Brian D. Dykstra, guru di Sekolah Hope P.R. Christian
Karya Martin Luther, Open Letter to the Christian Nobility of the German Nation Concerning the Reform of the Christian Estate merupakan karya yang menarik dan berkuasa serta panjang. Luther menuliskan surat ini tahun 1520, baru 3 tahun setelah mewartakan 95 Dalilnya. Surat Luther dapat ditemukan di situs jejaring dari Project Wittenberg, di mana halaman utamanya dituliskan “merupakan tempat bagi karya dan mengenai Martin Luther serta kaum penganut Luther”. Project Wittenberg telah membagi Surat Terbuka (Open Letter) ini ke dalam tujuh bagian (Jika ada di antara anda yang ingin menyalin surat Luther tersebut, alamat web pada bagian pertama itu adalah www.iclnet.org/pub/resources/text /wittenberg/luther/web/nblty-01.html. saya akan yakin bahwa setiap orang tertarik pada surat tersebut secara terperinci akan mampu menemukannya dari web itu).
Bagian ketujuh, yang tidak begitu panjang, merupakan pengantar dari penerjemah, dua sampul surat dari Luther, "The Three Walls of the Romanists" di mana Luther menunjukan bagaimana kaum [Katolik] Roma, seperti yang dia sebutkan mengenai mereka, telah membuat tiga tembok mengelilingi diri mereka sehingga “tidak ada seorang pun mampu untuk mereformasi mereka”, “Abuses to be Discussed in Councils”, dan tiga bagian yang terpisah berisi 27 karya Luther "Proposals for Reform".
Perlakuan Luther akan pendidikan mencakup suatu bagian pendek pada surat ini secara relatif. Bagaimanapun, sebelum membahas apa yang Luther tuliskan mengenai pendidikan, kita akan mendapat manfaat dari secercah situasi yang dihadapi oleh Luther. Apresiasi kita bagi karya Luther akan lebih mendalam ketika kita mulai memahami kondisi gereja [Katolik] Roma yang mengerikan.
Saat kajian sejarah menjadi terlalu akademis, saat kajian itu memusatkan lembagalembaga atau personalitas utama secara eksklusif terlibat, kita kehilangan beberapa pelajaran yang paling penting dan menarik yang harus diajarkan kita sebagai umat Kristen. Saat kita mengingat bahwa orang biasa di dalam gereja Allah harus hidup menghidupi mereka pada masa ini, kita memahami lebih baik kesulitan-kesulitan rohani yang mereka hadapi. Bayangkanlah keputus-asaan umat Allah terjadi jika mereka benarbenar perduli mengenai Firman Allah dan gereja-Nya dan kemudian menyaksikan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh pemimpin-pemimpin [Katolik] Roma yang tidak beriman! Kaum awam yang mengetahui sesuatu mengenai Alkitab harus merasa tidak bertenaga dan tak tertolong untuk membawa perubahaan yang dibutuhkan. Apa yang dapat mereka lakukan?
Pena tajam Luther menyinarkan terang kebenaran Allah pada beberapa praktik Katolik Roma yang sesat dan berdosa. Hal itu menggetarkan untuk membaca betapa sesatnya yang diakibatkan oleh korupsi yang dijabat oleh pejabat di dalam Gereja [Katolik] Roma atas kehidupan orang-orang. Reformasi bukanlah suatu perdebatan akadamis atas beberapa pokok doktrin yang lebih baik. Reformasi merupakan kesalehan yang dihidupi. Jika ada orang membutuhkan bukti bahwa doktrin dan kesalehan yang benar-benar saleh dihubungkan secara intim, beberapa bagian dari Open Letter, karya Luther menyediakan hal itu.
Keinginan Luther di tahun 1517 adalah suatu reformasi dari Gereja Katolik Roma. Dia mengharapkan suatu pengembalian kepada kebenaran alkitabiah. Surat ini ditulis baru 3 tahun kemudian, menunjukkan bahwa Luther telah menyadari bahwa perpecahannya dengan [Katolik] Roma telah selesai. Luther tidak dapat menulis tuduhan-tuduhan yang merugikan semacam itu terhadap paus dan mengharapkan dapat diambil tindakan yang berarti.
Marilah kita memperhatikan beberapa masalah yang Luther ajukan untuk direformasi, satu masalah praktik gereja, yakni menciumi kaki paus, dan kesesatan yang lain, yakni melarang imam-imam untuk menikah. Selagi kita membahas hal ini, tanyakanlah dirimu bagaimana kamu dan anak-anakmu akan tumbuh secara kerohanian di dalam gereja yang dapat dituduhkan secara benar akan praktik dan kesesatan yang salah sedemikian. Ingatlah bahwa hal ini merupakan lembaga yang sama di mana anak-anakmu mungkin dididik.
Inilah paragraf pertama dari proposal kesebelas Luther:
Penciuman kaki paus seharusnya tidak boleh terjadi lagi. Hal itu bukanlah cara kristen, suatu hal yang bukan Kristen bagi orang berdosa yang malang untuk membiarkan kakinya dicium oleh seorang yang lebih baik ratusan kali mungkin lebih baik daripadanya. Jika hal ini dilakukan untuk menghargai otoritasnya, mengapa hal itu tidak dilakukan paus untuk menghargai orang-orang kudus mereka yang lain? Bandingkan dua orang ini—Kristus dan paus! Yoh. 13:1dst., Kristus membasuh kaki murid-muridnya dan mengeringkan kaki-kaki itu, dan murid-muridnya tidak pernah membasuh kaki-Nya; paus, seakan-akan dia lebih tinggi dari Kristus, membalikan hal-hal ini dan, seakan atas perkenanan-Nya yang mulia, memperbolehkan umatnya untuk mencium kakinya, yang sebaliknya seharusnya menggunakan segala upayanya untuk mencegah hal itu, jika orang-orang menginginkan hal itul seperti Paulus dan Barnabas, yang tidak akan membiarkan orang-orang Listra untuk menerima sembah mereka sebagai penghargaan ilahi, tetapi mengatakan dalam Kis. 14:11-16, “Kami ini manusia biasa sama seperti kamu”. Tetapi orang-orang gila kita ini telah melampaui hingga membuat kita seorang berhala, dan kini tidak ada seorang pun yang takut akan Allah sebesar dia takut akan paus, tidak ada seorang pun yang menyembah Dia dengan upacara penghargaan semacam itu. Malahan mereka bisa betah demikian! Apa yang tidak dapat mereka pertahankan adalah suatu untaian tipis yang seharusnya dienyahkan dari status kebanggaan paus. Kini jika mereka adalah kaum Kristen, dan mempertahankan kehormatan Allah di atas mereka yakni, kepemilikan mereka, paus tersebut tidak akan menjadi gembira ketika ia mengetahui bahwa kehormatan Allah dan kehormatannya sendiri dibuang, dan dia tidak akan membiarkan seorang pun untuk memberikan penghormatan hingga dia melihat bahwa kehormatan Allah ditinggikan lagi dan lebih besar daripada kehormatannya sendiri. Proposal Luther yang keempat belas bertuliskan panjang, beberapa halaman yang panjang. Dalam hal ini, dia mengajukan bahwa kaum pendeta seharusnya diizinkan untuk menikah. Luther menegaskan,
Pertama, tidak setiap pendeta dapat melakukan hal itu tanpa seorang wanita, bukan hanya menjelaskan kelemahan daging, namun lebih dari itu karena keperluan dari rumah tangga. Lalu seandainya dia boleh mendapatkan seorang wanita, biarlah paus menganugerahkannya, namun ia tidak memperolehnya di dalam pernikahan—apakah itu, malahan membuat seorang laki-laki dan perempuan sendirian dan melarang mereka untuk jatuh [dalam dosa]? Hal itu seolah-olah kita meletakan api dan jerami secara bersamaan dan memerintahkan bahwa hal itu tidak akan berasap atau terbakar.
Kedua, paus memiliki sedikit kekuasaan untuk memerintahkan hal ini, di mana dia harus melarang untuk makan, minum, perkembangan perut secara natural atau menjadi gemuk. Karenanya tidak seorang pun terikat untuk mempertahankan hal itu, tetapi paus bertanggung jawab untuk semua dosa yang diperbuat melawan peraturan ini, karena semua jiwa yang terhilang tersebut, karena semua konsekuensi yang dibingungkan dan dianiaya tersebut; dan karenanya dia telah sangat rindu agar seseorang seharusnya menyeret dia keluar dari dunia ini, begitu banyak jiwa yang jahat yang telah dia cekik dengan nafas iblisnya; meskipun saya harap ada banyak orang yang Allah berikan belas kasih-Nya ketimbang yang telah dilakukan paus dalam hidup mereka. Tidak suatu yang baik yang telah keluar dari kepausan dan hukum-hukumnya, atau pun yang akan datang.
Luther merasa tidak ada desakan untuk membasuh kedua tangannya sebelum dia menggoreskan penanya untuk menulis korupsi-korupsi dari gereja Roma. Hal ini adalah sedikit contoh dari gaya Luther yang berkuasa dan tajam. Terdapat banyak contoh lagi di mana Luther melawan kesalahan serius lainnya dengan buas dalam doktrin dan praktik Roma. Betapapun demikian, ketika hal itu diperuntukkan bagi pendidikan, Luther menuliskan ”... tidak ada karya yang lebih layak dari paus dan kaisar ketimbang suatu reformasi yang menyeluruh dari universitas…” pendidikan anak-anak Kristen adalah pendidikan yang penting baginya. Kita akan membahas proposal Luther mengenai pendidikan Kristen lain waktu (D.V.).
Waktu lalu, kita membahas praktik dan ajaran sesat dari gereja Roma untuk memahami lebih baik tantangan besar yang dihadapi oleh Martin Luther dalam pertarungannya dengan gereja yang telah berkorupsi sampai beberapa lama. Surat Terbuka Luther tahun 1520, berisi 27 proposal untuk mereformasi. Proposal yang ke-27 dimulai dengan kalimat, ”universitas juga membutuhkan suatu reformasi yang baik dan menyeluruh—saya harus mengatakan hal itu tidak perduli mereka yang terdesak—sebab segala sesuatu yang dilembagakan dan ditata oleh kepausan hanya mengarahkan kepada penambahan dosa dan kesalahan”.
Perhatikanlah bahwa apa yang Luther usulkan “sebuah reformasi dari universitas (perguruan tinggi). Luther tidak membuat semacam proposal mengenai banyaknya masalah lain yang dia amati di dalam gereja Roma. Terdapat banyak contoh di mana Luther mengamati korupsi dan ketidaksalehan yang mengerikan dari [Katolik] Roma dan menyerukan penyingkirkan praktik-praktik yang tidak kristiani dan pengajaranpengajaran yang tidak alkitabiah. Bagaimanapun, di universitas, kekurangan tersebut begitu memilukan seperti yang kita akan lihat, dia menyerukan reformasi yang menyeluruh, bukan penghapusan.
Inilah Surat Terbukanya, Luther tidak memberitahukan bangsawan Jerman bahwa tidaklah perlu bagi para warga untuk mendapatkan pendidikan di abad-16. Luther tidak menegasan bahwa rakyat Jerman sebagai kesatuan atau kaum Kristen secara partikular akan lebih baik melayani jika mereka meninggalkan kota atau perkampungan dan kembali kepada gaya hidup pertanian yang tidak akan membutuhkan ranah keilmuan. Luther tidak menghardik orang Kristen untuk meletakan buku-buku mereka dan mengambil bajak. Luther juga tidak menginginkan universitas menjadi kelaparan akan mahasiswa maka pintu-pintu dipaksa tertutup (gulung tikar) karana tidak lagi ada minat belajar. Dia menilai pendidikan dan karenanya menuntut supaya [Katolik] Roma tidak lagi mengurusi pendidikan anak muda Kristen orang Jerman.
Marilah kita menyimak survei pendidikan singkat di masa Abad Pertengahan untuk memahami dengan tepat apa yang dipercaya Luther, membutuhkan reformasi. Saya memungut sedikit informasi mengenai pendidikan tepat sebelum Reformasi dari dua sumber. Sumber pertama adalah A Textbook in the History of Modern Elementary Education (Ginn and Company, 1912) oleh Samuel Chester Parker, yang adalah Rekanan Profesor Pendidikan dan Dekan dari Kolese Pendidikan dari Universitas Chicago. Kedua, dan menurut pendapatku merupakan buku yang lebih dapat dibaca, adalah Luther on Education (Lutheran Publication Society, 1889) oleh Franklin Verzelius Newton Painter, profesor bahasa modern di Kolese Roanoke. Saya tidak melihat alasan untuk menghina tulisan-tulisan itu dengan tanggal hak cipta yang lama, jika buku-buku tersebut menyediakan informasi yang diinginkan dan ditulis dengan baik. Buku yang baik adalah tetap buku yang baik, meskipun buku itu tua. (jika kamu ingin, buku-buku ini dapat diuduh secara online dari www.books.google.com.)
Pendidikan pada segala tingkatan selama Abad Pertengahan ada di bawah kendali [Katolik] Roma. Hal ini tidak dapat menjadi harapan yang cerah dari keinginan Luther untuk mereformasi sekolah. ”Gereja Katolik menyediakan satu-satunya pendidikan yang tersedia selama sebagian besar Abad Pertengahan. Supaya pendidikan ini boleh tersedia menjadi ortodoks, Gereja tersebut menuntut monopoli dalam pengajaran, dan tidak mengizinkan pihak yang lain untuk mengajar (baik di dalam sekolah dasar atau lanjutan atau di dalam universitas) tanpa sangsi langsung dari petugas resmi katedral” (Parker, hal. 25-26).
Sekolah-sekolah di Abad Pertengahan dapat dibagi menjadi dua kategori. Terdapat sekolah-sekolah di mana bahasa pengantarnya menggunakan bahasa setempat. Sekolah bahasa setempat bukanlah tuntutan yang mulia kecuali untuk pusat komersial. Bisnis dan perdagangan membutuhkan orang yang terdidik untuk dapat membaca, menulis dan berhitung yang dipergunakan untuk perdagangan. Bagaimanapun, ketika Reformasi berkembang, rakyat menempatkan nilai yang lebih besar pada sekolah-sekolah bahasa setempat karena tujuan pendidikan Reformasi adalah agar anak-anak dapat membaca Alkitab di dalam bahasa mereka sendiri.
Terdapat juga sekolah berbahasa pengantar Latin dan klasik (terj. Ibrani dan Yunani). Sebagaimana yang tersirat pada namanya, pendidikan di dalam sekolah-sekolah ini adalah bahasa Latin. Latin dipandang sebagai bahasa untuk kaum terdidik yang sejati. Pembacaan yang layak apa pun dituliskan di dalam bahasa Latin, dan Latin telah menjadi bahasa dari gereja Roma selama bertahun-tahun. Pada waktu itu, tidak terdapat literatur yang cukup di dalam bahasa setempat untuk menjamin kajian apa pun. Pejabat resmi dihubungkan dengan sekolah Latin yang memandang lembaga mereka lebih unggul dibandingkan sekolah setempat.
Parker membagi sekolah Latin dalam 5 tipe. Sekolah Episkopal atau Katedral melatih murid-murid yang rohani. Sekolah-sekolah Kebiaraan (Monastik) adalah bagi mereka yang mempersiapkan diri untuk menjadi kaum biarawan. Sekolah Serikat Buruh, berlawanan dengan implikasi namanya, bukan untuk melatih berbagai tipe dari pekerja yang terampil, tetapi untuk memerintah komunitas dan melakukan semacam pekerjaan yang mempersiapkan makanan bagi orang miskin. Sekolah serikat kerja dinamakan hal itu karena mereka sering didukung oleh serikat kerja lokal. Rakyat juga mendukung sekolah Pelatihan Paduan Suara di mana kaum pendeta akan menaikkan doa yang dilantunkan kepada orang mati. Rumah Sedekah disediakan untuk meringankan orang miskin dan sering mengatur sekolah-sekolah pada pengajaran dalam bahasa Latin.
Universitas adalah pendidikan yang lebih tinggi diadakan untuk mendidik bidang studi seperti hukum, pengobatan, theologi, hukum kanon (hukum yang mengatur perilaku dari rohaniwan Roma, dan untuk hal itu Luther memiliki pendapat yang kuat), tata bahasa, logika, musik, fisika, dll. ”Kebanyakan universitas juga mengatur fakultas seni, di mana murid-murid yang lebih muda dilatih di dalam ranah seni (tata bahasa, retorika, logika, musik, fisika, metafisika, psikologi, etika, politik, matematika) baik sebagai persiapan bagi studi profesional yang lebih tinggi atau sebagai dasar dari pendidikan umum” (Parker, hal. 16).
Parker mengatakan mengenai tujuan sekolah saat itu. ”sekolah adalah kebanyakan selektif dengan tujuan, yakni, tidak dimaksudkan untuk melatih orang banyak tetapi untuk memilih dan melatih mereka yang adalah pemimpin-pemimpin di dalam kehidupan agamawi” (hal. 13). Painter menyatakan, “Gereja menganggap pendidikan sebagai satusatunya fungsi yang eksklusif, dan di bawah arahannya hampir segala pendidikan memiliki suatu sifat gerejawi. Kajian sekuler secara murni dari trivium—tata bahasa, retorika, dan dialektika—dan dari quadrivium—musik, aritmatika, geometri, dan astronomi—terutama dikejar demi kepentingan Gereja” (hal. 77).
Painter lalu berkata, “fakta yang dapat diperhatikan dan disesali di dalam pengaturan pendidikan dari Abad Pertengahan adalah pengabaian dari orang awam. Tidak ada usaha umum yang dibuat untuk mencapai dan mengangkat mereka dengan pendidikan. Sekolah-sekolah gerejawi dirancang terutama bagi calon-calon kependetaan; sekolahsekolah paroki sesuai dengan kaum muda untuk keanggotaan Gereja; sekolah-sekolah warga menengah yang dimaksudkan untuk kelas kesenian dan perdagangan; pendidikan kewiraan memberikan suatu latihan bagi kesatriaan. Lalu kelas-kelas perburuhan ditinggalkan dalam kemelut pengabaian dan kekurangan; mereka tetap di dalam kondisi yang bergantung dan tertunduk, kehidupan mereka tidak dicerahkan oleh kenikmatan intelektual. Sebagimana yang diakui oleh para penulis Katolik Roma. jika di mana-mana sekolah-sekolah populer didirikan, sekolah-sekolah itu terlalu sedikit dan redup dalam pengaruhnya untuk layak disebutkan. Pendidikan popular kini tumbuh berkembang saat Reformasi” (hal. 86-87).
Ketika Reformasi telah mulai tercabut akarnya, Philip Melancthon, theolog Jerman dan teman dekat Luther, menuliskan hal ini setelah dia diperintahkan untuk mengunjungi berbagai gereja dan sekolah di belahan Jerman, ”apa yang dapat ditawarkan di dalam pembenaran, di mana orang-orang miskin ini kini telah ditinggalkan dalam pengabaian dan kebodohan? Hatiku terluka ketika saya memikirkan kesengsaraan ini. Sering ketika kami telah menyelesaikan mengunjungi suatu tempat, saya pergi ke sudut kota dan mencurahkan diri kepada ratap tangis. Dan siapa yang tidak akan berduka ketika melihat kesulitan manusia yang benar-benar diabaikan, dan di mana jiwanya itu mampu untuk belajar dan memahami lebih banyak, tetapi hal itu bahkan tidak mengenal apa-apa mengenai Penciptanya dan Tuhannya?” (Painter, hal. 87-88). Hal demikian merupakan konsekuensi dari sistem pendidikan yang disediakan oleh dan untuk [Katolik] Roma.
Luther menulis proposal ke-25-nya, “Apakah sisi lain dari universitas-universitas itu, jika keadaan mereka tetap tidak berubah, seperti kitab Makabe katakan, 2Mak. 4:9,12: ’tempatkan anak-anak muda untuk dilatih demi kemuliaan Yunani’, menjadi kehidupan yang remeh, Kitab Suci dan iman Kristen sedikit diajarkan, selain peraturan guru Aristoteles yang buta dan kafir, bahkan diajarkan melebihi ajaran Kristus”.
Bulan lalu kita telah melihat sekilas kondisi dari gereja Roma dengan memperhatikan praktik yang tidak alkitabiah mengenai mencium kaki Paus dan ajaran yang salah yang tidak memperbolehkan para iman untuk menikah. Kini kita sadar akan sistem pendidikan yang ditemukan dan dijalankan oleh gereja Roma. Apakah kita menghargai sekolahsekolah Kristen Reformed kita yang baik, sekalipun hal itu belum sempurna? Sebagaimana perkiraan ekonomi meneruskan untuk memprediksi langit yang kelabu dan sayu, apakah sekolah-sekolah kita layak mendapat usaha terbaik kita? Apakah kita bersyukur kepada Allah akan apa yang telah Dia sediakan bagi kita dan anak-anak kovenan kita (’kovenan’ mungkin adalah sekolah di mana guru ini mengajar—pen.)?
Waktu lalu, kita melihat sekilas pendidikan di Abad Pertangahan untuk memahami tantangan yang Luther hadapi di dalam proposalnya untuk mereformasi sistem pendidikan yang dimonopoli oleh gereja Roma. Di dalam proposal yang ke-25 dari 27 proposal, Luther menuliskan, “Apakah sisi lain dari universitas-universitas itu, jika keadaan mereka tetap tidak berubah, seperti kitab Makabe katakan, 2Mak. 4:9,12: ’tempatkan anak-anak muda untuk dilatih demi kemuliaan Yunani’, menjadi kehidupan yang remeh, Kitab Suci dan iman Kristen sedikit diajarkan, selain peraturan guru Aristoteles yang buta dan kafir, bahkan diajarkan melebihi ajaran Kristus”.
Bulan ini kita akan melihat apa yang Luther katakan mengenai posisi Aristoteles yang dominan yang diyakini di dalam pendidikan dan hidup bebas pada universitas di mana Luther menyebutkan hanya secara singkat. Hal-hal ini adalah 2 persoalan utama yang Luther inginkan untuk ditiadakan dari universitas. Bagian yang penting lainnya dari proposal ke-25, di mana saya tidak akan menghamburkan banyak waktu, merupakan hasratnya untuk ”menghapuskan” studi dari Canon Law, hukum yang mengatur perilaku rohaniwan. Lain waktu (D.V.) kita akan melihat apa yang Luther inginkan untuk diperkenalkan di dalam universitas.
Aristoteles (384–322 BC) adalah filsuf terkenal dari Yunani kuno. Dia adalah murid dari Plato, filsuf terkenal dari Yunani, dan guru dari Aleksander Agung. Aristoteles menulis banyak buku dengan beragam bidang pelajaran yang luas. Murid-murid dalam sekolahsekolah Roma [Katolik] selama Abad Pertengahan menginvestasikan banyak waktu dan tenaga untuk mempelajari Aristoteles, karena pihak Roma [Katolik] begitu menghormati dia. Sebuah artikel yang ditulis oleh J. J. O’Connor and E. F. Robertson mengatakan pentingnya Aristoteles, “Aristoteles, melebihi pemikir lainnya, menentukan orientasi dan isi sejarah intelektual di Barat. Dia adalah penulis sistem filsafat dan ilmu pengetahuan sepanjang abad menjadi dukungan dan motor bagi baik pemikiran skolastik Kristen dan Islam yang bercorak medieval: hingga akhir dari abad ke-17, budaya Barat adalah bercorak Aristotelian. Dan bahkan setelah revolusi intelektual di abad-abad selanjutnya, konsep dan ide Aristoteles tetap menyatu di dalam pemikiran Barat”. Pengaruh Aristoteles pada budaya Barat, begitu besar dulu dan kini, mungkin bahkan menjadi lebih besar, jika kaum muslim tidak menghancurkan perpustakaan agung di Aleksandria yang berisi koleksi yang bergitu banyak dari tulisan-tulisan kuno.
Sebagimana anda membaca kutipan dari Surat Terbuka dari Luther berikut ini, ingatlah bahwa Luther menyampaikan bagian utama apa dari jalur kajian di dalam sekolah Roma [Katolik]. Anak-anak muda yang menghabiskan waktunya untuk menguasai buku-buku semacam itu ditumbuhkan bagi posisi-posisi kepemimpinan di dalam gereja. Ide-ide Aristoteles tidak dianggap sebagai ajaran yang sesat yang harus dilawan. Pengajaran mereka menegaskan bahwa buku-buku Aristoteles berisi kebenaran.
Dari buku-buku Aristoteles yang paling banyak dipelajari, Luther berkata, ”dalam hal ini, menurut nasihatku, buku Physics, Metaphysics, On the Soul, Ethics dari Aristoteles, yang telah dikira sebagai buku-bukunya yang terbaik, seharusnya dibuang semuanya, bersama dengan semua buku-bukunya yang lain, di mana hal-hal ini menekankan pembahasan akan perihal alam atau Roh. Lagipula tidak ada seorang pun sejauh ini yang mengartikan maknanya, dan banyak jiwa telah dibebani dengan kerja keras dan belajar sesuatu yang tidak menguntungkan, mengorbankan banyak waktu yang berharga. Saya berani mengatakan bahwa penjunan memiliki pengetahuan alam yang lebih dibandingkan menulis buku-buku ini. Sungguh memilukan hatiku karena hal yang terkutuk, tertipu, orang kafir yang jahat ini memiliki kata-kata salah yang menipu dan memperolok begitu banyak orang Kristen yang terbaik. Allah telah mengirimkannya sebagai wabah atas kita oleh sebab dosa kita”.
Kemudian Luther memberikan beberapa kritik yang terperinci mengenai karya-karya Aristoteles. Dia melanjutkan, ”orang yang cela ini, kenapa di dalam buku terbaiknya, On the Soul, mengajarkan bahwa jiwa mati bersama tubuhnya, meskipun banyak cara telah dicoba dengan kata-kata yang sia-sia untuk menyelamatkan reputasinya. Sedangkan hal itu tidak sama seperti dalam Kitab Suci, yang begitu banyak mengajarkan mengenai halhal itu, sebaliknya hal-hal itu tidak dirasakan sedikit pun oleh Aristoteles! Karena itu orang kafir yang sudah mati ini telah menaklukan dan menghalangi dan hampir menindas buku-buku dari Allah yang hidup, maka ketika saya berpikir mengenai perkara yang menyedihkan ini, saya tidak dapat percaya apa pun selain bahwa roh jahat telah memperkenalkan kajian Aristoteles. Juga, bukunya Ethics adalah buku yang terburuk dari semua buku. Hal ini benar-benar melawan anugerah ilahi dan kebajikan semua orang Kristen, tetapi hal ini dianggap sebagai karyanya yang terbaik. Jauhkanlah buku-buku itu! Enyahkanlah buku-buku itu dari semua orang Kristen!”
Luther mengakhiri pembahasannya mengenai Aristoteles dengan hal ini, “Saya seharusnya gembira melihat buku-buku Aristoteles mengenai Logic, Rhetoric dan Poetics dipertahankan atau digunakan di dalam bentuk yang tidak diringkas sebagai buku-buku wajib bagi pelatihan yang lebih menguntungkan dari anak muda dalam berbicara dan berkhotbah.
Penggunaan buku-buku wajib dan pengajaran semacam itu terus digunakan. Kolese dan universitas kita meneruskan untuk melakukan hal yang sama dengan pengajaran itu hari ini. Mereka mempelajari bahan-bahan tersebut di dalam kelas, membaca teks-teks itu, dan menyampaikan instruksi melalui ”saringan Reformed”, yang telah mereka dapatkan di sekolah-sekolah Kristen kita pada masa mereka untuk mempertahankan apa yang dapat menjadi manfaat bagi suatu kehidupan yang saleh.
Kita menggunakan tulisan-tulisan yang tidak saleh untuk kajian di dalam sekolah-sekolah kita. Teori evolusi mendominasi budaya dan pemikiran saat ini sebanyak apa yang Aristoteles pernah lakukan. Dominasi evolusi sangat mudah dilihat di dalam buku wajib belajar dari ilmu pengetahuan, sejarah dan sosial saat ini. Saya memercayai hal itu baik untuk menyatakan kepada murid-murid kita pada dominasi wawasa dunia dan hidup secara sosial. Anak-anak kita dapat lebih efektif bertarung kebohongan ini ketika mereka memahami hal ini.
Luther tidak memberikan rincian mengenai “kehidupan yang bebas” yang berlaku di dalam universitas di dalam proposal yang ke-25 ini. Meskipun begitu, terdapat petunjuk mengenai persoalan yang sulit ini pada bagian Surat Terbukanya nanti.
Luther meratapi, “yang akan datang akan terjadi penyalahgunaan makanan dan minuman yang memberikan kita sebagai kaum Jerman memiliki reputasi yang buruk di tanah asing, seolah-olah hal itu merupakan perbuatan jahat khusus kita. Berkhotbah tidak dapat menghentikannya; hal itu sudah menjadi terlalu umum, dan telah begitu mengungguli. Menghabiskan uang yang disebabkan hal itu akan menjadi hal yang remeh, adakah hal itu diikuti oleh dosa-dosa yang lain—membunuh, perzinahan, pencurian, ketidak-takziman dan segala perbuatan jahat”. Betapa diterimanya dosa-dosa semacam ini di dalam kehidupan universitas? Kejahatan masyarakat tidaklah direndahkan di dalam kehidupan universitas. Namun, hal ini tidaklah cukup untuk membuat seorang meratap bahwa terdapat kejahatan yang bekerja begitu dalamnya di dalam masyarakat, bahkan umat gereja, di mana Luther merasa terdesak untuk menuliskan ”berkhotbah tidak dapat menghentikan hal itu”. (mungkinkah reputasi apa yang dosa-dosa kita berikan di dalam kebanyakan masyarakat dari khotbah masih belum mampu mempertobatkan kita?)
Petunjuk yang lain pada kehidupan yang bebas berlaku di dalam universitas yang diberikan ketika Luther menuliskan mengenai sekolah yang dihadiri mereka, ”tetapi kini setiap orang ditarik kepada hidup kependetaan atau kebiaraan, dan di antara mereka, yang saya takutkan, tidak ada satu pun dalam seratus orang yang memiliki alasan ketimbang dia berusaha hidup, dan meragukan bahwa dia akan mampu untuk mendukung dirinya di dalam kepemilikan pernikahan. Karena itu mereka hidup sedia kala secara liar, dan berharap, seperti yang dikatakan mereka, ’melampiaskan hawa nafsu mereka’, ketimbang mengenakan hal ini sebagai tontonan pengalaman”.
Sebagaimana yang kita tahu, Reformasi sejati memiliki dua bagian. Kejahatan harus dimusnahkan, dan apa yang saleh harus dipraktikan. Kita telah melihat apa yang Luther inginkan untuk menyingkirkan dan menghilangkannya dari hidup universitas. Lain waktu (D.V.) kita akan melihat apa yang Luther inginkan untuk diperkenalkan dan dipraktikan.
Menulis kondisi sekolah-sekolah pada masanya, yang dimonopoli oleh Gereja Roma Katolik, Luther mengerang, “Oh betapa tidak adilnya, kita berurusan dengan orang muda yang malang, yang dipercayakan kepada kita untuk dididik dan diberi pengajaran! Kita harus memberikan suatu pertanggungan jawab yang mengerikan sebab kita telah mengabaikan memberikan Firman Allah kepada mereka. Mereka terlihat seperti yang dikatakan Yeremia dalam Ratapan 2:11dst., Mataku kusam dengan air mata, remuk redam hatiku; hancur habis hatiku karena keruntuhan puteri bangsaku, sebab jatuh pingsan kanak-kanak dan bayi di lapangan-lapangan kota. Kepada ibunya mereka bertanya: "Mana roti dan anggur?", sedang mereka jatuh pingsan seperti orang yang gugur di lapangan-lapangan kota, ketika menghembuskan nafas di pangkuan ibunya.” Kejahatan yang memprihatinkan ini, kita tidak melihat—bagaimana bahkan kini, kaum muda di tengah dunia Kekristenan menyia-nyiakan dan sirna secara menyedihkan akan kebutuhan Injil, di mana kita seharusnya memberikan mereka pendidikan dan latihan secara terus menerus”.
Apa yang Luther ingin untuk perkenalkan dan praktikan dalam pendidikan Kristen? Untuk memperbaiki persoalan dari kehidupan bebas yang berlaku di universitas, Luther memiliki suatu proposal mengenai murid-murid yang akan menghadiri universitas. Luther juga memiliki saran mengenai apa yang seharusnya termasuk di dalam kurikulum.
Setelah membuat proposalnya mengenai apa yang seharusnya dimasukkan di dalam mata pelajaran di universitas, di mana kita akn teliti segera, Luther mengungkapkan keinginannya untuk bersifat selektif mengenai tubuh murid. Dia menuliskan ”... kita seharusnya tidak mengirimkan setiap orang di sana, sebagaimana kita lakukan ketika kita semua menanyakan jumlahnya, dan setiap orang menginginkan untuk mendapat gelar doktor; tetapi kita seharusnya mengirimkan hanya murid-murid yang berkualitas terbaik, yang sebelumnya telah dilatih dengan baik di sekolah-sekolah yang lebih rendah. Dewan bangsawan atau kota harus melihat hal ini, dan hanya mengizinkan murid yang berkualitas baik yang dikirimkan”.
Apa yang Luther akan perhatikan sebagai “murid-murid yang berkualitas terbaik”? Kita mungkin menduga bahwa kemampuan akademis akan menjadi penting. Sebuah ulasan dari pekerjaan sekolah murid yang sebelumnya akan menjadi bukti dari kemampuan akademis. Catatan-catatan sekolah akan menjadi cukup mudah untuk diperiksa. Menurut perhatian Luther mengenai perbuatan yang buruk dari banyaknya murid universitas, bagaimanapun kita juga dapat memastikan bahwa kemampuan akademis tidak akan menjadi kriteria satu-satunya bagi penerimaan universitas. Apakah penarikan kesimpulan bahwa suatu kerohanian siswa yang berpotensi juga dipikirkan terlalu jauh? Dalam abad ke-16, kebanyakan kota di Jerman itu kecil. Orang-orang mengenal satu dengan yang lain. Akankah Luther bergantung kepada dewan kota lokal untuk mengenal mengenai ciri-ciri kerohanian dari murid-murid yang berpotensi? Apakah masyarakat Eropa abad ke-16 disusun oleh kelompok umur sebagaimana kasus yang ada sekarang, dengan akibat bahwa kaum muda pada umumnya orang asing daripada anggota komunitas yang lebih tua? Akankah kaum muda itu dikenal cenderung “hidup bebas” tidak diakui oleh sekolahsekolah yang Luther harapkan dapat didirikan? Saya ragu-ragu
Cita-cita Luther dalam pendidikan adalah agar semua anak di gereja dapat membaca Kitab Suci. Betapa pun, proposal di Surat Terbuka Luther memfokuskan hampir secara eksklusif pada pendidikan yang lebih tinggi, bukan pendidikan dasar. Dia mengerti bahwa hal itu akan menjadi tidak mungkikn untuk mendirikan sekolah dasar yang dia inginkan dan dipandang sepatutnya bagi komunitas Reformed, jika tidak terdapat guru yang menyediakan hal-hal itu. Gereja pada permulaan Reformasi akan memulai dari tarikan sejauh pendidikan dasar diperhatikan. Kebutuhan para guru yang memenuhi syarat harus dilakukan segera.
Luther membayangkan sekolah dasar yang akan didampingi oleh guru-guru yang terlatih dan dihadiri oleh anak-anak. Luther tidak menyerukan orang-orang untuk mendirikan sekolah-sekolah tersebut pada pusat-pusat komunitas di mana kaum orangtua dapat mendapatkan cara-cara pendidikan dagang untuk mengajarkan ketrampilan akademis itu pada anak-anak mereka di rumah. Kaum ayah telah memikul tanggung jawab kepemimpinan di rumah dan mengajarkan anak-anak mereka bidang perdagangan yang akan menjadi sarana untuk menopang keluarga mereka suatu hari maupun Kaum ibu telah sibuk mengajari anak-anak perempuan mereka ketrampilan-ketrampilan domestik yang penting dan mencondongkan kepada kebutuhan rumah tangga. Luther tidak ingin sekolah-sekolah tersebut, melainkan supaya kaum orangtua dapat dilatih sebagai pendidik, selanjutnya memampukan mereka untuk menyampaikan pelajaran-pelajaran mereka kepada anak-anak mereka di rumah. Luther memperkirakan sekolah-sekolah untuk pendidikan yang saleh dari seluruh anak di gereja.
Apa yang Luther inginkan untuk diajarkan di universitas? Luther mengharapkan pengajaran di dalam Injil akan memegang peranan yang dominan di kurikulum. Dia menuliskan, ”Akhirnya, yang terutama dan mata pelajaran yang paling utama, baik sekolah-sekolah yang lebih tinggi maupun yang lebih rendah, seharusnya berada pada Kitab Suci, dan bagi kaum muda di dalam Injil. Dan akankah bagi Allah bahwa setiap desa memiliki sekolah khusus anak-anak perempuan juga, di mana anak-anak perempuan diajarkan Injil satu jam setiap hari dalam bahasa Jerman atau Latin ... Bukankah seharusnya setiap orang Kristen pada umur ke-9 atau ke-10 untuk mempelajari seluruh Injil Kudus yang darinya dia membaktikan namanya dan hidupnya? Betapa beraninya konsep itu diwartakan bagi pendidikan anak-anak perempuan di tahun 1520!
Menurut buku-buku theologi, Luther berkata, “banyak buku-buku theologi juga harus dipelajari, dan suatu buku pilihan yang terbaik diberikan pada mereka. Karena bukanlah banyaknya buku atau banyaknya bacaan orang itu menjadi terdidik; tetapi buku-buku yang baik, betapa pun buku-buku itu tidak banyak, namun sering dibaca sehingga mereka dibuat terdidik di dalam Kitab Suci. Nyatanya banyak di antara kita membaca buku-buku itu hanya untuk dipengaruhi hal-hal itu dan tidak pernah datang kepada Kitab Suci. Kita seperti orang yang mempelajari rambu-rambu lalu lintas tetapi tidak pernah bepergian di jalan.”
Bagaimanapun, kita tidak harus berpikir bahwa sekolah-sekolah yang Luther inginkan harus memiliki murid-murid yang hanya mempelajari Alkitab dan meninggalkan semua mata pelajaran yang lain. Di dalam Surat Terbukanya, Luther juga menyebutkan untuk mempelajari bahasa Latin, Yunani, Ibrani, matematika, sejarah, pengobatan, dan hukum; tetapi hal-hal ini Luther menuliskan, “Namun semuanya ini saya berikan kepada para ahli, dan tentunya akan merefromasi hal itu sendiri, jika kita begitu serius untuk mengerjakannya. Sesungguhnya, banyak orang bergantung akan mata pelajaran itu, karena memang inilah bagi kaum muda Kristen dan orang-orang yang terbaik bekerja, di mana dibentangkan oleh orang-orang dari dunia Kekristenan di masa depan, yakni mereka yang terdidik dan terlatih.” Luther menaburkan benih-benih dari pendidikan seni liberal (liberal arts – bidang studi sekuler)
Marilah kita menutup seri dari artikel Surat Terbuka Luther dengan memeriksa paragraf akhir dari proposalnya untuk mereformasi universitas di mana Luther memperingatkan, “tetapi di mana Kitab Suci tidak berkuasa, saya menasihatkan supaya tidak ada seorang pun yang mengirimkan anaknya di sana. Setiap orang yang tidak menyibukan dirinya secara terus menerus pasti akan menjadi rusak; itulah mengapa orang-orang yang ada di universitas dan mereka yang dilatih oleh semacam orang-orang yang demikian.”
Suatu pembacaan dari berbagai peraturan dari wali murid kita, sekolah-sekolah yang mendukung hari kovenan membuktikan bahwa Allah telah memberkati kita dengan sekolah-sekolah di mana Kitab Suci berkuasa. Orang-orang di sekolah kita bersidang dan staf-staf pengajar sekolah kita menganggap secara serius tanggung jawab penyediaan murid-murid kita dengan pendidikan Kristen yang sejati. Saya menyadari sekolah kita tidaklah sempurna dan setan bersikukuh melebarkan kaki-tangan dari kerajaannya. Iblis tidak akan berhenti menguji kelemahan kita dan berusaha untuk menjarah mereka untuk tujuannya. Namun, terdapat beberapa lokasi dalam denominasi kita di mana, oleh belas kasihan dari Raja kita yang berkuasa di mana anak-anak-Nya menghadiri sekolah-sekolah kita, kita telah memiliki lembaga-lembaga semacam itu bagi generasi ketiga, dalam beberapa kasus hingga keempat. Kita telah begitu diberkati secara berlimpah. Apa yang akan menjadi besarnya rasa malu kita, jika pendidikan Kristen dari anak-anak Raja kita menderita selama waktu-waktu ekonomi yang sulit dan ketat ini karena kita menghentikan dukungan kita bagi kerajaan-Nya, ketimbang bersumbangsih kepada suatu yang menghibur dan hal-hal yang remeh dari dunia yang fana ini? Marilah kita menggunakan dengan bersemangat berkat-berkat ktia yang telah diberikan Allah.
Untuk bahan-bahan lain dalam bahasa Indonesia, klik di sini.