Prof. Herman Hanko
Pertanyaan: “Di dalam Lukas 9:2, Kristus mengutus para murid-Nya untuk memberitakan tentang kerajaan Allah, tetapi di dalam beberapa ayat kemudian Ia berkata, ‘Jangan memberitahukan hal itu kepada siapapun,’ yaitu bahwa Ia adalah Kristus. Bagaimana Anda menyelaraskan pemberitaan tentang kerajaan tanpa memberitahukan kepada orang banyak siapakah Sang Raja? Apakah ini persoalan tentang memberi tahu mereka untuk bertobat dan memercayai Mesias yang akan datang tanpa secara aktual mengidentifikasikan siapa Mesias itu?”
Perikop yang dirujuk berbunyi demikian: “Dan Ia mengutus mereka untuk memberitakan Kerajaan Allah dan untuk menyembuhkan orang” (ay. 2).
Saya kurang jelas mengenai perikop mana yang dirujuk oleh si penanya ketika ia menambahkan, “... tetapi di dalam beberapa ayat kemudian Ia berkata, ‘Jangan memberitahukan hal itu kepada siapapun,’ yaitu bahwa Ia adalah Kristus.” Perikop yang paling dekat yang bisa saya jumpai sebagai rujukan tersebut adalah Lukas 9:21. Perintah Yesus di sini diberikan di dalam keadaan yang sama sekali berbeda. Yesus dan para murid-Nya berada di Kaisarea Filipi; Yesus bertanya kepada para murid, “Kata orang banyak, siapakah Aku ini?” (ay. 18). Ketika para murid memberi tahu Dia bahwa ada orang-orang yang berpikir bahwa Ia adalah Yohanes Pembaptis atau Elia atau seorang nabi yang telah bangkit (ay. 19), Yesus bertanya lagi kepada mereka, “Menurut kamu, siapakah Aku ini?” Terhadap pertanyaan ini Petrus memberikan pengakuan iman yang krusial sebagai juru bicara para murid: “Mesias dari Allah” (ay. 20).
Berkaitan dengan jawaban itulah Yesus “melarang mereka dengan keras, supaya mereka jangan memberitahukan hal itu kepada siapapun” (ay. 21). Tetapi Yesus sendiri menjelaskan alasan bagi perintah ini: “Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga” (ay. 22).
Dengan kata lain, Yesus tidak ingin para murid memberi tahu orang lain tentang siapa Dia karena waktu bagi penderitaan dan kematian-Nya belum tiba. Yesus tahu bahwa akhir dari pelayanan-Nya di dunia adalah di Golgota dan bahwa Ia akan mati bagi dosa-dosa umat-Nya, tetapi Ia juga tahu kapan waktunya. Waktu itu, seperti yang sering Yesus ungkapkan, adalah “saat”-Nya. Adalah mustahil bahwa Ia mati sebelum waktu itu.
Selain itu, alasan yang menjadi dasar bagi orang Yahudi untuk membunuh-Nya justru tepatnya adalah klaim-Nya bahwa Ia memang seperti yang diakui oleh Petrus. Meskipun Yesus memegang kendali yang berdaulat atas segala sesuatu, termasuk waktu kematian-Nya, Ia tidak ingin memprovokasi orang Yahudi dengan klaim khusus-Nya sebagai Kristus, Anak Allah yang hidup. Ketika tiba waktu untuk menegaskan hal tersebut di hadapan Sanhedrin, Yesus dengan tegas mengakui bahwa Ia memang adalah Kristus, Anak Allah yang kekal (Mat. 26:63-64). Tetapi Ia belum bisa menyatakan itu di hadapan umum dan dari bibir-Nya sendiri, karena itu hanya akan menggusarkan orang Yahudi dan menyebabkan mereka menangkap dan membunuh Dia sebelum “saat”-Nya tiba, jika mereka bisa.
Sudah pasti orang Yahudi mencurigai bahwa Ia adalah Sang Mesias, Anak Allah sendiri, tetapi mereka janganlah sampai diprovokasi secara tidak perlu oleh klaim Yesus sendiri.
Sekilas kita bisa memperhatikan bahwa pengakuan iman Petrus adalah inti dari isu antara Yesus dan orang Yahudi yang tidak percaya. Mereka tidak bermasalah dengan Kristus ketika Ia menggunakan nama Yesus. Mereka bahkan bisa menoleransi mujizat-mujizat-Nya – jika mujizat-mujizat tersebut tidak menyebabkan Dia mendapat dukungan dari orang banyak dan merebut kehormatan yang menurut para pemimpin fasik itu adalah hak mereka. Tetapi, ketika Yesus bersikeras bahwa mujizat-mujizat, perbuatan-perbuatan, dan perkataan-Nya menyatakan bahwa diri-Nya adalah Dia yang diutus oleh Bapa, mereka mempermasalahkan itu dengan-Nya. Mereka sangat mengetahui bahwa menjadi Mesias yang dijanjikan, yaitu Kristus, juga berarti bahwa Ia adalah Anak Allah.
Tetapi saya belum sepenuhnya menjawab pertanyaan di atas. Saya percaya bahwa pertanyaan itu merujuk secara tidak langsung kepada fakta bahwa Kitab Suci mencatat perintah-perintah yang ganjil dan tidak terduga dari Yesus kepada orang-orang yang menerima perbuatan mujizat-Nya bahwa mereka tidak boleh menceritakannya kepada siapa pun. Mengapa tidak?
Para penafsir dan mereka yang mempelajari Kitab Suci telah memperdebatkan jawaban bagi pertanyaan ini selama bertahun-tahun. Mungkin tidak ada jawaban yang mudah. Di dalam banyak kesempatan, orang-orang yang diperintahkan seperti itu tetap pergi keluar dan menyebarkan berita tentang apa yang telah Yesus perbuat bagi mereka. Di dalam kesempatan-kesempatan lainnya, Yesus justru secara khusus memerintahkan mereka yang menerima perbuatan mujizat-Nya untuk menyebarkan kejadian itu (Mrk. 5:18-20).
Menurut saya, Yesus memerintahkan kepada orang-orang untuk tidak menceritakan tentang siapa diri-Nya dan apa yang telah Ia perbuat, karena banyak orang, bahkan mereka yang mengalami mujizat kesembuhan, tidak memahami makna yang sesungguhnya dari mujizat itu dan tidak memahami karya Kristus di dalam mendirikan kerajaan-Nya. Bahkan para murid, setelah kebangkitan, masih salah memahami tentang natur kerajaan Kristus. Mereka terus berpikir tentang kerajaan duniawi – yang menyerupai kaum postmilenialis pada saat ini (Kis. 1:6). Jika para murid tidak paham sampai setelah Pentakosta, kita hampir tidak bisa mengharapkan orang-orang itu untuk memahaminya sebelum Pentakosta.
Maka Yesus, yang mengetahui bahwa orang-orang akan menyebarkan konsepsi yang keliru mengenai kerajaan Allah, memerintahkan mereka untuk tidak bercerita tentang itu agar mereka tidak mengembangkan ide-ide yang salah.
Pemberitaan Yesus bahwa kerajaan sudah dekat bisa dilakukan dengan sangat baik tanpa perlu masuk ke dalam deskripsi yang mendetail tentang natur dari kerajaan itu, khususnya bahwa kerajaan itu bersifat sorgawi. Natur yang sebenarnya dari kerajaan itu akan dibuat jelas setelah Pentakosta ketika Roh dicurahkan.
Bagi saya, tampaknya orang-orang memang tahu bahwa Yesus adalah Raja dari kerajaan yang Ia beritakan. Masuknya Yesus ke Yerusalem dengan berkemenangan merupakan buktinya. Tetapi natur dari kerajaan itu belum dipahami sepenuhnya, bahkan tidak pula oleh para murid. Jika orang-orang ingin berbicara kepada orang lain mengenai mujizat-mujizat yang telah diperbuat atas diri mereka, dan mengaitkan mujizat itu dengan fakta bahwa kerajaan sudah dekat, maka adalah lebih baik jika mereka tidak melakukannya daripada memberikan ide yang tidak tepat tentang kerajaan itu.
Untuk bahan-bahan lain dalam bahasa Indonesia, klik di sini.