Oleh Pdt. Angus Stewart
I Korintus 7 adalah bab yang agung dalam Alkitab mengenai kelajangan dan pernikahan orang Kristen. Tetapi siapa yang memutuskan entah seorang yang lajang atau janda atau duda seharusnya menikah atau tidak?
Bagi seorang duda (seorang lelaki yang istrinya telah meninggal), keputusan berada padanya. Tentunya hal ini agaknya bagi seorang lajang, apalagi muda, dia memerlukan nasihat. Bapa kita di sorga mengajarkan kita bahwa seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya (Kej. 2:24). Maka meninggalkan dan bersatu, yakni, menikah, adalah sebuah aksi dari keputusannya dan kehendaknya, di bawah Allah yang Mahakuasa/Perkasa. Karenanya para orangtua harus melatih anak-anak laki mereka untuk meninggalkan rumahnya suat hari nanti dan memimpin istrinya yang saleh itu.
Tetapi bagaimana dengan kaum wanita? Siapakah yang memberikan keputusan final entah para perawan atau janda itu menikah atau tidak menikah? I Korintus 7:36-38 menyampaikan kasus para perawan dan ayat 39-40 mengenai para janda. I Korintus 7:39 juga menyediakan kita kriteria kunci untuk memilih seorang pasangan: menikah ”asal orang itu adalah seorang percaya”. Inilah perkataan yang sangat singkat tetapi hal itu mengandung arti yang dalam, seperti yang kita akan lihat di dalam terbitan Buletin berikut ini.
Alkitab memberikan kita pengajaran mengenai otoritas ayah atas anak perempuannya. Bilangan 30:3-16 mengajarkan bahwa ayah dapat membatalkan kaul anak perempuannya (ketika dia mendengar kaul pada saat itu). Menurut Ulangan 22:13-21, jika seorang suami di Israel menuduh istrinya yang melakukan percabulan dengan seorang lelaki lain sebelum pernikahan mereka, ayah perempuan itu harus ”memperlihatkan tanda-tanda keperawanan gadis itu kepada para tua-tua kota di pintu gerbang” (15). Lalu hal itu yang harus dikerjakan ayah tersebut untuk memastikan bahwa anak perempuannya tetap seorang perawan sebelum pernikahan itu. Jika anak perempuannya memang ”melakukan percabulan”, perempuan itu harus dilempari batu di depan rumah ayahnya itu (21), maka hal itu menandakan kesalahan ayah itu dan juga rasa malunya. Keluaran 22:16 memberitahukan kita bahwa seorang laki-laki yang merayu seorang gadis yang belum menikah yang sudah diminta dalam ikatan pernikahan. Namun ayahnya berhak menolak untuk memberikan memberikan anak perempuan itu (17) dan tidak ada seorang pun yang dapat menghentikan dia dari perbuatan ini. Mengapa? Karena dia memiliki otoritas dari Allah. Instruksi ini dari Bilangan 30, Ulangan 22 dan Keluaran 22 pada otoritas ayah yang dipresuposisikan di dalam I Korintus 7:36-38.
Sang ayah, sebagai kepala rumah tangga, memiliki perkataan mutlak entah anak perempuannya boleh atau tidak boleh menikah. Hal ini bukanlah hanya masalah romantika atau keputusan anak perempuannya atau desakan pacar lelakinya. Persetujuan ayahnya dibutuhkan, karena dia memiliki otoritas yang diberikan Allah, dan begitulah tanggung jawab itu, mengenai apakah anak perempuannya menikah atau tidak menikah. Karenanya Kitab Suci berbicara mengenai anak laki-laki yang menikahi, tetapi mengenai anak perempuan itu diberikan untuk menikah (mis., Maz. 78:63; Mat. 24:38; Luk. 20:34). Karena itu, dalam upacara pernikahan, pelayan Tuhan bertanya, ”Siapakah yang memberikan wanita ini kepada pria dalam pernikahan ini?” ”ibunya dan saya”, jawab ayahnya. Tidak ada pertanyaan atau jawaban yang demikian kepada pengantin laki-laki. Pemberian anak perempuan ayah itu kepada pengantin laki-laki di pernikahan merupakan peralihan otoritas. Karena itu Bilangan 30 mengajarkan bahwa hanya sebagai ayah yang memiliki otoritas untuk membatalkan kaul anak perempuannya, begitu pula suaminya memiliki otoritas yang sama membatalkan kaul istrinya.
Lebih lanjut, sang ayah juga memiliki otoritas atas persahabatan/pacaran anak perempuannya. Bayangkanlah situasi yang konyol di mana seorang ayah yang mengatakan tidak kepada anak perempuannya yang mau berpacaran, tetapi dia memiliki otoritas atas pernikahan saja, dan begitulah waktu ayahnya maju mencegah pernikahan itu setelah mereka telah berpacaran, katakanlah selama dua tahun! Ulangan 22:13-21, mengacu pada tugas ayahnya untuk membuktikan keperawanan anak perempuannya, menandakan otoritasnya atas persahabatan anak perempuan itu. Otoritas macam apakah yang melibatkan sifat keayahan itu? Kepada siapa anak perempuan itu boleh berpacaran – anak laki-laki ini atau yang lainnya. Kapan dia boleh berpacaran – yakni, di waktu ayahnya percaya anak perempuannya sudah siap. Sang ayah seharusnya juga melihat cara anaknya berdandan yang pantas, sebagaimana yang diminta oleh Firman Allah (Yes. 3:16-23; 1Pet. 3:3-5). Peranan ayah bukanlah sekadar bertopang dagu di rumah dengan sang ibu, khawatir dan kalut dan berdoa mengenai apa yang anaknya dan pacarnya akan lakukan ketika mereka berpacaran.
Dunia yang najis ini, di mana kaum feminis yang jahat dan buas, membenci kebenaran alkitabiah dari otoritas rohaniah akan ayah-ayah yang setiawan atas anak-anak perempuan mereka – demikian yang dikatakan oleh beberapa anak perempuan yang belum dewasa. ”Ayah adalah orang tolol. Apa yang dia tahu?” ”Romantika dan kebijaksanan dalam berpacaran ada pada orang muda”. Demikianlah kebanyakan pikiran anak muda. Karena terdapat kecenderungan yang kuat untuk memberontak atau menyelinap dengan bodohnya dengan suatu pacaran yang kelihatan baik namun tidak berarti tanpa persetujuan orangtua. Orangtua anda dapat menyelamatkan engkau dari sakit hati yang akan datang, tetapi engkau tidak akan mendengarkannya!
Pertentangan ini bagi pengawasan orangtua (khususnya dari ayah) adalah yang mungkin lebih kuat dalam dunia barat yang modern lebih daripada yang pernah terjadi sebelumnya. Revolusi seksual dalam tahun 1960-an membuat persetubuhan liar dan pemberontakan lebih luas dan dipandang ”normal”. Penyebaran yang luas dari buku-buku yang bodoh dan majalah-majalah gadis mengenai hubungan pria-wanita yang mengajarkan ”percintaan” dari bawah yang sepenuhnya bersifat duniawi, sensual, dan jahat (bdk. Yak. 3:15). TV, layar lebar, nyanyian populer dan tontonan-obrolan mendukung cara berpikir dan hidup ini. “Pacaran yang berkreasi adalah normanya. Mengapa tidak sekadar berpacaran untuk kesenangan? Banyak orang lain yang melakukannya”. Hal ini bisa menjadi pencobaan yang serius bagi gadis-gadis yang Kristen: menyerasikan dengan dunia yang najis dengan ide-ide yang bodoh dan mesum akan pacaran dan ”percintaan” ... dan memberontak melawan otoritas dan lindungan ayah mereka, bertentangan dengan perintah kelima dan hidup kudus yang bersyukur dibutuhkan semua orang yang ditebus oleh darah TuhanYesus Kristus yang berharga.
I Korintus 7:36-38 dan karenanya artikel ini berlanjut pada pemahaman bahwa ayah yang Kristen adalah seorang yang saleh dan bijak di mana dia mengasihi anak perempuannya dan mengusahakan kebaikannya dalam segala hal termasuk berpacaran dan pernikahan. Dia tidak harus menjadi tiran, memaksa dia untuk pacaran dengan seorang yang tidak sesuai, atau bertindak egois dengan hanya memaksakan sesuai kehendaknya itu dan kesejahterahannya sendiri kelak. Atau mungkin dia tidak akan membuat tuntutan-tuntutan yang tidak beralasan akan anak perempuannya itu: ”Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya” (Kol. 3:21). Karena mungkin hal itu akan menjadi masalah-masalah dalam pengawasan orangtua akan persahabatan anak perempuan itu, jika sang ayah menjalani hidup berdosa dan bersifat bodoh atau kasar. Jika ayahnya tidak menunjukkan kasihnya kepada anak itu atau memenangkan rasa hormat tersebut semasa anak perempuannya bertumbuh, dia mungkin akan menemukan anaknya yang keras kepala itu kini akan berlaku dosa dengan mengabaikan pengawasan atas pacarannya dan pernikahannya. Maka dia menuai apa yang dia tabur dalam kondisi rumah yang berantakkan dan anaknya (biasanya) akan menuai apa yang ditaburnya dalam kesulitan pacaran dan pernikahan yang buruk.
Walaupun kita telah membahas peranan ayah (sebagaimana dicatat I Korintus 7:36-38), sang ibu berperan juga dalam hal ini. Sang ayah adalah kepala (Ef. 5:23), tetapi sang ibu adalah penolong yang sepadan baginya (Kej. 2:18). Karenanya sang suami seharusnya mendiskusikan permasalahan ini dengan istrinya (sebagai bagian hidup mereka dan memimpin kondisi rumah mereka). Dia seharusnya mendengarkan nasihat baik dari istrinya, karena dia tidak mengetahui segala sesuatu, andai tidak demikian Allah tidak akan pernah memberikannya seorang penolong. Selanjutnya, istrinya, sebagai seorang wanita, dengan banyak jalan, akan memahami anak perempuan mereka lebih baik dari yang dia kira.
I Korintus 7:36-38 juga melanjutkan kepada pemahaman bahwa anak perempuan adalah harus saleh dan tunduk kepada ayahnya. Dia menaati perintah keempat [di Indonesia, kelima]: ”Hormatilah ayahmu dan ibumu...” (Kel. 20:12). Dia memahami kebutuhannya akan pertolongannya di wilayah berpacaran ini. “Kebodohan melekat pada hati orang muda” (Ams. 22:15) dan beberapa kebodohan itu masih tinggal, khususnya pada anak-anak perempuan yang berpikir bahwa mereka sudah “dewasa” sepenuhnya dan tidak merasa memerlukan nasihat orangtua. Mazmur 25:7 mengacu pada “dosa pada masa muda…”, dan banyak orang yang telah menyesali dosa masa silam, saat berpacaran dan pernikahan yang bodoh ketika mereka masih muda.
Ketika hal-hal ini benar dalam rumah tangga orang Kristen, anak peremuan itu memercayai ayahnya, mengenali dia sebagai ayah yang benar dan setia, yang memperdulikan dan menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Sebagai seorang yang tinggal bersama ayahnya selama beberapa dekade atau lebih, sang anak mengenal bahwa ayahnya tidaklah sempurna tetapi dia memahami bahwa ayahnya bukan mengawasi hidup romantikanya untuk meruntuhkan atau menghalangi kesenangannya, melainkan untuk kesejahterahannya. Karena itu dia menerima dengan senang hati dan menghargai nasihatnya dan tuntunannya dan tidak merasa bahwa hal itu sebagai suatu yang mencampuri urusan yang tidak diinginkan atau tidak terjamin. Anak semacam itu mengenal bahwa jika ayahnya tidak membiarkannya melakukan segala sesuatu yang dia inginkan, hal itu akan menunjukkan bahwa ayahnya tidak mengasihinya. Kenyataannya, pengawasan sang ayah yang penuh pertimbangan harus terlihat sebagai keamanan dan kelegaan: “Saya tidak harus membuat keputusan yang begitu besar bagiku sendiri!” Bagaimana cara untuk mengatur para pemesum kawakan yang tidak tepat dan tidak diinginkan! Hanya katakanlah hal-hal itu, ”tanyakan ayahku!”
Ayat 36 mengatakan akan seorang ayah yang hendak mengetahui bahwa dia telah menahan anak gadisnya yang dewasa dari pernikahan yang tidak seharusnya. Perilakunya sudah menjadi ”tidak bersahabat” atau tidak wajar. Anak perempuan yang tidak memiliki karunia mengekang seksual (menguasai dirinya - LAI) itu (9) dan karena itu harus menikah (bdk. ”harus kawin/memerlukan kebutuhan itu (versi KJV)”; 36). Anaknya menginginkan menikah dan terdapat seorang pria yang sesuai, maka ayahnya seharusnya ”menikahkan mereka (KJV)” (36)
Ayat 37 mengacu pada kasus di mana anak perempuannya memiliki karunia untuk menguasai diri (9), dan demikian ”tidak perlu” anaknya kawin/menikah (37). Karena itu di sini sang ayah melakukan otoritasnya oleh keputusan tetap yang tegas di dalam ”hatinya” dan ”kehendaknya/kemauannya” bahwa anaknya itu tetap melajang (37).
Kedua skenario, sang ayah berbuat “baik” (38), khususnya karena dia melakukan dengan tepat berdasarkan prinsip yang mendasar: entah atau tidak anak perempuannya memiliki karunia untuk mengekang seksual (9). Tetapi dalam kasus kedua, sang ayah berbuat ”lebih baik” (38), karena wanita yang saleh dan lajang dengan karunia mengekang seksual, boleh menghindari tekanan dan kesulitan dari pernikahan (26-28) dan memiliki kebebasan untuk melayani Tuhan (32-35). Di samping, pernikahan – gambaran Kristus bersama gereja-Nya yang agung itulah! – merupakan bagiannya dari dunia yang akan segera berlalu (29-31).
Namun bagaimana dengan para janda? Sang ayah memiliki otoritas bagi hidup romantis dari anak perempuan yang masih perawan, tetapi hal ini tidak demikian dengan seorang janda: ”Isteri terikat selama suaminya hidup. Kalau suaminya telah meninggal, ia [yakni, janda tersebut] bebas untuk kawin dengan siapa saja yang dikehendakinya, asal orang itu adalah seorang yang percaya” (39).
Perhatikanlah I Korintus 7 yang memberi tahu kita mengenai siapa yang memiliki otoritas atas pacaran dan pernikahan bagi gadis (36-38) dan janda (39-40); hal itu tidak ada dikatakan apa pun dengan perceraian. Mengapa? Karana Tuhan Yesus memerintahkan, ”seorang isteri tidak boleh menceraikan suaminya. Dan jikalau ia bercerai, [1] ia harus tetap hidup tanpa suami atau [2] berdamai dengan suaminya” (10-11). Hanya 2 pilihan yang diberikan dan pernikahan lagi dari yang diceraikan itu ketika pasangan masih hidup dan bukanlah selain kedua pilihan itu (bdk. 39).
Untuk bahan-bahan lain dalam bahasa Indonesia, klik di sini.