presisi yang mutlak dan ketetapan yang final. “Melakukan eleksi” (“to elect”) berarti “melakukan pemilihan” (“to choose”)
(c) Predestinasi di dalam Kitab Suci juga merujuk kepada kehendak Allah yang kekal untuk menyelamatkan umat-Nya di dalam Kristus, tetapi melihat dekrit Allah dari sudut pandang tujuan atau destininya. Tujuannya adalah membawa kaum pilihan-Nya ke dalam persekutuan yang kekal dengan diri-Nya di dalam Yesus Kristus. Predestinasi juga merujuk kepada semua yang Allah tetapkan untuk lakukan guna mencapai sasaran itu.
(2) Sekarang saya beralih ke isu mengenai kehendak bebas manusia. Pertanyaan yang kita hadapi adalah ini: Apakah manusia yang sudah terjatuh memiliki kemampuan alamiah untuk memilih melakukan yang baik atau yang jahat? Kita tidak berbicara mengenai Adam sebelum kejatuhan. Kita juga tidak berbicara mengenai manusia pada saat ini yang mungkin memilih untuk menyurati Anda atau tidak jadi menyurati Anda, memesan steak untuk makan malam atau hamburger, membeli mobil Ford atau Mercedes. Pertanyaan yang diajukan – dan pertanyaan yang telah diajukan ribuan kali – adalah ini: Apakah seorang manusia yang sepenuhnya rusak memiliki kemampuan moral untuk memilih melakukan apa yang menyenangkan Allah dan sesuai dengan perkenan-Nya. Atau, seperti yang sering dikatakan saat ini, apakah manusia yang berdosa memiliki kemampuan rohani untuk menerima keselamatan yang ditawarkan kepadanya di dalam Injil? Apakah keselamatan manusia ditentukan oleh pilihannya sendiri?
Ini adalah pertanyaan yang sudah kuno. Bahkan di masa Augustine (354-430), pertanyaan ini sudah harus dihadapi. Pada masa-masa itu, kaum Pelagian dan Semi-Pelagian mengajarkan bahwa manusia memiliki kehendak bebas dan bahwa Allah hanya menyelamatkan mereka yang ingin diselamatkan oleh (apa yang diduga sebagai) kehendak bebas mereka. Augustine menolak pandangan ini dengan paling tegas. Gereja Katolik Roma mengajarkannya dengan paling tegas dan membunuh pihak-pihak yang menyangkalnya. Semua Reformator, tanpa terkecuali, menyangkal adanya kehendak bebas, demikian pula gereja-gereka Reformed dan Presbiterian di seluruh Eropa. Kaum Arminian mengajarkannya; Sinode Dordrecht, yang mewakili gereja-gereja Reformed di seluruh Eropa menyangkalnya. Dan demikian pula pada saat ini: ada pihak-pihak yang mengajarkan kehendak bebas dan ada pihak-pihak yang menolaknya, yang dengan tepat menekankan bahwa kerusakan total adalah kerusakan total dan bukan kerusakan parsial (Rm. 3:9-20).
Pihak yang mengajarkan kehendak bebas hendaknya mengakui bahwa mereka memiliki kesepandangan doktrinal dengan Gereja Katolik Roma dalam poin ini. Begitu pentingnya pertanyaan ini sampai Martin Luther, yang kita pandang sebagai Reformator yang besar, menulis sebuah buku berjudul The Bondage of the Will (1525) untuk melawan Erasmus, seorang wakil humanistis dari Katolikisme Roma. Luther memahami pentingnya pertanyaan ini. Di dalam menjawab Erasmus, Luther menyampaikan pujian kepadanya karena telah membicarakan isu yang paling penting dan krusial yang memisahkan para Reformator dari Katolik Roma. Jika Erasmus benar, tegas Luther, tidak ada alasan untuk mereformasi gereja dan berpisah dari Katolik Roma.
Seperti yang disarankan oleh si penanya, ada baiknya kita memahami bahwa doktrin-doktrin krusial yang lain juga terlibat di sini. Beberapa dari yang paling penting adalah: apakah Kristus mati bagi semua manusia secara mutlak ataukah hanya bagi kaum pilihan-Nya (Yoh. 10:11); apakah Allah mengasihi semua manusia atau hanya kaum pilihan-Nya (Rm. 9:13); apakah Allah memberikan anugerah kepada semua manusia atau hanya kepada kaum pilihan-Nya (2Tim. 1:9); apakah Allah ingin semua manusia diselamatkan atau apakah Ia hanya menghendaki keselamatan kaum pilihan-Nya (Mat. 11:25-27); apakah semua manusia memiliki kemampuan untuk diselamatkan atau apakah manusia yang jahat akan selalu menolak Injil – kecuali Allah sendiri menyelamatkan dia (Yoh. 6:65).
Pertanyaan ini sangat penting. Pertanyaan ini membagi antara orang-orang Kristen yang percaya dan ortodoks dan para theolog yang sesat yang berdiri di luar arus gereja Kristus di bumi ini. Janganlah ada dari kita yang meremehkan isu ini.
Satu-satunya jawaban yang bisa semua orang berikan adalah bahwa gereja Kristus sejak hari Pentakosta sampai hari ini, termasuk surat-surat Paulus kepada jemaat di Galatia dan Roma, semua kredo agung dari gereka, dan semua theolog terbesar, telah berpegang pada posisi ini: Kejatuhan manusia menyebabkan kerusakannya yang total, yaitu ketidakmampuannya yang total untuk melakukan kebaikan apa pun dan kemampuannya untuk melakukan hanya yang jahat. Ini juga mencakup kehendaknya: kehendak dari manusia yang terjatuh secara total tidak berkemampuan untuk melakukan apa pun yang memperkenan Allah; kehendaknya secara secara total tidak mampu untuk berkontribusi barang 0,0001% pun bagi keselamatan manusia; kehendaknya tidak bisa melakukan apa pun selain membenci Allah (Rm. 1:30).
Baru-baru ini saya baru saja menyelesaikan studi yang ekstensif tentang ajaran-ajaran gereja mengenai pertanyaan ini. Saya tidak bisa mengulang hasil riset itu di sini. Tetapi buktinya konklusif: Ada begitu banyak ajaran sesat yang menyangkali doktrin terbelenggunya kehendak, tetapi gereja yang sejati telah secara konsisten dan tidak segan-segan mengutuk kesalahan-kesalahan itu dan berpegang pada kedaulatan yang mutlak dari Allah yang Mahakuasa di dalam keselamatan orang-orang berdosa. Gereja selalu mengajarkan (dan kita hanya perlu membaca pengakuan-pengakuan iman gereja untuk melihat hal ini) bahwa manusia itu rusak secara total; bahwa Kristus mati hanya bagi kaum pilihan-Nya yang diserahkan kepada-Nya oleh Bapa; bahwa Allah mengasihi umat-Nya tetapi membenci mereka yang jahat atau fasik; bahwa Allah menyelamatkan satu umat yang dipilih sejak kekekalan dan mengaruniakan anugerah-Nya kepada mereka, dan hanya kepada mereka; bahwa anugerah-Nya tidak dapat ditolak; bahwa mereka yang dipilih oleh Allah akan diselamatkan sehingga mereka semua akan hidup selamanya di dalam persekutuan kovenan dengan Allah Tritunggal (Mzm. 11:5-7; Yoh. 6:39-40; 10:27-29; Rm. 8:30-39; Ef. 1:3-14).
Dalam News edisi berikutnya, saya akan membahas perikop di dalam Bilangan 21 yang menjadi perhatian si penanya. Tetapi di sini saya ingin terlebih dahulu memberikan beberapa komentar yang terkait.
Pertanyaan tersebut tidak akan dijawab menurut apa yang kita inginkan atau apa yang kita pikir seharusnya terjadi. Pertanyaannya secara ultimat – dan ini adalah pertanyaan yang harus kita masing-masing jawab, karena tidak ada cara untuk menghindarinya – Apakah Anda memilih untuk mengikuti Gereja Katolik Roma dalam hal pertanyaan yang krusial ini? Apakah Anda ingin bergabung dengan kegaduhan yang riuh-rendah dari mayoritas gereja di dunia yang berpikir bahwa ia lebih tahu daripada Allah sendiri tentang apa yang harus Allah lakukan? Apakah Anda menginginkan Allah yang menantikan kehendak manusia untuk memutuskan apakah ia ingin diselamatkan atau tidak? Apakah Anda menginginkan Kristus yang kematian-Nya begitu tidak efektual sehingga tidak dapat menyelamatkan orang-orang yang baginya Ia mati? Haruskah Kristus secara kekal meremas tangan-Nya dengan putus asa karena banyak dari orang-orang yang Ia kasihi dan ingin selamatkan ternyata pergi ke neraka?
Saya tidak menginginkan Allah yang seperti ini dan Kristus yang seperti ini. Ia tidak dapat melakukan hal apa pun yang menolong saya. Jika ada satu iota saja dari pekerjaan yang mulia ini bergantung pada saya, saya akan binasa. Saya tahu itu. Saya tahu itu dengan kepastian yang begitu mutlak sehingga doksologi Paulus yang mulia adalah doksologi yang saya nyanyikan dengan girang: “Aku telah disalibkan dengan Kristus; namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku. Aku tidak menolak kasih karunia Allah. Sebab sekiranya ada kebenaran oleh hukum Taurat, maka sia-sialah kematian Kristus” (Gal. 19b-21).
Allah apa pun selain Allah yang berdaulat, yang memegang hati para raja di dalam tangan-Nya sehingga “dialirkan-Nya ke mana Ia ingini” (Ams. 21:1), adalah berhala, ciptaan humanistis yang membuat Allah menjadi kecil dan tidak berdaya, dan menaikkan manusia ke tingkat yang sama dengan yang ilahi.
Di dalam dua isu News sebelumnya, saya telah membahas pertanyaan-pertanyaan dari pembaca yang melibatkan hal prapengetahuan Allah dan (apa yang diduga sebagai) kehendak bebas manusia.
Masih ada satu hal yang perlu dijawab. Salah seorang penanya merujuk kepada Bilangan 21:8-9 untuk berargumen bahwa manusia dengan kehendak bebasnya sendiri mampu untuk memilih memercayai Injil yang di dalamnya diberitakan seorang Kristus yang adalah Juruselamat yang mengasihi semua manusia, mati bagi mereka, dan menginginkan agar setiap orang diselamatkan. Si penanya mengklaim bahwa karena Israel memiliki pilihan untuk melihat ular tembaga agar disembuhkan atau menolak untuk melihat ular tembaga dan mati, dan karena Yesus mendapati di dalam ular tembaga tersebut sebuah gambaran tentang diri-Nya sendiri yang ditinggikan di atas salib (Yoh. 3:14-15), maka semua manusia memiliki pilihan untuk menerima Kristus sebagai Juruselamat mereka atau menolak untuk menerima-Nya dan sebagai akibatnya akan binasa.
Pertanyaan yang segera muncul di dalam pikiran kita adalah ini: Bagaimana si penanya tahu bahwa orang-orang Israel yang melihat kepada ular tembaga itu melakukannya berdasarkan kehendak bebas mereka sendiri? Teks tersebut tidak mengatakan seperti itu. Jika tindakan orang-orang Israel itu adalah dari kehendak bebas mereka sendiri, maka segala sesuatu yang terjadi kepada mereka juga dari kehendak bebas mereka sendiri: pilihan mereka untuk meninggalkan Mesir ketika bangsa itu pergi; pilihan mereka untuk berkemah di Sinai; pilihan mereka untuk bersungut-sungut karena tidak adanya air; pilihan mereka untuk tidak memercayai laporan dari kesepuluh orang mata-mata atau pilihan mereka untuk memercayai laporan itu; dll. Seluruh keselamatan mereka bergantung pada pilihan mereka sendiri.
Jika seseorang memiliki pilihan untuk menerima Kristus atau menolak-Nya, ia juga memiliki pilihan untuk menerima sebagian dari Kristus dan menolak bagian-bagian yang lain. Ia memiliki pilihan entah untuk terus memercayai Kristus atau untuk mengubah pikirannya; ia memiliki pilihan untuk pergi ke sorga atau pergi ke neraka.
Dengan perkataan lain, seluruh keselamatannya bergantung pada dirinya. Tidak ada yang tersisa untuk Kristus lakukan selain merasa khawatir apakah pada akhirnya ada orang yang memercayai Dia. Kristus tidak bisa melakukan apa pun mengenai itu. Kristus tidak berdaya. Pilihan ada di tangan manusia. Saya bertanya, siapakah yang menginginkan Kristus yang lemah seperti itu? Ataukah kasusnya adalah bahwa manusia membuat pilihan yang menentukan dan kemudian Kristus mengambil alih? Di bagian manakah dari Alkitab kita membaca hal seperti itu?
Mari kita melihat persoalan ini sebagaimana Kitab Suci menyatakannya. Umat manusia sudah terjatuh. Semua orang sudah berdosa di dalam Adam (Rm. 5:12 dst.). Kejatuhan mereka begitu menghancurkan mereka secara rohani sehingga mereka tidak dapat melakukan kebaikan apa pun (3:12). Kerusakan mereka bukan hanya membuat kebaikan moral apa pun menjadi mustahil, tetapi juga membuat manusia menjadi pembenci Allah, pemberontak yang melawan-Nya, dan musuh yang ingin menghancurkan-Nya. Itulah yang dari dulu sampai sekarang menjadi pilihan manusia, dosa manusia, tanggung jawab manusia.
Allah menyatakan kekayaan anugerah dan rahmat-Nya dengan membawa keselamatan kepada dunia ini melalui karya Tuhan Yesus Kristus. Keselamatan ini diproklamasikan di dalam Injil. Tujuan Allah di dalam membawa keselamatan ini ada dua. Di satu sisi, Injil menempatkan semua manusia di hadapan perintah Allah untuk meninggalkan dosanya, bertobat dari kejahatannya, dan memercayai Kristus. Allah melakukan ini untuk mempertahankan tuntutan-tuntutan-Nya yang benar. Di sisi lain, Injil adalah juga kuasa Allah yang menyelamatkan bagi semua orang yang percaya (1:16).
Pasal-Pasal Ajaran Dordrecht menyatakannya dengan tepat: “Kepada orang-orang tertentu Allah mengaruniakan iman dalam hidup ini, kepada orang lain tidak. Hal ini timbul dari keputusan-Nya yang kekal” (1:6). Dekrit kekal Allah mencakup pemilihan maupun reprobasi (1:6; Rm. 9:10-23).
Akan tetapi, Allah tidak memperlakukan manusia sebagai robot. Seperti yang sering dikatakan oleh gembala sidang saya di dalam khotbah-khotbahnya ketika saya masih pemuda, “Manusia tidak pergi ke sorga dengan gerbong untuk tidur buatan Pullman.” Kaum fasik tidak bisa melakukan apa pun selain menolak Injil. Penolakan ini dikarenakan kerusakan yang mereka sebabkan pada diri mereka sendiri. Kaum pilihan percaya karena Allah memberi mereka karunia iman (Ef. 2:8). Kaum fasik pergi ke neraka karena dosa ketidakpercayaan mereka yang mengerikan; kaum benar pergi ke sorga karena rahmat, anugerah, kasih, dan kepanjangsabaran yang Allah tunjukkan kepada mereka.
Di balik semua penolakan terhadap Injil terdapat dekrit kekal Allah tentang reprobasi; di balik semua kepercayaan kepada Injil terdapat dekrit Allah tentang pemilihan. Kristus mati hanya bagi kaum pilihan-Nya dan salib adalah sarana yang dengannya kita diselamatkan. Tetapi Allah menyelamatkan kita dengan cara sedemikian rupa sehingga kita menjadi sadar akan keselamatan kita. Ia membawa kita kepada pertobatan dan iman. Ia memanggil kita untuk melawan manusia lama, bergumul dengan pencobaan, mengakui dosa, dan selalu lari kepada Kristus untuk mendapatkan kekuatan di dalam peperangan. Kita diperintahkan untuk mengerjakan keselamatan kita dan kita dipanggil untuk melakukan ini karena Allahlah yang mengerjakan di dalam diri kita baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya (Flp. 2:12-13).
Kitab Suci mengajarkan tentang kedaulatan mutlak Allah di dalam semua karya-Nya dan dengan demikian mempertahankan kemuliaan Allah. Doktrin-doktrin yang berlawanan menjadikan Allah kecil (dan sebenarnya adalah berhala yang merupakan karikatur dari Allah) dan menjadikan salib tidak bekuasa.
Saya sering menanyakan kepada diri saya sendiri pertanyaan mengapa hampir seluruh dunia gereja sangat menginginkan dan bernafsu dengan suatu theologi yang mempromosikan kehormatan, kebaikan, dan kebenaran moral dasar manusia. Jawabannya hanya mungkin adalah kesombongan. Kesombongan menggelora dengan begitu kuatnya di dalam hati manusia sehingga kebaikan manusia di dalam kehendak bebas harus dipertahankan tidak peduli apa pun caranya.
Theologi ini berputar di sekeliling manusia, bukan Allah. Theologi ini bersifat humanistis. Allah mengasihi semua manusia karena Ia tidak akan pernah membenci siapa pun, katanya. Tetapi apa yang theologi itu perbuat terhadap kekudusan Allah, kekudusan yang begitu terang sinarnya sampai berkobar membakar dosa (Yes. 6:3 dst.)?
Yesus mati bagi setiap orang, kata mereka. Tetapi apa yang theologi itu perbuat terhadap salib sebagai kuasa Allah untuk keselamatan (1Kor. 1:24)? Theologi itu menjadikan salib tidak berkuasa dan menjadikan Allah di dalam Kristus sebagai Allah yang tidak mampu untuk menyelamatkan. Apa yang theologi itu perbuat terhadap kebenaran? Theologi itu menyeret Allah turun sampai ke level manusia dan mencoba, dengan segala upaya, untuk menaikkan manusia ke takhta Allah.
Para musuh Calvin menuduhnya mabuk akan Allah. Ini adalah pujian terbesar. Mabuk akan Allah! Keterberkatan dalam hal ini melampaui kesenangan apa pun yang bisa didapatkan di manapun. Tetapi gereja dunia mabuk akan manusia.
Seandainya saja gereja “Injili” saat ini mau bertobat dari penekanannya pada manusia, manusia, manusia. Dan seandainya saja gereja “Injili” saat ini mau berbalik kepada kebenaran dan mengakui bahwa Allah adalah segalanya!
Mereka yang melihat kepada ular tembaga di padang belantara, dan melihat betapa mereka membutuhan Juruselamat, memiliki iman yang hidup yang menyelamatkan. Iman itu adalah karunia dari Allah. Nikodemus perlu untuk mendengar perkataan Yesus di dalam Yohanes 3, karena ia berpikir tentang Mesias yang akan mendirikan kerajaan di bumi. Ia harus belajar bahwa kerajaan sorga tidak akan dibangun oleh kekuatan manusia, melainkan oleh penyaliban Sang Mesias.
Dan mereka yang oleh iman melihat kepada salib adalah mereka yang diselamatkan: diselamatkan bukan karena mereka memilih untuk melakukan itu menurut (apa yang diduga sebagai) kehendak bebas mereka sendiri, melainkan karena Allah telah memberi mereka iman untuk memercayai hanya Kristus yang telah disalibkan dan yang telah bangkit.
Untuk bahan-bahan lain dalam bahasa Indonesia, klik di sini.