Prof. Herman Hanko
Pertanyaan yang dijawab dalam Buletin membahas masalah etika Kristen. Benarlah bahwa Kitab Suci tidak berbicara secara langsung mengenai segala persoalan yang timbul dalam panggilan hidup kita, hal itu ada pada prinsip bahwa hal itu dapat dan harus berfungsi sebagai pedoman kita untuk berjalan di jalan yang dikenan Allah. Pertanyaan itu secara khusus adalah penting dalam beberapa bagian dari dunia ini: ”Apakah Alkitab melarang pernikahan antar ras? Apakah hal ini berarti bahwa pernikahan ’segala jenis’ di dalam Kejadian 1?
Ungkapan yang diperuntukan dalam Kejadian 1 (ayat 11, 12, 21, 24, 25) tidak dapat mengacu pada pernikahan antar ras karena dua alasan. Pertama, referensi ini mengacu pada tumbuhan, makhluk yang merayap, ikan, burung dan binatang, tetapi tidak ada referensi seperti itu bagi manusia, dan jelaslah, hal itu tidak dapat menjadi acuan dalam hubungan dengan umat manusia. Allah hanya menciptakan satu manusia dan satu istrinya. Kedua, ciptaan dari makhluk hidup lainnya ke dalam ”spesies” merupakan bagian dari ketetapan penciptaan. Perpecahan ras umat manusia terjadi di Babel, dan merupakan hukuman Allah bagi manusia yang berhasrat untuk mendirikan [Menara] Babel yang merupakan kerajaan yang anti-Kristen.
Celakanya, Babel bukan hanya kekacauan bahasa, tetapi hal itu juga kekacauan pola ras, dengan segala keunikan fisik dan mental mereka. Itulah luka dari ’binatang’ di dalam kitab Wahyu 13:3, di mana hal itu mencegah realisasi munculnya Antikristus yang belum waktunya, yang belum terjadi berdasarkan tujuan dan rencana Allah. Tetapi saya menyebutkan hal ini nanti.
Kita harus mengenali bahwa perbedaan budaya memiliki perbedaan konsep akan pernikahan antar ras yang mungkin kita kira seperti di Barat. Di Timur, beberapa orang memikirkan sebuah pernikahan antara orang Cina dan orang Filipina adalah pernikahan antar ras; sedangkan yang lain tidak demikian. Beberapa orang memikirkan sebuah pernikahan antara orang yang berwarna dan orang kulit putih adalah pernikahan antar ras, bukan jikalau orang yang berwarna dengan orang kulit hitam atau kulit kuning, sedangkan orang lain mengira perkawianan orang kulit hitam dan putih adalah perkawinan antar ras, tetapi bukan perkawinan antara orang kulit kuning atau putih. Hal itu sendiri menyatakan sesuatu mengenai kebenaran atau kesalahan dari pernikahan antar ras: tidak ada seorang pun yang begitu yakin dengan makna dari pembahasan ini.
Tidak ada nats alkitabiah yang mengutuki pernikahan antar ras. Sebaliknya, ada individu-individu tertentu yang menikah dari ras yang berbeda di mana pernikahannya yang tidak dikutuk di dalam Kitab Suci. Saya mengacu pada anak-anak Yakub, contohnya. Semua anak-anaknya menikahi orang Kanaan, kecuali Yusuf yang menikahi orang Mesir. Pernikahan inilah, dalam pengertian, pernikahan antar ras adalah nyata dari kenyataan bahwa orang Kanaan adalah keturunan Ham, ketika kedua belas tua-tua diturunkan dari Sem; dan percabangan ras dari umat manusia di bumi mengikuti garis keturunan dari ketiga anak dari Nuh tersebut.
Selanjutnya, kita membaca bahwa Musa menikahi seorang perempuan Ethiopia: ”Miryam serta Harun mengatai Musa berkenaan dengan perempuan Kush yang diambilnya, sebab memang ia telah mengambil seorang perempuan Kush” (Bil. 12:1). Lalu, kaum Ethiopia hampir dipastikan dari Ham, sedangkan Musa lahir dari garis keturunan Sem. Allah menyetujuai pernikahan itu, karena Miryam dan Harus menuduh dengan kritikan mereka akan Musa. Benarlah, menurut Bilangan 12:2, Miryam dan Harun juga keberatan kepada posisi Musa sebagai pemimpin dari bangsa Israel itu: ”Sungguhkah TUHAN berfirman dengan perantaraan Musa saja? Bukankah dengan perantaraan kita juga Ia berfirman?” tetapi kedua keberatan dari Miryam dan Harun dibawa melawan Musa berkaitan satu dengan lainnya. Kita boleh dengan aman menyimpulkan bahwa persetujuan Allah membiarkan pernikahan Musa itu.
Persoalan yang sama juga terjadi dari keturunan Yakub. Bukan hanya mengenai masalah kaum perempuan Kanaan dan benih yang dijanjikan Abraham, tetapi juga masalah Tamar, menantu dari Yehuda, disatukan ke dalam garis nenek moyang dari Kristus (Mat. 1:3). Yusuf, yang menikahi orang Mesir, Asnat, menerima bagian hak sulung yang terdiri dari dua bagian dari harta milik ayahnya.
Hal ini mungkin menjadi masalah praktis yang melibatkan dalam pernikahan antar ras. Terdapat perbedaan yang penting antar ras tersebut. Perbedaan ini bukanlah hanya secara fisik (warna kulit, warna mata, ciri-ciri wajah, ukuran, dll), tetapi mereka juga adalah secara kejiwaan. Perbedaan-perbedaan antar ras begitu lugas dan sengit pada masalah ini. Cara orang Cina berpikir sangat berbeda dari cara berpikir orang Barat yang memungkinkan kesalahpahaman yang selalu terjadi pada masa kini.
Akibatnya adalah perbedaan-perbedaan ini membuat penyesuaian dalam kehidupan pernikahan menjadi lebih sulit. Cukuplah bagi seorang pria dan wanita untuk menyesuaikan kehidupan dalam hubungan yang paling intim dari semua hubungan-hubungan manusia. Tetapi ketika perbedaan ras ditambahkan, penyesuaiannya menjadi lebih sulit.
Tetapi, kesatuan dari satu jemaat di dalam Kristus melampaui segala perbedaan ras dan kebudayaan serta menyatukan bahkan mampu menyelesaikan segala macam perbedaan ikatan keluarga kovenan dari seorang pria dan seorang wanita. Pernikahan semacam itu dapat dan menjadi contoh dari pernikahan Kristus dan jemaat-Nya.
Banyak tuntutan bahwa pernikahan antar ras menempati beban lebih pada seorang pria dan seorang wanita, karena hal itu secara sosial tidak dapat diterima di banyak belahan dunia. Apa pun halnya mungkin benar, dan hal itu tentunya bercirikan dari banyak budaya dan khususnya di Amerika Serikat, daya penerimaan sosial masih kurang dan belum tampak. Orang Kristen yang berjalan menurut prinsip-prinsip kerajaan sorga selalu tidak dapat diterima secara sosial, dan dia akan menjadi bertambah terbeban.
Beberapa orang berkata bahwa mereka tidak menginginkan anak-anak mereka untuk menikah dengan mereka yang berlainan ras. Saya dapat mengerti hal ini dan saya benar-benar sadar akan persoalan-persoalan yang ditimbulkan. Tetapi hal itu lebih baik bagi seorang pria dan seorang wanita yang memang adalah saudara-saudari dalam Kristus untuk menikah sekalipun terbentur masalah sosial, daripada anak-anak dari orangtua yang percaya bersama dengan anak-anak yang belum percaya. Yang jikalau demikian hal itu akan menjadi masalah yang benar-benar lebih sulit lagi.
Untuk bahan-bahan lain dalam bahasa Indonesia, klik di sini.