Pdt. Angus Stewart
1. Pernikahan merupakan kesatuan “satu tubuh” antara seorang laki-laki dan seorang perempuan (Kej. 2:24; Mal. 2:14-15; Mat. 19:4-5; 1Kor. 6:16; Ef. 5:31) “hingga maut memisahkan kita” (bdk. Rm. 7:2-3; 1Kor. 7:39) demikianlah pernikahan lagi terjadi ketika pendamping seorang hidup dalam perzinahan (Mat. 5:32; Mark 10:2-12; Luk. 16:18; Rm. 7:2-3).
Inilah juga posisi dari gereja Kristen yang historis bagi posisi 1,500 tahun pertama atau selanjutnya dengan suara ketidakpuasan yang sempit. Inilah pandangan tradisional Anglikanisme dan Persaudaraan, dan juga pandangan Gereja-Gereja Protestan Reformed dan gereja-gereja yang mirip dan pelayanan misi (di Amerika, Kanada, Irlandia Utara, Singapura, dan Filipina) dan banyak di antara orang Reformed Belanda. Hal itu juga merupakan keyakinan orang-orang dalam gereja-gereja Presbiterian, Kongregasi, dan Baptis dan yang lainnya.
2. Matius 19:9 merupakan ayat alkitabiah satu-satunya yang dapat, diambil seluruhnya oleh hal itu, yang memperbolehkan pernikahan lagi dari “pihak yang tidakc bersalah” ketika pendampingnya masih hidup. Bagaimanapun, interpretasi dari teks ini dibatalkan oleh tiga pertimbangan berikut ini.
Hal itu akan berkontradiksi dengan banyak perikop lain yang bermakna jelas di dalam Firman Allah:
Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah (Mat. 5:32).
Lalu kata-Nya kepada mereka: "Barangsiapa menceraikan isterinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinahan terhadap isterinya itu. Dan jika si isteri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zinah (Mark. 10:11-12).
Setiap orang yang menceraikan isterinya, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah; dan barangsiapa kawin dengan perempuan yang diceraikan suaminya, ia berbuat zinah (Luk. 16:18).
Sebab seorang isteri terikat oleh hukum kepada suaminya selama suaminya itu hidup. Akan tetapi apabila suaminya itu mati, bebaslah ia dari hukum yang mengikatnya kepada suaminya itu. Jadi selama suaminya hidup ia dianggap berzinah, kalau ia menjadi isteri laki-laki lain; tetapi jika suaminya telah mati, ia bebas dari hukum, sehingga ia bukanlah berzinah, kalau ia menjadi isteri laki-laki lain (Rm. 7:2-3).
Kepada orang-orang yang telah kawin aku -- tidak, bukan aku, tetapi Tuhan -- perintahkan, supaya seorang isteri tidak boleh menceraikan suaminya. Dan jikalau ia bercerai, ia harus tetap hidup tanpa suami atau berdamai dengan suaminya. Dan seorang suami tidak boleh menceraikan isterinya (1Kor. 7:10-11).
Isteri terikat selama suaminya hidup. Kalau suaminya telah meninggal, ia bebas untuk kawin dengan siapa saja yang dikehendakinya, asal orang itu adalah seorang yang percaya. (1Kor. 7:39).
Hal itu tidak cocok dengan konteksnya. Saya tidak pernah mendengar siapa pun yang menanggapi pengajaran bahwa ”pihak yang tidak bersalah” boleh menikah lagi ketika pendampingnya masih hidup, sebagaimana tanggapan langsung dari para murid-Nya atas pengajaran Kristus:” Jika demikian halnya hubungan antara suami dan isteri, lebih baik jangan kawin (Mat. 19:10). Posisi tersebut di mana tidak terdapat pernikahan lagi (bahkan bagi ”pihak yang tidak bersalah”) ketika pendampingnya masih hidup seiring dengan pergumulan ini. Sama halnya, jawaban Kristus kepada protes murid-murid-Nya yang begitu sesuai dengan pengajaran di mana tidak seorang pun boleh menikah lagi ketika pendamping mereka masih hidup, demikian juga dengan pandangan bahwa ”pihak yang tidak bersalah” yang boleh menikah lagi ketika pendamping mereka masih hidup. Tuhan Yesus menyatakan ”... dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga (ay. 12). Anak Allah menunjukan pencerahan ilahi kepada mereka untuk ”menerima” pengajaran-Nya: ”Akan tetapi Ia berkata kepada mereka: "Tidak semua orang dapat mengerti perkataan itu, hanya mereka yang dikaruniai saja ... Siapa yang dapat mengerti hendaklah ia mengerti” (ay. 11-12). Hal ini menjelaskan betapa beberapa orang memiliki kesulitan menerima kebenaran Firman Allah. Khususnya dalam kasus hari ini bagi pengertian kita adalah suatu ”generasi yang berzinah/membelot” [angkatan yang jahat – terjemahan LAI] (Mat. 12:39; 16:4), seperti kaum ahli taurat dan orang Farisi dalam abad pertama, banyak dari mereka yang mengajarkan ”perceraian yang salah” (Mat. 5:31-32; 19:3-9).
Hal ini tidak termasuk 1 Korintus 7: 10-11, di mana Rasul Paulus meringkaskan dan menyatakan pengajaran Yesus Kristus selama pelayanan-Nya di dunia: Kepada orang-orang yang telah kawin aku -- tidak, bukan aku, tetapi Tuhan -- perintahkan, supaya seorang isteri tidak boleh menceraikan suaminya: Dan jikalau ia bercerai, ia harus tetap hidup tanpa suami atau berdamai dengan suaminya ...” Kitab Suci yang diinspirasikan di sini mengajarkan dua, dan hanya dua pilihan bagi orang yang diceraikan (1) tetap tidak menikah atau (2) didamaikan dengan pendampingnya yang mula-mual. Tidak ada pilihan yang ketiga, pernikahan lagi yang disebutkan. Setia kepada pengajaran Yesus di Matius 5, Markus 10, Lukas 16, dan Matius 19, Paulus tidak memberikan izin untuk menikah lagi ketika seorang pendampingnya masih hidup. Dengan demikian klausa pengecualian (”kecuali karena zinah”) bukanlah pernikahan lagi yang boleh (ketika pendampingnya masih hidup) tetapi suatu perceraian yang diizinkan dengan pengecualian: Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah (Mat. 19:9).
3. ikatan pernikahan yang tak terpatahkan merupakan ajaran alkitabiah, yang ditempatkan oleh Allah pada ciptaan (Kej. 2:24), diwartakan oleh para nabi Perjanjian Lama (Mal. 2:10-16), dan ditegaskan kembali oleh Kristus (Mark. 10:2-12; Luk. 16:18) dan oleh para rasul Perjanjian Baru (Rom. 7:2-3; 1Kor. 7:39). Hal itu adalah gambaran dari ”misteri yang agung” dari kesatuan dari Kristus dan jemaat pilihan-Nya (Ef. 5:32).
Untuk bahan-bahan lain dalam bahasa Indonesia, klik di sini.