Prof. Herman Hanko
Tidak ada kaum Calvinis empat-pokok atau empat-poin di dalam dunia ini. Saya yakin bahwa pasti pernah ada satu kesempatan, ketika Anda membahas perihal-perihal kebenaran dengan orang lain, Anda bertemu dengan orang-orang yang mengklaim sebagai Calvinis empat-pokok. Memang tidak di dalam setiap kasus, tetapi di hampir semua kasusnya pokok Calvinisme yang ditolak oleh kaum empat-pokok itu adalah penebusan yang partikuler. Sejak awal kita harus menegaskan fakta bahwa adalah mustahil untuk mempertahankan empat pokok lain dari Calvinisme sementara menolak penebusan yang partikuler.
Saya pernah berjumpa dengan kaum Calvinis empat-pokok ini; dan jelas bahwa dari segi apa pun mereka sama sekali bukan Calvinis. Misalnya, mereka tidak berpegang teguh pada doktrin Alkitab tentang predestinasi ganda yang berdaulat. Mereka tidak bisa; itu mustahil. Bahkan, sejauh menyangkut pemikiran orang itu sendiri dan komitmennya kepada Firman Allah, adalah mustahil untuk menyangkali penebusan yang partikuler namun berpegang pada predestinasi, karena keduanya terkait secara tidak terpisahkan. Keduanya terkait secara tidak terpisahkan karena, pertama, Lima Pokok Calvinisme, ketika diperhatikan secara keseluruhan, membentuk kesatuan yang membangun doktrin Alkitab tentang anugerah yang berdaulat dan partikuler. Menyangkal satu pokok berarti mengurangi kebenaran tentang anugerah yang berdaulat dan partikuler, dan dengan demikian menyangkal pokok-pokok yang lain. Kedua, karya penebusan yang Kristus lakukan di Kalvari adalah wahyu Allah tentang seluruh rencana keselamatan-Nya bagi kaum pilihan.
Kita tidak boleh berkata kepada seorang Calvinis empat-pokok, “Saudara, kamu memercayai empat pokok Calvinisme? Kamu tidak jauh dari kerajaan Allah; kamu hanya perlu satu langkah lagi.” Itu tidak benar. Tanpa memberikan diri untuk berkomitmen kepada penebusan yang partikuler, orang tidak dan tidak bisa memercayai pokok yang mana pun dari keempat pokok yang lainnya.
Kebenaran tentang penebusan yang partikuler adalah kebenaran yang menjadi isu pada saat ini. Ini adalah kebenaran yang disangkal oleh hampir seluruh dunia eklesiastis (dunia gerejawi). Merupakan hal yang aneh, bahkan begitu aneh sampai hampir tidak bisa dipercaya, bahwa sangat sedikit yang berpegang pada kebenaran tentang penebusan yang partikuler. Penyangkalan terhadap penebusan yang partikuler bahkan ditemukan di antara mereka yang mengklaim sebagai kaum Calvinis. Begitu gigihnya kaum universalis sampai-sampai mereka menulis buku-buku untuk mencoba membuktikan bahwa Calvin sendiri memercayai pendamaian yang universal.
Meskipun bagian besar dari apa yang harus saya sampaikan akan berkenaan dengan permasalahan luas cakupan dari pendamaian (yaitu untuk siapa Kristus mati), saya juga ingin berbicara tentang penderitaan dan kematian Kristus dari sudut pandang yang lebih positif. Kita sedang membicarakan apa yang menjadi jantung dari Injil. Paulus merangkum seluruh pelayanan Injilnya dengan kata-kata ini: “... kami memberitakan Kristus yang disalibkan” (1Kor. 1:23). Itu berarti bahwa jika seseorang menyangkal pengorbanan Yesus Kristus yang mengerjakan pendamaian dalam aspek apa pun, termasuk partikularitas dari pendamaian, ia menghancurkan Injil Yesus Kristus. Dan jika saya boleh menjadikan hal tersebut personal untuk sesaat, ini berarti bahwa di dalam menghancurkan apa yang merupakan jantung dari Injil itu sendiri, kita menghancurkan apa yang setiap orang percaya perlu ketahui dan ingin ketahui. Orang percaya tidak pernah bosan untuk mendengarkan tentang Injil penebusan dirinya.
Pertama, kita akan memikirkan makna dari istilah-istilah yang Kitab Suci gunakan untuk mendeskripsikan pengorbanan Tuhan kita Yesus Kristus. Kedua, kita akan memikirkan keberatan-keberatan yang sudah selama bertahun-tahun diajukan untuk melawan pokok Calvinisme yang kedua ini. Mengapa keberatan-keberatan itu diajukan? Apa karakter dari keberatan-keberatan tersebut? Apa konsekuensi-konsekuensi dari penyangkalan seperti itu? Yang terakhir, saya ingin memberikan beberapa pandangan mengenai bagaimana pengorbanan Kristus yang mengerjakan pendamaian itu menjadi keselamatan kita.
Pertama-tama, yang paling baik adalah membahas kata-kata di dalam Alkitab yang mendeskripsikan karya Kristus di atas salib ketika Ia menderita dan mati bagi dosa. Kitab Suci menggunakan beragam istilah, empat di antaranya memiliki arti penting yang partikuler, karena keempat istilah itu membantu kita untuk memahami natur karya Kristus.
Kata pertama yang saya ingin Anda perhatikan, yang digunakan berulang kali di dalam Perjanjian Baru, adalah kata “penebusan.” Karya Kristus di atas salib dideskripsikan di dalam banyak perikop sebagai karya penebusan. Di dalam Galatia 3:13, Paulus menyatakan, di dalam kaitannya sekarang dengan Taurat dispensasi lama, “Kristus telah menebus kita dari kutuk hukum Taurat dengan jalan menjadi kutuk karena kita.” Petrus berbicara tentang ditebus “bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas, melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus yang sama seperti darah anak domba yang tak bernoda dan tak bercacat. Ia telah dipilih sebelum dunia dijadikan, tetapi karena kamu baru menyatakan diri-Nya pada zaman akhir” (1Ptr. 1:18-20).
“Penebusan” adalah sebuah kata yang Kitab Suci ambil dari bahasa Yunani klasik. Di dalam bahasa Yunani klasik maupun bahasa Yunani yang digunakan pada zaman para rasul, “penebusan” merujuk kepada pembayaran suatu harga bagi seorang budak. Misalnya, jika seseorang kebetulan melihat seorang budak di pasar budak di Roma dan ingin membeli budak itu, bukan untuk menjadikannya budaknya sendiri, melainkan untuk mendapatkan kebebasan bagi budak itu, ia akan membayar harga tertentu yang setara dengan nilai budak itu. Setelah membayarkan harga itu, ia akan membebaskan budak tersebut. Kitab Suci menggunakan istilah ini untuk mendeskripsikan satu aspek dari penderitaan dan pengorbanan Kristus yang mengerjakan pendamaian. Ia menebus kita.
Implikasi yang jelas dari hal ini, yang pertama, adalah bahwa Ia melihat kita sebagai budak, budak yang berada di dalam belenggu rantai perbudakan kita, yang ditentukan untuk binasa. Ia membayar suatu harga yang akan mendapatkan pembebasan kita dari perbudakan yang menawan kita itu, yaitu perbudakan dan belenggu dosa. Satu aspek dari istilah “penebusan” adalah bahwa harga untuk mendapatkan pembebasan kita dari perbudakan dosa berkorespondensi dengan nilai yang kita miliki di dalam pandangan Allah. Allah telah membayar harga itu dengan darah Anak-Nya sendiri, harga tertinggi yang bisa Ia bayarkan. Oleh karena itu, ketika kata “penebusan” digunakan di dalam Kitab Suci untuk mendeskripsikan pengorbanan Kristus, Kitab Suci mengindikasikan bahwa di dalam pandangan Allah, mereka yang telah dibayar dengan harga dari darah Sang Anak adalah orang-orang yang memiliki nilai tertinggi yang mungkin ada, karena umat Allah adalah bernilai tidak terbatas bagi Allah.
Kita harus memastikan bahwa kita memahami hal ini. Nilai yang Allah lihat di dalam diri kita bukanlah nilai yang bisa ditemukan di dalam diri kita. Kita tidak memiliki nilai. Kita tidak memiliki nilai, pertama-tama, karena kita adalah ciptaan, yang diciptakan oleh Allah, ditopang oleh kuasa-Nya, dan dipertahankan setiap saat oleh providensi-Nya, sehingga kita benar-benar bergantung secara total pada-Nya dan dengan demikian eksistensi kita bisa diakhir dalam sekejap dengan Ia berhenti mengucapkan Firman-Nya yang menopang kita. Tetapi lebih daripada itu, kita tidak memiliki nilai di dalam pandangan Allah karena kita berdosa. Bagaimana bisa seorang yang berdosa, pemberontak, yang mengayunkan kepalannya di hadapan wajah Allah, memiliki nilai apa pun di dalam pandangan Allah? Ketika Kitab Suci berbicara tentang nilai yang besar yang umat Allah miliki di dalam pikiran Allah, mereka membicarakan itu dari sudut pandang tujuan Allah yang kekal dan tidak berubah untuk memuliakan diri-Nya melalui Kristus di dalam gereja-Nya. Allah mengasihi umat-Nya. Allah begitu mengasihi dunia ini sehingga Ia mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal (Yoh. 3:16). “Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian (propisiasi) bagi dosa-dosa kita” (1Yoh. 4:10). Di dalam pikiran Allah, seturut dekrit pemilihan dan di dalam tujuan-Nya yang kekal dan tidak berubah, Ia melihat umat-Nya sebagai yang bernilai besar bagi-Nya, bukan karena apa adanya mereka, melainkan karena Ia telah bertujuan menjadikan mereka mempelai-Nya dan berdiam bersama mereka di dalam persekutuan kovenan untuk selamanya.
Kasih Allah adalah satu faktor yang teramat penting di dalam pengorbanan Kristus yang menebus. Ia mengasihi kita. Ia mengasihi kita bukan karena apa adanya kita; bukan karena apa yang bisa kita kontribusikan bagi kemuliaan-Nya; Ia mengasihi kita bagi nama-Nya sendiri karena Ia telah bertujuan untuk mengasihi kita, dan kasih itu begitu agung sehingga tidak ada harga yang terlalu tinggi untuk dibayarkan demi mendapatkan keselamatan kita. Ini adalah kasih yang berakar di dalam kasih-Nya bagi diri-Nya sendiri sebagai satu-satunya Allah yang sejati dan hidup. Ini adalah kasih yang berkuasa dan efektual. Ini adalah kasih yang akan menentukan segala sesuatu yang terjadi di sorga maupun di bumi dan di dalam segenap sejarah alam semesta, sehingga sejarah bisa berfungsi membawa umat-Nya kepada-Nya. Setiap hal di dalam keputusan kehendak Allah ditentukan dengan mata-Nya yang memandang kepada umat-Nya. Itulah kasih yang menggenapi penebusan di dalam Kristus. Selain itu, dengan dibelinya kita oleh Kristus dengan darah-Nya, Ia bukan hanya membebaskan kita dari perbudakan dosa, tetapi Ia juga menjadikan kita milik-Nya, budak-budak-Nya. Kita berkata, dengan penuh keyakinan, bahwa satu-satunya penghiburan kita adalah bahwa kita adalah milik Yesus Kristus, Juruselamat kita yang setia ( Katekismus Heidelberg , J. 1).
Sekarang cobalah untuk mencocokkan itu ke dalam skema pendamaian yang universal. Itu tidak bisa dilakukan. Penebusan berakar di dalam kasih Allah yang kekal dan tidak dapat berubah yang akan melakukan apa pun yang harus dilakukan untuk menebus gereja. Kasih Allah yang dinyatakan di dalam penebusan tidak mungkin merupakan kasih bagi semua manusia. Ini adalah satu harga yang dibayarkan oleh Allah di dalam Anak-Nya sendiri untuk mendapatkan penebusan bagi kita dari perbudakan. Hanya satu dari dua pilihan yang mungkin: entah semua manusia diselamatkan karena Allah mengasihi semua manusia dengan kasih yang menyelamatkan (dalam kasus ini tidak ada seorang pun yang masuk neraka), atau Allah hanya mengasihi mereka yang untuknya Kristus telah mati.
Kata kedua yang digunakan di dalam Kitab Suci yang juga sama pentingnya adalah “rekonsiliasi.” Kata ini ditemukan, misalnya, di dalam Roma 5:10: “Sebab jikalau kita, ketika masih seteru, diperdamaikan (direkonsiliasikan) dengan Allah oleh kematian Anak-Nya, lebih-lebih kita, yang sekarang telah diperdamaikan, pasti akan diselamatkan oleh hidup-Nya!” “Rekonsiliasi” adalah kata yang kuat; ini adalah kata yang harus dipahami secara tepat oleh orang percaya Reformed.
Gambaran tentang sebuah kehidupan pernikahan yang rusak karena perzinahan yang dilakukan oleh salah satu pasangan hidup sering digunakan untuk menjelaskan rekonsiliasi. Seluruh gambaran tentang rekonsiliasi dideskripsikan dengan cara sedemikian rupa sehingga perzinahan yang dilakukan oleh salah satu pasangan hidup telah menyebabkan gangguan di dalam hubungan pernikahan tersebut. Tetapi ada harapan bagi rekonsiliasi, dan untuk itu pihak ketiga dipanggil: seorang konselor pernikahan yang memiliki gelar di dalam bidang psikologi dan konseling, yang mempertemukan kedua belah pihak yang sedang bermasalah itu. Ia mempertemukan pasangan itu dan mendengarkan kisah dari kedua belah pihak. Ia mendengarkan apa keluhan dari satu pihak dan apa keluhan dari pihak lainnya. Dan jika ia adalah konselor yang ahli, yang sukses di dalam seni mencapai kompromi dan ahli di dalam meredakan perselisihan di antara kedua pihak yang sedang bermasalah itu, ia bisa menyatukan keduanya. Demikianlah gambaran ini diberikan sebagai doktrin Alkitab tentang rekonsiliasi. Kita telah berdosa, dan akibatnya adalah bahwa Allah murka terhadap kita. Sekarang pihak ketiga dipanggil untuk melakukan intervensi di dalam perselisihan antara Allah dan manusia, untuk melihat apakah rekonsiliasi bisa dilakukan. Kristus adalah pengantara itu. Ia mengintervensi untuk menenangkan Allah dan meredakan murka-Nya, dan Ia mencoba untuk meyakinkan manusia bahwa manusia harus direkonsiliasi dengan Allah. Demikianlah Kristus melakukan bagian-Nya untuk memulihkan harmoni antara Allah dan manusia.
Memang benar bahwa Allah menikah dengan umat-Nya. Sejak kekekalan Ia telah bertujuan untuk menikah dengan umat-Nya. Juga benar bahwa hubungan itu, dari sudut pandang kita, telah dirusak oleh dosa kita. Jika kita kembali kepada Adam, hubungan itu dirusak oleh dosa Adam yang baginya kita bertanggung jawab, dan yang baginya kita harus dihukum. Tetapi, dari sudut pandang Allah, dosa yang menjadi kesalahan kita tidak pernah memutuskan hubungan pernikahan tersebut. Allah tetap setia. Kristus bukanlah sosok yang dipanggil sebagai pihak ketiga untuk mencoba mempertemukan Allah dan manusia untuk meredakan murka Allah dan juga untuk meyakinkan kita agar direkonsiliasikan dengan Allah, sehingga setelah intervensi yang berhasil sebagai seorang pengantara, Allah direkonsiliasikan dengan kita dan kita direkonsiliasikan dengan Allah. Tidak. Perhatikan bagaimana teks di dalam Roma 5:10 menyatakan hal ini: “Sebab jikalau kita, ketika masih seteru, diperdamaikan (direkonsiliasikan) dengan Allah oleh kematian Anak-Nya....’” Ketika kita masih seteru, Allah merekonsiliasikan kita dengan diri-Nya. Atau, sebagaimana Paulus menyatakannya di dalam 2 Korintus 5:19, “Sebab Allah mendamaikan (merekonsiliasikan) dunia dengan diri-Nya oleh Kristus.” Di dalam perselisihan ini tidak ada yang hal disebut “kisah dari pihak kita”; kita tidak memiliki apa pun yang bisa kita ajukan sebagai pembelaan. Allah pada pihak-Nya tidak harus ditenangkan terhadap kita, karena sikap-Nya kepada kita adalah berupa kasih yang kekal, yang tidak berubah di dalam keberadaan-Nya sendiri yang ilahi. Allah di dalam Kristus merekonsiliasikan kita dengan diri-Nya sendiri melalui kematian Kristus. Allah adalah Rekonsiliator. Ia mencapai rekonsiliasi dengan menghapus penyebab keterasingan kita, yaitu dosa kita. Melalui Roh Kristus, kita dibawa secara berdaulat kembali ke dalam ikatan pernikahan dan dijadikan setia kepada ikatan itu. Kita tidak melakukan apa pun untuk itu kecuali sebagai objek dari karya rekonsiliasi-Nya yang agung dan menakjubkan itu. Dan sekali lagi, di balik pengorbanan yang mengerjakan pendamaian terdapat keajaiban kasih Allah bagi umat-Nya, kasih yang tidak mengenal perubahan dan yang tetap kekal di sorga.
Kata ketiga yang saya ingin Anda perhatikan adalah “pelunasan.” Kata ini memang tidak ada di dalam Kitab Suci dengan rujukan kepada pengorbanan Kristus yang mengerjakan pendamaian, meskipun ide -nya ada di sana. Kata ini sendiri muncul di dalam kredo-kredo kita, di dalam Tiga Dokumen Kesatuan dan juga di dalam Pengakuan Iman Westminster . Di dalam Tiga Dokumen Kesatuan , kata ini muncul di dalam Katekismus Heidelberg pada Hari Tuhan 5 dan 6. Kata ini juga muncul di dalam Pasal-Pasal Ajaran Dordrecht , ketika Pasal-Pasal Ajaran membahas tentang kematian Kristus dan penebusan orang-orang melaluinya (II:1-3), dan juga di dalam Pengakuan Iman Belanda (Artikel 20, 21, 34). Kata ini merupakan sebuah istilah di dalam pengakuan iman yang memiliki signifikansi dan kekuatan yang besar.
Seperti halnya “penebusan” dan “rekonsiliasi,” istilah “pelunasan” juga mengimplikasikan karya Allah dalam menggenapkan keselamatan di dalam pengorbanan Kristus yang mengerjakan pendamaian. Allah itu kudus, adil, dan benar. Allah telah menciptakan manusia yang baik dan lurus. Manusia sudah berdosa. Dan seperti yang diajarkan oleh Hari Tuhan 4 dan 5, manusia memiliki utang karena dosanya, utang yang harus dilunasi agar kita bisa dipulihkan kepada perkenan Allah. Akan menjadi penyangkalan terhadap natur Allah sendiri sebagai Allah yang kudus dan adil jika Allah tidak menuntut pelunasan atas utang yang manusia, karena dosanya, miliki kepada-Nya. Tetapi manusia tidak dapat melunasi utang itu, bukan hanya karena ia tetap orang berdosa, tetapi karena pelunasan utang itu sendiri adalah hal yang mustahil bagi manusia. Bahkan jika manusia berutang kepada Allah hanya untuk satu dosa yang ia lakukan; bahkan jika ia bisa dibebaskan dari tanggung jawab atas dosanya di dalam Adam; bahkan jika ia menjalani hidup yang sempurna sejak lahir sampai saat kematiannya, ia tidak akan mampu melunasi utang tersebut.
Di sinilah kata “jasa” muncul di dalam gambaran. Untuk dapat melunasi utang bahkan bagi satu dosa saja, manusia harus memiliki jasa dengan Allah. Manusia harus memiliki sesuatu yang melampaui ketaatannya sehari-hari kepada Allah, karena manusia adalah seorang yang berutang di setiap momen kehidupannya. Ia selalu berutang ketaatan kepada Allah. Satu kehidupan di dalam ketaatan yang sempurna hanyalah pelunasan bagi semua tagihan untuk saat ini. Tetapi Allah harus menerima pelunasan bagi utang ketidaktaatan kita. Utang kita begitu besar: kita berutang karena dosa Adam yang baginya kita bertanggung jawab, kita berutang kepada Allah karena natur berdosa kita yang dengannya kita dilahirkan, dan kita berutang kepada Allah karena semua dosa yang kita perbuat di dalam setiap detik kehidupan kita.
Merupakan natur Allah untuk menuntut manusia melunasi utang itu; Allah tidak bisa hanya berkata kepada orang yang berdosa, “Oh, Aku merasa kasihan kepadamu, orang yang malang. Kamu memiliki utang yang besar dan tidak akan pernah bisa melunasinya. Aku akan melupakannya; Aku akan membatalkan utang itu.” Itu mustahil. Itu mustahil karena fakta bahwa itu akan menjadi penyangkalan terhadap keadilan dan kekudusan Allah. Manusia menginjak-injak kekudusan Allah. Manusia membenci kekudusan itu; manusia meludahi wajah Allah. Jika Allah berkata, “Tidak apa-apa. Aku tidak bermasalah dengan itu; Aku akan melupakannya,” itu akan menjadi penghinaan besar terhadap kekudusan Allah sendiri. Utang harus dilunasi. Dan ketika dosa dilihat dari sudut pandang sebagai utang, kredo-kredo kita mengatakan bahwa ide yang ada di balik pengorbanan Kristus yang mengerjakan pendamaian itu adalah pelunasan. Utang itu dilunasi. Tetapi jangan lupa: Allah yang melunasi utang itu. Itulah keajaiban pendamaian: Allah yang melunasi utang itu. Saya tidak mampu; Anda tidak mampu; malaikat tidak mampu; tidak seorang pun yang mampu. Semua persembahan korban di dalam dispensasi lama tidak mampu melunasi utang itu. Allah mampu; Allah melakukannya; di dalam Pribadi Anak-Nya sendiri. Itulah salib.
Kembali, cobalah untuk menyelaraskan ide tentang pelunasan dengan gagasan tentang kematian Kristus bagi semua orang. Jika memang benar bahwa Kristus mati bagi setiap orang, fakta yang gamblang dari perihal itu adalah bahwa utang sudah dilunasi oleh Kristus untuk setiap orang. Lalu mengapa tidak semua orang diselamatkan? Itulah mengapa seluruh Arminianisme dan semua pihak yang berlaku tidak adil terhadap salib Kristus dengan menjadikannya salib bagi setiap orang, berakhir di kamp kaum modernis dan terpaksa mengajarkan universalisme. Tidak ada jalan keluar yang lain bagi mereka. Arminianisme di dalam semua bentuknya adalah cikal-bakal dari modernisme.
Kata terakhir yang saya ingin Anda perhatikan terdapat di dalam 1 Yohanes 2:2: “Dan Ia adalah pendamaian (proposiasi) untuk segala dosa kita, dan bukan untuk dosa kita saja, tetapi juga untuk dosa seluruh dunia.” Seakan-akan Kitab Suci bermaksud untuk mengatakan, “Salib Tuhan kita Yesus Kristus begitu kaya di dalam signifikansinya, dan doktrin tentang pengorbanan Kristus yang mengerjakan pendamaian begitu agung sehingga satu kata tidak cukup untuk mencakup semuanya. Kita harus menggunakan semua kata ini agar kita bisa memahami sesuatu mengenai kuasa pengorbanan Kristus yang begitu agung itu.” “Propisiasi” adalah kata yang sebenarnya merupakan bagian dari Perjanjian Lama. Ini adalah kata yang merujuk kepada Hari Pendamaian yang sangat penting di dalam kalender bangsa Yahudi. Ini adalah kata yang merujuk kepada aktivitas imam besar yang pada Hari Pendamaian itu masuk dengan “harus dengan darah” (Ibr. 9:7) ke dalam ruang maha kudus, dan memercikkan darah itu ke atas tutup pendamaian dari tabut Allah sebagai pendamaian bagi dosa-dosa bangsa itu dan juga bagi suku Lewi dan bagi sang imam besar sendiri, dan dengan demikian menyurutkan murka-Nya yang kudus. Idenya adalah bahwa tabut perjanjian (tabut kovenan) adalah simbol dari persekutuan kovenan Allah dengan umat-Nya di dalam Yesus Kristus. Tabut itu adalah sebuah gambaran dari Kristus. Kebenaran ini diajarkan di dalam Mazmur 68. Mazmur 68 adalah mazmur yang Daud tulis ketika tabut itu di bawah dari rumah Obed-Edom ke sebuah kemah di Gunung Sion. Daud menulis Mazmur 68 pada saat itu untuk menunjukkan bahwa dengan membawa tabut ke kemah di Sion di Yerusalem, kita diberikan sebuah gambaran tentang kenaikan Yesus Kristus. Maka tabut di dalam bait Allah adalah simbol dari persekutuan Allah dengan umat-Nya di dalam Kristus. Bagaimana itu mungkin? Adalah mungkin bagi Allah untuk memiliki persekutuan dengan umat-Nya hanya karena darah dipercikkan ke atas tutup pendamaian dan menutupi dosa-dosa bangsa itu. Satu-satunya hal yang dapat menutupi dosa-dosa mereka adalah darah. Dan darah itu menutupi dengan sepenuhnya sehingga Allah tidak dapat melihat dosa-dosa itu lagi. Dosa-dosa itu tersembunyi dari-Nya. Maka Kitab Suci menggunakan “propisiasi” untuk mengindikasikan bahwa karena darah lembu dan kambing tidak dapat menyembunyikan dosa dari Allah, darah Kristus, darah dari Anak Allah sendiri, dengan sepenuhnya menyembunyikan dosa-dosa umat-Nya, sehingga Allah tidak dapat melihat dosa-dosa itu lagi dan murka-Nya disurutkan. Semua yang dapat Ia lihat adalah satu umat yang tidak berdosa, benar dan kudus, yang sesuai untuk hidup bersama-Nya di dalam kovenan persekutuan yang kekal sebagai mempelai-Nya. Itulah ide dari propisiasi.
Cobalah untuk menerapkan ide tentang propisiasi ini kepada konsep Arminian tentang pendamaian yang universal. Semua dosa dari semua manusia yang pernah hidup menjadi tersembunyi dari pandangan Allah oleh darah Kristus. Bagaimana Allah bisa memasukkan barang satu orang pun ke neraka? Akan menjadi ketidakadilan yang paling buruk jika Allah memasukkan seseorang ke neraka padahal Ia tidak melihat adanya dosa pada orang itu. Selain itu, jika propisiasi dibuat untuk semua manusia dalam arti setiap individu, dan murka Allah telah disurutkan dari setiap orang, bagaimana bisa ada orang yang menderita murka yang sama itu di dalam neraka?
Kata-kata ini adalah kata-kata yang kuat, kata-kata yang menakjubkan, kata-kata yang begitu penting di dalam Kitab Suci yang sakral, sehingga jika Anda berbicara tentang kematian Kristus bagi semua manusia, Anda menghancurkan makna keempat kata ini. Anda menghilangkan semua kekuatannya. Itulah yang dilakukan oleh kaum Arminian.
Ada satu hal lagi di dalam Kitab Suci yang saya ingin Anda sekalian perhatikan. Saya sering menggunakan poin ini di dalam kelas bahasa Yunani, ketika saya berupaya meyakinkan para mahasiswa, yang sedang mengambil kelas bahasa Yunani, untuk memperhatikan setiap kata yang ada di dalam Kitab Suci yang infalibel, termasuk preposisi-preposisi. Preposisi adalah kata-kata pendek yang sering diabaikan oleh mahasiswa kelas bahasa Yunani. Kitab Suci menyatakan dengan jelas bahwa satu aspek dari pendamaian Kristus, yang memiliki arti penting yang besar, bergantung pada preposisi-preposisi (bahasa Yunani) yang sering kali hanyalah terdiri dari tiga atau empat huruf. Sekarang saya merujuk kepada preposisi-preposisi yang paling sering diterjemahkan sebagai “untuk” atau “bagi” (KJV = “for”). Ini yang terjadi di dalam Roma 5:8: “Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa.” Preposisinya adalah kata “untuk.” Sebenarnya ada tiga preposisi berbeda di dalam bahasa Yunani yang secara umum diterjemahkan di dalam KJV dengan kata “for.” Di dalam ketiga preposisi itu terangkum dua kebenaran yang spesifik. Salah satunya adalah bahwa Kristus mati menggantikan kita (atau di tempat kita). Ketika Roma 5:8 berkata, “Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa,” maknanya adalah bahwa Ia telah mati menggantikan kita, Ia telah mati ketika kitalah yang seharusnya mati, Ia berdiri di tempat di mana kitalah yang seharusnya berdiri. Ia mengenakan pada diri-Nya apa yang secara adil adalah bagian kita dan sebagai ganti kita Ia melaksanakan korban pendamaian. Makna kedua dari kata “untuk” ini dan makna yang ditekankan oleh preposisi lainnya adalah ini: Ia telah mati mewakili kita, demi manfaat bagi kita, demi mendapatkan sesuatu yang teramat berharga untuk kita. Maka, Ia telah mati demi keuntungan atau manfaat bagi orang lain.
Dengan demikian, kedua ide ini terangkum di dalam preposisi-preposisi tersebut. Preposisi-preposisi tersebut pertama-tama mengindikasikan bahwa pendamaian Kristus adalah pendamaian yang substitusioner. Ia telah mati bukan untuk diri-Nya sendiri, melainkan bagi orang lain. Dan, kedua, apa yang Kristus genapkan adalah demi manfaat bagi orang lain.
Berkaitan dengan makna dari preposisi-preposisi ini, kadang dibuat distingsi antara penderitaan Kristus yang aktif dan yang pasif. Mungkin benar bahwa distingsi ini membantu kita untuk memahami bahwa Kristus membayar bagi dosa dan juga mendapatkan keterberkatan untuk kita. Akan tetapi, distingsi ini tidak seluruhnya tepat. Kristus aktif di dalam seluruh penderitaan-Nya. Ia adalah hamba Yehova yang taat. Di dalam Mazmur 40, Ia menyanyikan, “Aku suka melakukan kehendak-Mu, ya Allahku.” Ia bukan secara pasif menanggung murka Allah yang ditumpahkan ke atas-Nya; Ia menjangkau ke sorga dan, sebagai tindakan dari diri-Nya sendiri, menarik murka Allah ke atas diri-Nya. Ia berjalan menuruni tangga yang panjang ke neraka. Ia membangun sebuah mezbah di sana dan membaringkan diri-Nya sendiri di atasnya. Ia menancapkan pisau murka Allah ke dalam jantung-Nya sendiri. Ia adalah hamba Allah yang setia. Seluruh signifikansi dari pendamaian Kristus ditemukan terbungkus di dalam kata “untuk” yang singkat ini.
Tidak mengherankan bahwa kaum Arminian, pihak-pihak yang memperhitungkan kepada manusia kemampuan-kemampuan tertentu yang berkontribusi secara signifikan kepada keselamatan mereka sendiri, harus mengatakan sesuatu mengenai pendamaian Kristus; ini tidak terelakkan. Bahkan sejak masa Augustine, di puncak kontroversi Pelagian, pihak-pihak yang menentang doktrin Augustine yang alkitabiah tentang anugerah yang berdaulat dan partikuler, pihak-pihak yang berbicara tentang kasih Allah yang universal bagi semua manusia, dan, yang secara cukup signifikan, tentang keinginan Allah yang universal untuk menyelamatkan semua manusia, juga mengklaim bahwa kematian Kristus pastilah bagi semua manusia. Untuk mendukung doktrin tersebut, mereka merujuk kepada teks-teks Kitab Suci yang sama dengan yang dirujuk oleh kaum Arminian saat ini. Kaum Arminian kadang menyombongkan bahwa mereka memiliki pemahaman baru tentang Injil, dan mereka yang berpihak pada pendamaian yang universal menyombongkan bahwa mereka telah melihat hal-hal yang berkenaan dengan pendamaian Kristus yang memiliki signifikansi dan nilai yang khusus. Padahal, ajaran sesat mereka sudah berusia dua ribu tahun.
Selain itu, setiap orang yang menginginkan pendamaian yang universal harus memahami bahwa Katolik Roma menolak anugerah yang berdaulat, dan mengajarkan keselamatan melalui perbuatan. Tetapi untuk bisa mempertahankan ajaran itu, Katolik Roma juga mengajarkan pendamaian yang universal. Dalam kenyataannya, Katolik Roma telah mengajarkan itu selama lebih dari seribu tahun. Katolik Roma berkomitmen kepada Semi-Pelagianisme di Sinode Orange (529). Katolik Roma memeteraikan keputusan itu dengan darah Gottschalk (+805-+869), seorang pembela yang setia bagi penebusan yang partikuler.
Ketika dibahas pada abad-abad di mana Katolik Roma mendominasi, pendamaian Kristus dibahas dengan cara yang cukup menarik. Doktrin ini dibahas dari sudut pandang keniscayaan pendamaian. Apakah pendamaian benar-benar niscaya? Semua theolog Katolik Roma sebelum abad kesebelas, sejauh yang saya tahu, mengajarkan bahwa pengorbanan Kristus yang mengerjakan pendamaian hanyalah niscaya secara relatif, kalaupun memang perlu dikatakan niscaya. Mereka berbicara tentang kasih Allah yang besar. Kasih Allah begitu besar sehingga Ia bisa dengan mudah mengampuni dosa-dosa tanpa memerlukan pendamaian. Mereka berbicara tentang rahmat Allah yang memiliki kedalaman yang tidak terukur. Jika Allah menginginkannya, dan jika adalah kehendak-Nya untuk melakukannya, akan sepenuhnya selaras dengan kehendak-Nya untuk menyatakan kekayaan rahmat-Nya dengan berkata kepada manusia, “Aku begitu penuh rahmat sehingga Aku tidak akan menuntut pelunasan apa pun darimu bagi dosamu. Aku ampuni dosa-dosamu begitu saja.” Pendamaian tidak esensial. Pendamaian tidak muncul dari keniscayaan.
Akan tetapi, Anselm (+1033-1109), Uskup Agung Canterbury, mengajarkan di dalam bukunya Cur Deus Homo (Mengapa Allah Menjadi Manusia?) bahwa pendamaian adalah mutlak niscaya, yaitu tidak mungkin ada keselamatan dari dosa tanpa kematian Kristus. Ia mengajarkan bahwa pendamaian adalah mutlak niscaya karena fakta bahwa Allah itu kudus dan adil dan bahwa manusia memiliki utang kepada Allah yang harus dilunasi, dan bahwa manusia tidak dapat melunasinya. Satu-satunya cara untuk melunasi utang itu adalah melalui pengorbanan Tuhan Yesus Kristus. Anselm begitu tepat di dalam pandangannya tentang pendamaian sehingga seluruh struktur dari argumennya dimasukkan ke dalam Katekismus Heidelberg di dalam Hari Tuhan 4-6. Ketika Anda membaca Hari Tuhan 4-6, Anda hampir bisa mendengar Anselm berbicara.
Pada masa terjadinya kontroversi Arminian di Belanda, kaum Arminian memunculkan satu cara tambahan untuk menghindari signifikansi pendamaian dan luas cakupan pendamaian. Mereka menggagas apa yang kadang disebut Teori Pemerintahan tentang pendamaian. Teori Pemerintahan tentang pendamaian juga mengajarkan bahwa pendamaian Kristus tidak niscaya bagi keselamatan. Pengorbanan Kristus yang mengerjakan pendamaian adalah sesuatu yang bisa dibandingkan dengan apa yang dilakukan seorang kapten kapal jika awak kapalnya memberontak. Jika ia berhasil memadamkan pemberontakan itu dan mengambil kembali kendali atas kapalnya, semua pihak yang bersalah akan bertanggung jawab atas pemberontakan di samudera dan layak dihukum mati. Tetapi jika si kapten kapal membunuh semua pemberontak yang layak dihukum mati itu, ia tidak akan dapat mengendalikan kapalnya. Maka, ia mungkin memilih satu orang, mungkin pemimpin pemberontakan itu, dan menggantungnya dari tiang layar. Si kapten kemudian berpaling kepada para awak kapal dan berkata, “Kalian lihat? Inilah yang layak kalian terima, tetapi saya tidak akan melakukan itu kepada kalian semua, karena saya adalah kapten yang pemurah. Selama kalian bersikap baik dan menaati perintah, dan dengan keterampilan kalian menjalankan kapal ini, kalian tidak akan mengalami nasib yang sama dengan yang dialami rekan kalian yang sesama pemberontak ini.” Allah melakukan hal yang sama. Kita semua layak menerima kematian tetapi Allah di dalam rahmat-Nya berkata kepada kita, “Aku adalah Allah yang penuh rahmat dan oleh karena itu Aku hanya akan mengambil Anak-Ku yang tunggal dan Aku akan membuat-Nya mati sebagai contoh bagi kalian semua tentang apa yang bisa Aku lakukan terhadap kalian jika Aku tidak penuh rahmat. Jadi, jika kalian bersikap baik dan jika kalian mau percaya kepada Kristus, jika kalian mau hidup di dalam ketaatan, maka meskipun kalian layak mati, Aku akan mengampuni kalian dan Aku akan menyelamatkan kalian. Kristuslah yang menjadi kesaksian yang hidup bagi fakta bahwa Aku bisa saja membunuh kalian meskipun Aku tidak berkehendak untuk melakukan itu.” Itulah teori dari kaum Arminian, dan di bawah teori yang menjadi payung itu mereka menemukan ruang bagi pengorbanan yang mengerjakan pendamaian yang memiliki nilai bagi semua manusia dan signifikan bagi semua manusia. Maka, semua orang harus melihat apa yang dapat Allah perbuat terhadap mereka. Tetapi, rahmat dan kasih Allah untuk semua manusia sekarang menjadikan pendamaian itu tersedia secara universal. Kristus adalah contoh yang agung dari kebersediaan untuk mati bagi semua manusia. Keselamatan sekarang bergantung pada kebersediaan manusia untuk menerima keselamatan yang sudah tersedia itu.
Masih ada lagi teori-teori lain. Saya tidak perlu membahas semuanya. Tetapi ada satu teori yang signifikan yang bagi saya sangatlah penting. Teori itu dikembangkan oleh mazhab Moise Amyraut (1596-1664) dari Prancis, dan dipegang oleh sejumlah orang yang hadir di dalam Persidangan Westminster, diajarkan oleh Richard Baxter, dan dikembangkan oleh kaum Marrow di Skotlandia pada abad kedelapan belas. Teori ini juga menjadi satu faktor penting di dalam pudarnya Calvinisme di Wales. Arti pentingnya terletak pada kaitannya yang dekat dengan doktrin tawaran Injil dengan maksud yang sesungguh-sungguhnya.
Di Skotlandia pada abad kedelapan belas, muncul sebuah kontroversi mengenai pemberitaan Injil. Ada pihak-pihak di dalam Gereja (Presbiterian) Skotlandia yang percaya bahwa khotbah, pada umumnya, begitu dingin dan abstrak, dan menyuburkan antinomianisme. Mereka mendorong bagi penyampaian Injil yang lebih langsung dan pribadi yang akan mengonfrontasi orang berdosa dengan tuntutan-tuntutan Injil, tetapi juga dengan keinginan Allah untuk menyelamatkan mereka. Singkatnya, mereka berpegang pada posisi bahwa kuasa Injil terletak pada presentasi tentang Kristus sebagai Dia yang benar-benar menginginkan keselamatan mereka, begitu mengasihi mereka, dan telah melakukan semua yang bisa Ia lakukan untuk menjadikan keselamatan mereka mungkin; atau, dengan menggunakan bahasa mereka sendiri, “telah memberikan kepada mereka dengan kematian-Nya suatu alasan untuk percaya.” Pihak-pihak yang disebut kaum Marrow itu menyadari bahwa ide ini memerlukan penyesuaian tertentu pada doktrin pendamaian. Maka mereka mendeskripsikan pendamaian dengan cara yang aneh: Kristus tidak mati (did not die) bagi semua manusia, tetapi Dia mati (is dead) bagi semua manusia.” Mereka ingin dikenal sebagai kaum Calvinis yang memercayai penebusan yang partikuler, tetapi mereka juga menginginkan tawaran keselamatan dengan maksud yang sesungguh-sungguhnya. Jika kita menggunakan perkataan yang lain, Injil adalah tawaran dengan maksud yang sesungguh-sungguhnya dari pihak Allah kepada semua manusia berdasarkan salib Kristus di mana Ia telah menderita agar Ia bisa mati (dead) bagi semua manusia.
Ide ini berpengaruh kuat di Wales. Ada sebuah gereja Calvinis yang kuat di Wales, setidaknya dalam hal doktrin. Gereja Calvinis di Wales ini memiliki berbagai kekurangan dalam hal pemerintahan gereja karena dibangun di bawah pengaruh George Whitefield, tetapi kuat di dalam doktrin. Gereja ini berpegang pada predestinasi ganda, kepada pendamaian yang terbatas dan pokok-pokok Calvinisme lainnya. Ada sejumlah pengkhotbah Calvinistik yang luar biasa di dalam sejarah Calvinisme di Wales. Tetapi juga ada pihak-pihak yang menginginkan tawaran Injil dengan maksud yang sesungguh-sungguhnya dan melihat bahwa tawaran Injil dengan maksud yang sesungguh-sungguhnya memerlukan pendamaian yang dalam pengertian tertentu bersifat universal, karena Allah tidak bisa secara bebas menawarkan keselamatan kepada semua manusia tanpa keselamatan itu, dalam pengertian tertentu, tersedia bagi semua manusia. Ada pihak-pihak lain yang menentang pendamaian yang universal tetapi meyakini bahwa untuk bisa memberitakan Injil kepada orang-orang yang belum bertobat dan untuk bisa berhasil di dalam pekerjaan misi, orang harus memiliki tawaran Injil dengan maksud yang sesungguh-sungguhnya. Artinya, orang harus mengkhotbahkan, “Allah mengasihimu, Allah ingin menyelamatkanmu,” kepada setiap orang yang mendengarkan Injil. Orang harus mengatakan itu, jika tidak maka ia tidak bisa berkhotbah.
Dan sekarang pun masih dilontarkan tuduhan terhadap kaum Reformed bahwa mereka tidak tidak dapat berkhotbah di ladang misi atau kepada mereka yang belum bertobat kecuali dengan sarana tawaran Injil itu. Karena bahkan kaum Calvinis Wales pun tidak memahami isu-isu tersebut, mereka disesatkan dan berkata, “Ya, itu benar. Bagaimana kita bisa berkhotbah jika kita tidak bisa berkata kepada setiap orang, ‘Allah mengasihimu, Allah ingin menyelamatkanmu?’” Tetapi kemudian yang menjadi pertanyaan besarnya adalah: Hak apa yang kita miliki untuk berkata kepada manusia bahwa Allah mengasihi mereka? Jawabannya adalah: Kristus telah mati bagi semua manusia.
Kita juga pernah mengalami hal yang sama di dalam sejarah Protestan Reformed Church ketika Christian Reformed Church (CRC) pada tahun 1924 mengadopsi tawaran Injil dengan maksud yang sesungguh-sungguhnya sebagai salah satu pokok dari anugerah umum. Kepada mereka terus diajukan pertanyaan, apa dasar yudisial bagi anugerah Allah untuk semua manusia? Apa dasar legal bagi kasih-Nya bagi semua manusia? Bagaimanakah Ia bisa mengasihi semua manusia ketika semuanya rusak secara total? Kepada pertanyaan itu tidak pernah diberikan jawaban yang memuaskan sampai sebuah sidang sinode dari CRC secara resmi menolak untuk menyatakan bersalah seorang profesor di seminari mereka yang mengajarkan bahwa kematian Kristus bersifat universal di dalam luas cakupannya, intensinya, dan kecukupannya. Saya ikut serta di dalam sidang sinode itu dan mendengarkan perdebatan yang berlangsung. Ada pihak-pihak di dalam sinode itu yang dengan tegas menolak pandangan profesor seminari yang mengajarkan pendamaian yang universal tersebut, yang dalam kenyataannya adalah profesor misi. Ia mengajarkan kepada gereja-gereja bahwa kematian Kristus bersifat universal dalam kecukupannya, intensinya, dan ketersediaannya. Satu-satunya aspek partikuler dari pendamaian Kristus yang bukan bersifat universal adalah efektivitasnya. Saya ingat bahwa perdebatan itu berlangsung cukup panas dan sengit, dan akhirnya salah satu delegasi yang menghadiri sidang sinode itu berdiri dan, dengan pernyataan yang cukup panjang lebar, membuat komentar ini, “Saudara-saudara, apa yang terjadi dengan kalian? Kita memercayai tawaran Injil dengan maksud yang sesungguh-sungguhnya, bukan? Dan jika kita memercayai tawaran Injil dengan maksud yang sesungguh-sungguhnya, bagaimana kita bisa menyatakan bersalah orang yang mengajarkan salib Kristus yang universal?” Bersama itu perdebatan pun berakhir. Kematian Kristus secara resmi diputuskan sebagai bersifat universal.
Mereka yang berargumen bahwa dikarenakan tawaran Injil dengan maksud yang sesungguh-sungguhnya, maka pendamaian pastilah bersifat universal dalam pengertian tertentu, secara khusus memberi penekanan pada kata “kecukupan.” Kredo-kredo kita memang mengajarkan bahwa salib Yesus cukup untuk mengerjakan pendamaian bagi dosa-dosa seluruh dunia. Maka perlu disampaikan beberapa hal mengenai kata “kecukupan” ini. Pasal-Pasal Ajaran Dordrecht II:3 berbunyi, “Kematian Anak Allah ini adalah korban dan pelunasan yang satu-satunya dan sempurna untuk dosa. Kematian itu tidak terbatas kekuatan dan nilainya dan lebih dari cukup untuk mendamaikan dosa seluruh dunia.” “Anda lihat,” kata para penentang penebusan yang partikuler, “bahkan Pasal-Pasal Ajaran pun mengajarkan kecukupan yang universal.”
Dua hal harus disampaikan berkaitan dengan ini. Pertama, para bapa di Persidangan Dordrecht sedang menjawab sebuah keberatan dari kaum Arminian terhadap doktrin pendamaian yang terbatas. Kaum Arminian menuduh kaum Reformed, “Kalian berbicara dengan cara yang merendahkan pengorbanan Kristus yang mengerjakan pendamaian itu, karena kalian membatasi nilainya.” Apa yang sebenarnya dikatakan oleh kaum Arminian itu adalah bahwa dengan membatasi pendamaian hanya untuk kaum pilihan, para bapa di Persidangan Dordrecht membatasi pendamaian hanya untuk segelintir orang, dan dengan demikian berbicara dengan cara yang menghina tentang kematian Kristus. Para theolog di Persidangan Dordrecht dengan tegas menolak tuduhan itu. Di dalam Pasal-Pasal Ajaran II:3, para bapa sebenarnya mengatakan, “Pengorbanan Kristus yang mengerjakan pendamaian tidak boleh diukur dengan istilah kuantitatif, seolah-olah itu bisa diukur dengan pint, quart, atau galon, atau dengan inci, kaki, atau yard. Tetapi” – dan di sinilah letak perbedaan yang krusial dan fundamental – “jika orang melihat kepada pengorbanan Kristus yang mengerjakan pendamaian berdasarkan sudut pandang dignitas yang dimiliki oleh Dia yang memberikan pengorbanan itu, maka, karena Dia yang menderita dan mati adalah Anak Allah, kematian-Nya pastilah cukup untuk menyelamatkan semua manusia, seandainya Allah telah mendekritkan demikian.” Kaum Reformed menolak untuk mengakui bahwa mereka telah mengeluarkan pernyataan yang menghina tentang keajaiban kematian Kristus. Dalam kenyataannya, kaum Reformed bersikeras bahwa bukan mereka melainkan kaum Arminianlah yang menjadikan pendamaian Kristus tidak efektif karena tidak mampu menyelamatkan orang-orang yang tidak percaya. Ada orang-orang yang baginya Kristus telah mati dalam kenyataannya tetap binasa.
Kedua, pihak-pihak yang merujuk kepada kata “kecukupan,” sebagai bukti bagi pendamaian yang universal menggunakan istilah tersebut dalam pengertian yang sama sekali berbeda dari pengertian para bapa di Persidangan Dordrecht. Mereka mengambil kata “kecukupan” dan menyatakan bahwa istilah itu mengungkapkan intensi Allah untuk menyelamatkan semua manusia. Allah telah menyediakan sebuah pendamaian yang cukup untuk menyelamatkan semua manusia. Tawaran Injil adalah penyataan akan kasih dan rahmat Allah yang berakar di dalam salib kepada semua manusia, dan itulah mengapa pendamaian cukup bagi semua. Demikianlah klaim dari kaum Arminian.
Kenyataannya, para bapa di Persidangan Dordrecht dengan jelas menolak setiap interpretasi seperti itu sebagai interpretasi yang asing bagi Kitab Suci. Ini jelas dari Pasal-Pasal Ajaran II:8:
Sebab inilah keputusan yang berdaulat, kehendak yang penuh rahmat, dan maksud Allah Bapa, yaitu agar keampuhan yang menghidupkan dan menyelamatkan yang terdapat dalam kematian Anak-Nya yang amat berharga itu menjangkau semua orang terpilih, untuk mengaruniakan hanya kepada mereka saja iman yang membenarkan, dan oleh iman itu dengan tak tergagalkan mengantarkan mereka kepada keselamatan. Dengan perkataan lain: Allah telah menghendaki agar Kristus, oleh penumpahan darah-Nya di atas salib (yang olehnya perjanjian baru telah diteguhkan-Nya), dari antara segala bangsa dan suku dan kaum dan bahasa menebus dengan ampuh semua orang – dan hanya mereka itu saja – yang dari kekekalan sudah terpilih untuk keselamatan dan yang telah diberikan Bapa kepada-Nya....
Perhatikan bahwa pasal ini berbicara tentang keputusan kehendak yang berdaulat serta kehendak dan tujuan yang paling penuh anugerah dari Bapa. Artinya, Pasal-Pasal Ajaran II:8 berbicara tentang intensi Allah di dalam kematian Kristus. Intensi bukanlah untuk menyelamatkan semua manusia, melainkan menyelamatkan kaum pilihan dan hanya mereka itu saja. Perujukan kaum Arminian kepada istilah “cukup” adalah salah.
Masih berhubungan dengan ini, saya harus menyampaikan sedikit mengenai perujukan kepada teks-teks di dalam Alkitab yang menggunakan kata “dunia” dan “semua” (“seluruh”) dalam kaitannya dengan kematian Kristus. Sebagai contoh: Yohanes 3:16 berbicara tentang kasih Allah untuk dunia ini yang menyebabkan Dia memberikan Anak-Nya. Dan 1 Yohanes 2:2: “Ia adalah pendamaian (propisiasi) untuk segala dosa kita, dan bukan untuk dosa kita saja, tetapi juga untuk dosa seluruh dunia. Lagi di dalam 1 Timotius 2:5-6, kita membaca, “Karena Allah itu esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus, yang telah menyerahkan diri-Nya sebagai tebusan bagi semua manusia: itu kesaksian pada waktu yang ditentukan.” Saya tidak akan berpanjang lebar tentang hal ini karena bagi saya ini terlihat seperti kita sedang membicarakan hal-hal yang sangat dasar dari iman Kristen yang seharusnya sudah diketahui oleh setiap orang yang memikirkannya. Tetapi izinkan saya menyampaikan sedikit tentang hal ini agar jangan sampai saya dianggap menghindari isu yang ada.
Pertama, kata “dunia” paling sering ditemukan di dalam tulisan-tulisan Yohanes, di dalam Kitab Injilnya dan di dalam surat-suratnya, khususnya di dalam suratnya yang pertama. Ketika Yohanes menggunakan kata “dunia,” ia melakukan itu karena ia begitu takjub dengan keagungan pengorbanan Kristus yang mengerjakan pendamaian, karena salib memiliki signifikansi kosmis. Langit dan bumi menggemakan kuasa kematian Yesus Kristus. Apakah yang Yohanes maksudkan? Ia memaksudkan, pertama, bahwa ketika Kristus mati bagi dunia, Ia mati bagi dunia umat manusia. Anda tidak boleh berpikiran bahwa Ia mati hanya bagi orang Yahudi, atau orang Wales, atau orang Belanda, atau orang Jerman. Ia mati bagi dunia. Tetapi dunia yang baginya Ia mati adalah dunia dari pemilihan yang kekal: dunia yang sejati, dunia dari dekrit kekal Allah, dunia yang dikumpulkan oleh pemberitaan Injil di sepanjang zaman, dunia yang Allah tetapkan untuk selamatkan sejak kekekalan. Allah bukanlah Allah yang sempit yang membatasi keselamatan hanya kepada segelintir orang; Allah menyelamatkan dunia.
Anda mungkin berkata, “Ya, tetapi semua manusia adalah bagian dari dunia ini.” Ini tidak benar menurut sudut pandang keputusan kehendak Allah. Dunia tersebut adalah dunia pemilihan yang berdaulat: dunia tersebut adalah dunia yang telah Ia berikan kepada Kristus. Ini adalah dunia yang Ia kasihi – umat manusia yang sejati. Kaum reprobat hanyalah kerangka sementara yang Allah gunakan untuk membangun bait dari gereja yang terdiri dari kaum pilihan melalui memberitakan Injil. Kaum reprobat adalah sekam yang pada akhirnya akan dipisahkan dari bulir gandum. Allah menyelamatkan seluruh umat manusia, sebagaimana petani menyelamatkan seluruh hasil gandumnya, meskipun harus terlebih dahulu dipisahkan dari jeraminya. Itulah sebabnya Yohanes 3:16 menambahkan, “... supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.”
Kedua, seperti yang Paulus tunjukkan di dalam Kolose 1:20, Allah merekonsiliasikan segala sesuatu dengan diri-Nya dengan kematian Anak-Nya di atas salib. Ia bukan hanya merekonsiliasi dunia pilihan, gereja yang dikumpulkan dari setiap bangsa, suku, dan bahasa; Ia merekonsiliasikan seluruh ciptaan bumiah dengan diri-Nya. Ia mengikat kovenan-Nya dengan Nuh dan meletakkan pelangi di awan sebagai sebuah tanda bagi implikasi-implikasi universal dari kematian Kristus. Kristus mati bagi alam semesta: kuasa kematian-Nya bersifat kosmis.
Ketiga, Paulus juga menyatakan dengan jelas di dalam Kolose 1:20 bahwa begitu dahsyatnya pengorbanan Kristus yang mengerjakan pendamaian itu sehingga Allah merekonsiliasikan segala sesuatu yang ada di sorga dan di bumi dengan diri-Nya. Ini sungguh adalah keajaiban yang melebihi semua keajaiban. Ciptaan sorgawi yang ke dalamnya dosa sudah masuk melalui pemberontakan Iblis, Allah rekonsiliasikan kepada diri-Nya di dalam kematian Anak-Nya. Tetapi bukan hanya ciptaan sorgawi yang diselamatkan; juga dunia dari malaikat pilihan yang, seperti dinyatakan oleh Pengakuan Iman Belanda kita, tetap berdiri oleh anugerah Allah (Artikel 12). Oleh karena itu, para malaikat tetap berdiri oleh anugerah Allah yang datang hanya melalui salib Kristus. Segala sesuatu di sorga dan di bumi direkonsiliasikan dengan Allah oleh kematian Yesus Kristus. Yohanes melihat kuasa yang agung, yang luas, dan yang mencakup segalanya dari karya pendamaian Kristus pada momen ketika Ia mati di atas salib dan berkata, “Sudah selesai” (Yoh. 19:30). Sorga dan bumi menggemakan efek-efek yang penuh kuasa dari pengorbanan Kristus yang mengerjakan pendamaian itu. Kaum Arminian tidak pernah bisa menuduh bahwa kaum Reformed itu sempit. Kita memiliki konsepsi yang jauh lebih agung dan mulia tentang kuasa salib daripada yang mungkin dimiliki oleh kaum Arminian.
Demikian pula dengan kata “semua” (“seluruh”). Belum lama yang lalu Grand Rapids Press memuat satu berita tentang kebakaran besar di salah satu bagian kota itu. Pernyataan ini muncul di dalam berita tersebut: “Seluruh Grand Rapids berada di sana.” Setiap orang yang ada di panti-panti jompo? di rumah-rumah sakit? setiap bayi yang masih digendong? setiap orang lansia dan mereka yang hanya bisa terbaring di tempat tidur? Bukan itu yang dimaksudkan oleh koran tersebut. Apakah ini hiperbola? Apakah ini eksegerasi yang tidak perlu? Tidak. Koran itu dengan tepat memaksudkan bahwa kebakaran itu begitu besar dan hebat sampai orang-orang dari setiap bagian Grand Rapids datang ke sana. Ada orang-orang dari bagian Southeast dan Southwest, maupun bagian-bagian lain dari kota tersebut; ada orang dewasa yang hadir, juga pemuda dan anak-anak; ada yang berkulit putih, hitam, dan keturunan Meksiko yang datang untuk melihat kebakaran itu. Orang kaya maupun miskin hadir di sana. Tidak satu pun dari kehidupan multikultural dari kota Grand Rapids yang tidak terwakili di tempat kebakaran itu. Ketika Kitab Suci memberi tahu kita bahwa Yohanes Pembaptis sedang membaptis di Sungai Yordan, dan “seluruh Yudea” (Mat. 3:5) datang kepada Yohanes untuk mendengarkan dia dan dibaptis olehnya, maknanya bukanlah bahwa setiap laki-laki, perempuan, dan anak-anak serta bayi yang masih digendong datang ke daerah Sungai Yordan untuk mendengarkan khotbahnya dan dibaptis olehnya. Tidak ada orang yang akan berpikiran untuk memberi ungkapan yang Kitab Suci gunakan itu makna yang demikian. Apa yang Kitab Suci maksudkan adalah bahwa perwakilan dari seluruh provinsi Yudea datang kepada Yohanes. Dan dengan demikian, Kitab Suci, ketika menggunakan istilah “semua” (“seluruh”), berbicara tentang semua jenis manusia, sebagaimana terlihat jelas di dalam konteks 1 Timotius 2:5-6 (bdk. ay. 1-2). Allah menyelamatkan umat manusia; Allah menyelamatkan manusia dengan ragam yang tidak terbatas dari bangsa, suku, dan bahasa yang berbeda, dengan karakter dan kepribadian yang berbeda, dari strata sosial dan usia yang berbeda. Mereka direkonsiliasikan di dalam darah salib untuk mempesatukan mereka menjadi umat manusia yang sejati, yang telah dirancang oleh Allah sejak kekekalan di dalam dekrit pemilihannya dan diselamatkan di dalam kuasa salib.
Kuasa salib menjadi milik kita karena di atas salib itu Anda dan saya terepresentasikan. Kita ada di dalam Kristus. Ada sebuah himne (dan saya sendiri sebenarnya tidak terlalu menyukainya) yang liriknya berbunyi: “Hadir kau waktu Tuhan disalib?” Saya tidak tertarik dengan pertanyaan itu: itu adalah pertanyaan yang salah untuk diajukan. Itu adalah pertanyaan yang tidak seharusnya diajukan oleh siapa pun: “Hadir kau waktu Tuhan disalib? Dalam kenyataannya, secara historis, saya tidak hadir di sana. Tetapi jika yang Anda maksudkan, Apakah saya oleh natur saya yang berdosa ikut serta di dalam kengerian dari penyaliban Anak Allah? Jawabannya adalah Ya, saya hadir di sana, melakukan perbuatan keji yang sama dengan yang dilakukan saat itu oleh orang-orang Yahudi, dengan persetujuan yang jahat dari Herodes dan Pilatus. Sebaliknya, pertanyaannya adalah: Adakah kau di dalam Kristus ketika Tuhan disalib? Itulah pertanyaan bagi Anda: Apakah Anda ada di dalam Kristus? Berada di dalam Kristus adalah satu poin yang penting.
Pertanyaan itu membawa saya kepada doksologi yang menakjubkan dan luar biasa dari Rasul Paulus, ketika ia mengakhiri pasal 2 dari suratnya kepada jemaat di Galatia, setelah menegaskan doktrin tentang pembenaran hanya oleh iman: “Aku telah disalibkan dengan Kristus.” Itulah seruan kemenangan yang ia naikkan. Ketika Kristus tergantung di atas salib, saya disalibkan; saya, orang berdosa yang mati, rusak, menuju ke neraka, dan tidak berlayak. Saya tergantung di sana di atas salib. Saya mengetahui itu dan memercayai itu karena Ia menggantikan saya. Ia mewakili saya; Ia adalah Kepala yudisial saya. Saya telah mati di dalam Adam karena saya telah berdosa di dalam Adam. Tetapi saya disalibkan dengan Kristus, dan karena saya disalibkan bersama Kristus, saya hidup.
Aku telah disalibkan dengan Kristus; namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku (Gal. 2:19b-20).
Selama kehidupan ini, saya berjalan di dalam lembah bayang-bayang maut. Saya berdosa dan rentan terhadap kejahatan. Jalan saya berujung di dalam kubur. Saya dikelilingi oleh kematian dan merasakan kematian setiap harinya. Tetapi saya disalibkan dengan Kristus. Oleh karena itu saya hidup, tetapi Kristuslah yang hidup di dalam diri saya. Hidup itu adalah milik saya oleh iman, karena Ia bukan hanya telah mati bagi saya, tetapi bangkit kembali untuk hidup yang baru. Hidup itu adalah milik saya. Itulah pengakuan iman pribadi anak Allah.
Maka kita hanya memiliki satu lagu pujian untuk dinyanyikan. Itu adalah dari Rasul Paulus yang sama di dalam Surat Galatia yang sama, ketika ia menutup suratnya: “Tetapi aku sekali-kali tidak mau bermegah, selain dalam salib Tuhan kita Yesus Kristus” (Gal. 6:14).
Untuk bahan-bahan lain dalam bahasa Indonesia, klik di sini.